Anwar menatap Aira dengan tatapan tajam yang membuat gadis cantik itu gugup. Ada ketegangan di antara mereka ketika Anwar akhirnya bertanya dengan suara tegas, memecah keheningan yang ada di antara mereka berdua."Untuk apa kamu kembali ke rumah, Aira?" tanya Anwar dengan nada serius.Aira memandang ayahnya dengan mata yang penuh harapan. Suaranya gemetar ketika ia mulai berbicara, mencoba memohon dengan nada yang penuh emosi. "Papa, Aira tidak ingin tinggal bersama Steven. Aira tidak ingin hidup di kontrakan yang sempit dan tidak layak. Aira ingin tinggal bersama Papa saja," ucapnya sambil terisak.Anwar menggelengkan kepala dan menatap Aira dengan tajam. "Tidak bisa," jawabnya tegas, sambil mempertahankan sikap angkuhnya."Tapi, Pa!"Anwar tetap pada pendiriannya. "Tidak ada alasan Aira. Kamu sudah menikah dengan Steven, kamu harus tinggal bersamanya!" jelasnya dengan suara yang tak terbantahkan.Aira merasa bingung dengan hidupnya yang tak menentu setelah pernikahannya dengan Steven
Aira berdiri di tepi danau, matanya memandang keindahan air yang tenang di malam hari. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahaya gemilang di permukaan air. Suara lembut angin malam menyusuri rambutnya, membawa sedikit kesejukan dalam suasana yang terasa terlalu panas. Namun, meskipun alam di sekelilingnya begitu tenang dan indah, hati Aira terasa begitu berat dan penuh dengan rasa sakit. Beberapa waktu lalu, kehidupannya berubah secara mendadak. Dia terpaksa menghadapi kenyataan pahit ketika orang tuanya memutuskan untuk menyuruhnya tinggal bersama Steven.Keputusan itu menghantamnya begitu dalam. Aira tidak pernah membayangkan bahwa dia akan mengalami hal seperti ini, terutama dari orang-orang yang seharusnya melindunginya. Meskipun begitu, dia juga tahu bahwa dia tidak bisa mengubah keputusan orang tuanya.Aira menghela napas dalam, mencoba untuk menguatkan hatinya sendiri. Dia mencari tempat untuk berteduh, mencari pemahaman, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang b
"Berani-beraninya kalian mencoba melukai seorang wanita!" teriak lelaki itu dengan suara yang menggelegar.Para preman terkejut dan menghentikan cengkramannya pada Aira. Mereka memandang pria muda itu dengan tajam."Siapa kau, berani menghentikan kami?" ejek salah satu preman dengan nada merendahkan.Steven tidak bergeming, matanya tetap fokus pada para preman. "Aku suaminya, aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti istriku. Lepaskan dia sekarang juga!" titah Steven dengan nada yang lebih tegas lagi.Namun, satu di antara preman itu memutuskan untuk mencoba lagi. Dengan sikap yang menantang, dia melangkah mendekati Steven. "Kau pikir kami akan takut?" ancamnya sambil mencoba untuk menendang ke arah Steven.Tetapi Steven dengan cepat menghindar, dan dengan gerakan yang lincah, dia membalas dengan pukulan yang mengenai perut preman itu.Bugh!Sang preman terguncang, nyaris kehilangan keseimbangannya.Para preman lainnya segera bereaksi, mereka melontarkan pukulan dan tendangan ke arah
'Kenapa tanda lahir mereka sama? Apakah di dunia ini ada beberapa orang yang memiliki tanda lahir yang sama persis?' gumam Aira lirih di dalam hati.Memori itu masih teringat jelas dalam ingatan Aira. Saat itu, dia dan Michael berada di sebuah hotel. Aira terbangun dari tidurnya dan melihat Michael duduk di tepi ranjang. Dengan pandangan tanpa sehelai benang pun, Aira menyadari bahwa Michael juga memiliki tanda lahir yang sangat mirip dengan milik Steven."Aira, ada apa?" tanya Steven sambil melambaikan tangannya di depan wajah Aira, saat wanita itu hanya terdiam dan memandangnya.Aira terdiam sejenak dari lamunannya. "Oh, tidak apa-apa," jawabnya, mencoba menyembunyikan kebingungannya.Namun, pertanyaan itu terus menggelitik pikirannya. Apakah ada kemungkinan bahwa ada orang lain di dunia ini yang memiliki tanda lahir yang sama persis seperti mereka? Apakah ada sesuatu yang belum ia ketahui?Pikiran-pikiran ini menghantui Aira. Ia merasa bingung dan penasaran, namun dia tidak yakin ba
