Share

Bab 6. Perasaan Steven

"Kenapa kamu terus saja membela dia?" kata Aira yang heran kepada satu sahabatnya itu, yang sedari tadi terus-terusan membela Steven.

"Karena aku cinta sama Steven, aku gak mau kalian terus saja menghinanya!"

Suasana semakin tegang di antara mereka. Santi berdiri tegak, matanya berkilat menahan amarah. Dia tidak bisa membiarkan Steven terus dihina tanpa melawan.

"Kamu serius?" Fika bertanya dengan perasaan yang begitu tak percaya kepada Santi. Ia hanya berharap bahwa sahabatnya itu sedang bercanda.

Santi mengangguk cepat, wanita tersebut begitu sangat percayaan diri. "Iya, aku memang sudah lama mencintai Steven."

Aira memandang Santi dengan wajah terkejut yang sulit disembunyikan. "Hhh, apa? Kamu cinta sama Steven? Apa aku tidak salah dengar?" Aira bertanya dengan rasa heran yang begitu mencolok. Bagaimana mungkin seorang Santi, yang dikenal sebagai gadis cerdas dan elegan, bisa jatuh cinta kepada Steven, lelaki miskin yang tak memiliki apa pun?

Santi tersenyum, membiarkan matanya memandang lurus ke arah Steven yang masih berdiri di samping motor, dengan posisi yang masih dekat dari mereka. "Ya, aku mencintainya. Apa itu salah?" ulangnya, kali ini dengan suara lebih serius.

Nita tidak bisa menyembunyikan senyum smirk di wajahnya. "Jelas salah," katanya. "Memangnya kamu tidak melihat penampilan dia yang begitu lusuh? Memangnya kamu lupa, bila dia itu cuma anak pungut?"

Santi menatap tajam Nita. "Cinta bukan tentang penampilan fisik saja, Nita. Cinta adalah tentang hati dan jiwa. Aku tidak peduli walaupun Steven itu anak pungut," jelas Santi.

Fika menghentikan pertengkaran mereka dengan wajah penuh keheranan. "Sudahlah Santi, memangnya tidak ada lelaki lain daripada Steven?" ujarnya sambil menepuk bahu Santi, mencoba menyadarkan sahabatnya itu. "Buka matamu lebar-lebar, dia itu gak cocok sama kamu."

Santi tersenyum, memandang wajah Fika dengan lekat. "Tapi Fika, kamu tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati Steven. Dia adalah orang yang luar biasa, Steven memiliki hati yang begitu lapang dan tulus, meskipun kalian selalu menghinanya, dia selalu diam saja, bukan? Dia juga lelaki yang memiliki tekad dan semangat dalam hidupnya. Aku mencintainya karena dia adalah Steven, bukan karena apa yang dia miliki atau tidak ia miliki."

"Husstt … STOP! Berhenti memuji dia!" Aira mengangkat tangannya di depan Santi, memotong kata-kata sahabatnya itu dengan suara serak. Wajahnya penuh dengan kekecewaan yang mendalam terhadap sahabatnya, Santi. "Kalau kamu cinta sama dia, ya sudah, terserah kamu! Kita di sini cuma mengingatkan kamu."

Aira berbalik badan membelakangi Santi dan Steven. Langkahnya terasa berat, terisi dengan rasa kecewa yang sukar disembunyikan. Aira ingin sekali Santi memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri, tapi Aira juga mengerti bahwa cinta tak bisa dipaksakan.

"Ayo guys, kita pergi dari sini!" serunya pada teman-temannya. Mereka berdua mengangguk dan mengikuti langkah Aira, meskipun hati mereka terasa berat meninggalkan Santi bersama Steven di belakang.

Santi menatap punggung Aira, Fika, dan Nita dengan tatapan penuh kepedihan. Dia tahu bahwa keputusannya membuat ketiga sahabatnya akan menentang perasaannya kini kepada Steven. Namun, perasaan adalah perasaan yang tak bisa di bohongi. Hatinya sudah mencintai Steven begitu lama, tapi dia juga tak bisa menyalahkan ketiga sahabatnya. Mereka semua hanya menginginkan yang terbaik.

Steven yang dari tadi hanya terdiam, akhirnya berbicara. "Terima kasih, Santi. Tapi aku tidak ingin menjadi bebanmu. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."

Santi memandang Steven dengan penuh cinta. "Kamu bukan beban, Steven. Kamu adalah orang yang membuat hatiku bahagia."

Steven memandang Santi dengan senyum yang terukir manis di wajahnya. Sejak mereka pertama kali bertemu, Santi selalu bersikap baik terhadapnya. Dia merasakan kehangatan dalam setiap tatapan dan senyuman Santi. Namun, belum pernah terbersit dalam pikirannya bahwa Santi mungkin memiliki perasaan khusus padanya.

"Apa kamu serius dengan perkataanmu tadi?" tanya Steven, mencoba meyakinkan Santi kembali.

Santi mengangguk. "Maaf, Steven. Aku memang mencintai kamu."

