Meix menarik selimut, menutupi bahu Elena yang mungil. Ia menunduk, mengecup keningnya yang hangat, lalu mengelus rambutnya lembut.
"Tidurlah yang tenang, sayang... Aku berjanji akan membantumu mengungkap semuanya," bisiknya, lirih.
Detik berikutnya, ia melangkah keluar kamar, menutup pintu tanpa suara, seolah takut mengganggu ketenangan tidur Elena.
Di teras, ia menemukan Jack yang sedang duduk di tangga kayu sembari memandang langit Bergdorf di kegelapan malam. "Jack..." panggilnya lirih.
Jack segera berdiri, kepalanya tertunduk memberi hormat. "Tuan..." sahutnya.
Meix menghela napas panjang. Ia menjatuhkan diri di tangga, bahunya merosot seolah menanggung beban yang tak terlihat.
"Bagaimana Nona Elena, Tuan?" tanya Jack, suaranya pelan.
Meix menatap kosong ke arah deburan air terjun yang mengalir di kegelapan. Pikirannya berputar. Keningnya berkerut dalam, membentuk garis tajam di antara alisnya. "Dia sudah istirahat, Jack."
"Nona Elena... Nona Elena..."Suara teriakan anak-anak tiba-tiba terdengar di depan rumah, memanggil namanya.Elena membuka matanya perlahan, lalu beranjak duduk dengan mata yang masih terpejam. "Sejak kapan di mansion Dalton ada anak kecil?" gumamnya, setengah sadar."Nona Elena... Apa kau di dalam?" teriak mereka kembali memanggil namanya.Elena spontan membuka matanya dengan lebar. Ia menguceknya beberapa kali, menyapu sekeliling dengan mata yang masih rabun."Ini... Bukan di Dalton Estate," ujarnya terperangah. "Argh... Aku di rumah Nenek. Aku di desa Bergdorf!" teriaknya histeris.Ia segera turun dari ranjang dengan terburu-buru, menyebabkan derit kayu yang semakin nyaring dan membuat ranjang reyot itu bergoyang hebat.Meix yang masih pulas di samping Elena terperanjat, matanya terbuka lebar secara tiba-tiba. Jantungnya berdebar kencang, ia merasa seperti berada di tengah gempa. "Aahhh... Apa ini? Kenapa ranjangnya bergoyan
Meix menarik selimut, menutupi bahu Elena yang mungil. Ia menunduk, mengecup keningnya yang hangat, lalu mengelus rambutnya lembut."Tidurlah yang tenang, sayang... Aku berjanji akan membantumu mengungkap semuanya," bisiknya, lirih.Detik berikutnya, ia melangkah keluar kamar, menutup pintu tanpa suara, seolah takut mengganggu ketenangan tidur Elena.Di teras, ia menemukan Jack yang sedang duduk di tangga kayu sembari memandang langit Bergdorf di kegelapan malam. "Jack..." panggilnya lirih.Jack segera berdiri, kepalanya tertunduk memberi hormat. "Tuan..." sahutnya.Meix menghela napas panjang. Ia menjatuhkan diri di tangga, bahunya merosot seolah menanggung beban yang tak terlihat."Bagaimana Nona Elena, Tuan?" tanya Jack, suaranya pelan.Meix menatap kosong ke arah deburan air terjun yang mengalir di kegelapan. Pikirannya berputar. Keningnya berkerut dalam, membentuk garis tajam di antara alisnya. "Dia sudah istirahat, Jack."