Steven membuka mata, menyambut cahaya pagi yang masuk lewat jendela kamar. Dengan gerakan perlahan, dia meraih telepon pintarnya yang ada di meja samping tempat tidur, memeriksa pesan dan notifikasi yang datang semalaman. Setelah memastikan tidak ada yang mendesak, Steven bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.Air segar menyapa wajahnya saat Steven mencuci muka, meresapi kebangkitan pagi dengan kesegaran. Lalu setelah itu kemudian ia menggosok giginya. Steven memandang cermin dengan senyuman ringan, ia meraih handuk kecil untuk membersihkan air yang masih ada di wajahnya.Setelah mandi, langkahnya melaju ke dapur. Steven membuka lemari dapur, mencari bahan-bahan untuk sarapan. Pilihan jatuh pada telur dan sayuran segar. Dengan keterampilan yang sudah dimilikinya, dia mulai mempersiapkan sarapan pagi. Bau harum bumbu-bumbu dapur mulai menyelinap ke seluruh ruangan.Saat masakan hampir selesai, Steven menyadari bahwa harapannya adalah bisa berbagi hidangan ini dengan orang yan
"Pakai punya saya saja, Mbak," ujar seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dari belakang Aira. Dengan senyuman, lelaki tersebut menyerahkan kartu kredit miliknya kepada kasir.Aira menoleh, terkejut oleh tindakan baik lelaki itu. "Terima kasih, tapi tidak usah repot," katanya dengan nada malu.Lelaki tersebut hanya tersenyum. "Tidak masalah, biar aku membantu."Aira meski merasa terharu, awalnya ragu untuk menerima tawaran baik tersebut. Namun, karena situasinya yang mendesak, dia akhirnya menerima bantuan lelaki tersebut. Proses pembayaran berjalan lancar, dan Aira merasa teramat berterima kasih pada lelaki yang dengan tulus membantunya keluar dari situasi yang memalukan itu.Aira bersyukur kepada Andre, lelaki baik hati yang dengan sukarela membantu membayar belanjaannya. Namun, hatinya masih terasa canggung dengan kejadian tadi."Terima kasih, Andre. Nanti aku akan membayarnya," ucap Aira dengan senyuman, mencoba menunjukkan rasa terima kasihnya."Tidak perlu, lagian kita sudah bertem
"Steven, kenapa kamu ada di sini?" tanya Aira, wajahnya tampak kebingungan dengan kehadiran Steven."Harusnya aku yang bertanya sama kamu, kenapa kamu ada di sini?" jawab Steven dengan nada yang menyimpan perasaan kesal."A-aku sedang … maksudku aku tadi tidak sengaja bertemu dengan Andre," jawab Aira gugup, mencoba menjelaskan situasinya."Tidak sengaja?" tanya Steven dengan nada skeptis.Aira mengangguk, mencoba menenangkan suaminya, yang wajahnya semakin menyimpan kekesalan."Kalau begitu, kita pulang sekarang!" titah Steven dengan tegas. Kesal dan cemburu bercampur di dalam suaranya. Ia merasa tidak nyaman melihat Aira tertawa bersama Andre, terutama mengingat keadaan rumah tangga mereka yang belakangan ini penuh dengan masalah.Ketika Aira hendak melangkah, Andre tiba-tiba menahan tangannya. "Siapa kamu, berani sekali memerintah Aira seperti itu?" tukas Andre, menatap Steven dengan tatapan tajam."Kamu itu hanya tukang kebun, tapi sok-sokan menyuruh Aira. Apa kamu tidak sadar deng
"ANDRE, HENTIKAN!" teriak Aira dengan suara lantang, mencoba meraih tangan Andre untuk menghentikannya. Pandangannya penuh kepanikan saat dia melihat ekspresi kesakitan di wajah Steven. Aira merasa kepedihan itu mencabik hatinya, terutama saat melihat luka di dada Steven yang baru saja terbuka kembali.Dia menarik tangan Andre agar menjauh dari Steven yang terduduk lemah di paving blok. Langkah cepatnya menuju suaminya yang tergeletak membantu meringankan beban yang dirasakan Steven. "Steven, apa kamu baik-baik saja?" tanya Aira sambil mengusap darah segar yang menetes di pipi bagian bawah mata Steven.Steven hanya bisa mencoba menahan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya. "Apa kamu akan membiarkanku mati di tangan lelaki itu?" ucapnya dengan nada getir.Aira menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak."Air mata Aira hampir saja menetes ketika melihat suaminya yang terluka begitu parah. Ia merasa seakan dunianya runtuh dalam sekejap. "Kita pulang sekarang," desis Aira, mencoba memberikan d