Steven menatap Santi dengan tatapan penuh kebingungan. Kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir Santi terdengar begitu berat baginya. Dia tahu bahwa Santi adalah orang yang baik. Namun, dia juga tahu bahwa cinta adalah hal yang kompleks.

"Santi, aku ... aku tidak tahu harus berkata apa," ucap Steven dengan suara yang ragu. Dia mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati, tidak ingin menyakiti perasaan Santi.

Santi memandang Steven dengan penuh harap, berharap bila Steven juga mencintainya. "Aku mengerti, Steven. Aku tidak ingin memaksamu untuk merasakan hal yang sama. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku."

Steven mengangguk perlahan, rasa terima kasih terukir di wajahnya. "Terima kasih, Santi. Aku sangat menghargai kejujuranmu. Tapi aku harus meminta maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu."

Santi menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. Dia tahu bahwa ini adalah resiko yang harus diambil saat mengungkapkan perasaan cinta. Meskipun hatinya hancur, dia mencoba tersenyum. "Aku mengerti, Steven. Kita tetap bisa menjadi teman, bukan?"

Steven mengangguk dengan pelan. "Tentu, Santi. Aku berharap kita masih bisa tetap dekat."

Meskipun Steven mencoba untuk menjaga hubungan mereka tetap akrab, Santi merasa ada jarak yang tak terelakkan antara mereka. Setiap kali mereka bertemu, dia bisa merasakan keraguan dalam tatapan Steven. Meskipun mereka berusaha untuk mempertahankan persahabatan, Santi tak bisa membendung rasa sakit di dalam hatinya.

Setelah memperhatikan wajah Steven yang terlihat bingung, Santi memutuskan untuk menyudahi percakapan itu. Dia mengerti bahwa mencintai seseorang adalah hak pribadi, dan tidak bisa dipaksakan.

"Steven," seru Santi dengan lirih.

"Iya," balas Steven, mencoba tersenyum untuk mengurangi ketegangan.

"Meskipun sekarang kamu tidak mencintaiku, tapi aku yakin, suatu hari nanti, kamu akan mencintaiku. Aku akan membuat kamu juga mencintaiku," ucap Santi dengan serius, meskipun hal itu mungkin terdengar naif.

Steven terdiam sejenak. Dia tidak ingin menyinggung perasaan Santi lebih jauh, tapi dia juga tidak bisa berjanji hal yang mungkin tidak bisa dipenuhi. Apalagi sekarang ia sudah memiliki istri, dan mana mungkin ia akan membalas perasaan Santi terhadapnya.

"Santi, aku menghargai perasaanmu, tapi kamu juga harus tahu bahwa aku ini tidak pantas untuk kamu."

Santi menelan ludah, berusaha untuk menyembunyikan kekecewaannya. "Tidak, Steven. Aku tidak pernah memandang seseorang dari statusnya."

Steven mengangguk menghargai. "Terima kasih, Santi. Maaf, aku harus berangkat kerja sekarang," kata Steven, mencoba mengakhiri percakapannya dengan Santi.

Santi mengangguk dengan cepat. "Hati-hati di jalan, Steven."

Setelah mengenakan helmnya, Steven naik ke atas motornya dan menghidupkan mesin motornya. Dia berlalu dengan hati yang berat, tidak merasa enak terhadap Santi. Apalagi ketika ia melihat wajah Santi yang murung, mungkin wanita itu sudah sangat kecewa terhadapnya.

Santi tinggal di tempatnya, membiarkan keheningan menyelimuti dirinya. Dia harus belajar untuk melanjutkan hidupnya, sebenarnya, ia masih mengharapkan cinta dari Steven. Mungkin suatu hari nanti, Steven akan mencintainya juga, tapi untuk saat ini, dia harus fokus pada dirinya sendiri dan mencari kebahagiaannya sendiri.

Santi berjalan masuk ke dalam kafe dengan hati yang berat. Dia berusaha untuk menerima kenyataan bahwa cintanya tidak bisa dibalas oleh Steven. Meskipun sulit, ia harus terus melangkah ke depan.

"Hai," sapa Santi ketika sudah berada di dekat sahabatnya.

Santi berusaha untuk tersenyum kepada mereka, seakan kejadian beberapa waktu lalu tak pernah ada, ia hanya ingin menyembuhkan luka di hatinya dengan teman-temannya dan fokus pada hal-hal yang membuatnya bahagia. Meskipun cintanya ditolak, dia belajar untuk menghargai dirinya sendiri dan memahami bahwa cinta sejati akan datang pada waktunya.

"Bagaimana?" tanya Nita yang penasaran.

Santi membalas dengan senyuman misterius. "Bagaimana, apanya?" balasnya sambil mengedipkan mata.

Fika tidak bisa menahan keingintahuannya. "Kalian berdua sudah jadian?" tanyanya dengan cepat.

Santi tertawa ringan melihat tingkah polos teman-temannya itu. Dia menganggukkan kepala dengan cepat. "Iya, kami sudah jadian," jawabnya dengan bangga.

"Apa?!" Aira membulatkan matanya sempurna ketika mendengar perkataan Santi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status