"Katakan! Kenapa kau tidak makan?" desis Meix. Raut wajahnya tegang, namun matanya memancarkan amarah yang dingin.Elena menunduk, meremas jemarinya. "Aku tidak nafsu makan."Meix melangkah maju, setiap langkahnya terasa berat dan disengaja. Elena semakin menunduk, ketakutan menjalar di hatinya, khawatir Meix akan kembali menjadi sosok yang dingin dan sulit disentuh."Kenapa?" ulang Meix. Suaranya kini lebih rendah dan dekat."Karena... karena kau marah padaku," bisik Elena. Suaranya nyaris tak terdengar.Meix kini berdiri tepat di depannya. Ia mengangkat dagu Elena, jemarinya menangkup wajah Elena dengan hati-hati, memaksa mata mereka bertemu. Di matanya, bukan hanya ada amarah, tapi juga ada kekhawatiran yang tersembunyi. "Kau tahu kenapa aku marah?"Elena mengalihkan pandangan, tangannya meremas erat sisi roknya. "Kau... kau cemburu pada Lucien?""Menurutmu, apa aku tidak boleh cemburu?""Tapi-"Meix melumat bibir Ele
"Meix... Tunggu aku!" teriak Elena, setengah berlari menyusul langkah panjang Meix.Ia berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. Tatapannya menelusuri wajah suaminya yang mengeras. "Sayaang... Apa kau marah?" rayunya, senyumnya menggoda.Meix membuang muka. Kerutan dalam muncul di antara alisnya. "Tidak," katanya singkat, lalu melenggang melewati Elena begitu saja."Meix... Kau tak mau menggandengku?!" teriak Elena, menatap punggung Meix yang semakin menjauh.Namun, Meix mengabaikannya. Ia terus berjalan tanpa menoleh."Meix... Kakiku sakit!" dusta Elena, berharap pria jangkung itu akan menoleh.Ia menghentakkan kaki di jalan berkerikil. "Ih... Kau benar-benar merajuk?" gumamnya, merengek.Elena memutar otak untuk menarik perhatian Meix. Saat melihat Jack menyusulnya dari belakang, ia sengaja menjatuhkan diri, penuh sandiwara
Meix membalas pelukan Elena lebih erat. Ia merasakan ketegangan di dadanya mengendur, napasnya keluar dalam desah panjang yang lega. "Maaf, aku terlambat. Kau aman sekarang, aku sudah di sini," bisiknya lembut, mengelus punggung Elena, memberinya ketenangan yang sangat ia butuhkan."Ke mana tujuan kita sekarang, Tuan?" tanya Jack yang baru masuk ke dalam mobil.Meix menatap Elena yang masih menyembunyikan wajahnya di dadanya. "Berapa lama lagi sampai ke desa Bergdorf, Jack?"Jack kembali memeriksa navigasi di layar dasbor. "Sebenarnya sudah dekat, sekitar lima belas menit. Tapi karena jalannya bebatuan, mungkin butuh sekitar tiga puluh menit, Tuan."Meix mengecup pelan kepala Elena sebelum akhirnya mengambil keputusan. "Kita lanjutkan saja ke desa.""Baik, Tuan," sahut Jack, segera memasang sabuk pengaman."Bagaimana rekan Elena yang lain, Jack?""Mereka sudah dibawa ke rumah sakit terdekat, Tuan," sahut J
"Elena... Angkatlah teleponnya." Meix menempelkan ponselnya ke telinga, berkali-kali mencoba menghubungi Elena namun tak ada jawaban. Wajahnya mengeras, garis-garis kecemasan terlihat jelas di dahinya."Jack, berapa lama lagi kita sampai di lokasi Elena?" Dahinya berkerut dalam, napasnya memburu pelan. Sesekali ia melirik layar ponsel, berharap panggilannya pada Elena akan terjawab.Jack memeriksa layar di dasbor, melihat titik merah di peta, tempat lokasi Elena berada."Mobil Nona Elena terus bergerak, Tuan. Kita akan sampai di lokasinya sekitar dua jam lagi," jelas Jack sembari fokus mengendalikan mobil.Mata Meix membelalak menatap peta. "Itu masih jauh, Jack!" Suaranya meninggi, nyaris pecah. Napasnya terasa tercekik, setiap detiknya terasa seperti siksaan. Bayangan Elena dalam bahaya menghantui pikirannya. "Cepat tambah kecepatan!" bentaknya, tak lagi sabar."Baik, Tuan," jawab Jack tegas, lalu menginjak pedal gas hingga menembus kec