Share

Bab 7. Kebohongan Santi

---

"Apa?!" Aira membulatkan matanya sempurna ketika mendengar perkataan Santi. Dia merasakan hatinya berdegup kencang, mencoba memproses informasi yang baru saja didengarnya.

Santi tersenyum manis melihat reaksi temannya. "Iya, Aira. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan," ucapnya dengan penuh keyakinan.

Nita dan Fika tak bisa menyembunyikan rasa kecewa mereka terhadap Santi. Mereka pikir bila Santi hanya bercanda saja tentang perasaannya terhadap Steven. Namun ternyata, sahabatnya itu benar-benar tidak bisa diberi nasehat.

"Aku tak percaya!" seru Nita dengan rasa sesalnya.

Fika menganggukkan kepala sambil melihat Santi begitu heran. "Kalian berdua sudah jadian? Aku tidak tahu harus senang atau harus kecewa sama kamu, San."

Aira masih terdiam, matanya memancarkan kebingungan yang jelas. Hatinya berdebar tak karuan, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. Steven, lelaki yang sudah menjadi suaminya, dengan begitu teganya membalas perasaan Santi, sahabatnya sendiri. Aira merasa begitu kecewa terhadap Steven, perasaannya terombang-ambing di antara kebingungan dan rasa sakit.

Apakah Steven hanya ingin mempermainkan perasaan Santi saja?

Entahlah, Aira sendiri tidak tahu. Mengapa Steven bisa membalas perasaan Santi, yang ia tahu, Steven adalah lelaki tidak tahu malu, bisa-bisanya ia mempermainkan sahabatnya, Santi.

Aira mencoba menyusun kalimat-kalimat dalam benaknya, mencari tahu apakah ini semua hanya sebuah kebingungannya semata atau kenyataan yang tidak bisa dielakkan. "Santi ..." gumamnya pelan, suaranya terdengar rapuh.

"Kenapa Aira?"

Aira berusaha memberikan senyuman untuk temannya. "Selamat, semoga kamu tidak menyesal nantinya. Aku harap kamu bisa bahagia." Perkataan itu tiba-tiba keluar dari mulut Aira, meskipun ia sedari tadi terus menahan emosinya akan hal tersebut. Namun, Aira berharap Santi mau mendengarkannya, bila Steven itu hanya mempermainkan perasaan Santi saja.

Aira ingin mengatakan statusnya bersama Steven kepada sahabatnya. Akan tetapi, ia hanya takut bila mereka mengetahui rahasianya, mereka semua pasti akan meninggalkannya juga. Sudah cukup Aira kehilangan Michael dan keluarganya. Aira tidak ingin kehilangan sahabatnya juga.

Santi memandang Aira dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Aira. Aku pasti akan bahagia dengan Steven, dan aku sangat yakin, aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusan aku untuk berhubungan dengan Steven."

Tapi Aira memutuskan untuk memberikan peringatan, dia tak ingin sahabatnya terluka. "Tapi aku harap, kamu jangan terlalu percaya kepadanya, dia lelaki yang licik," kata Aira dengan suara tegas, matanya penuh dengan kekhawatiran.

Santi mengangguk, menghargai kekhawatiran sahabatnya. "Aku akan tetap waspada, Aira. Terima kasih karena selalu ada untukku."

Aira tersenyum manis. "Tentu, Santi. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."

***

Steven melangkah cepat menuju pintu masuk percetakan tempatnya bekerja. Hari ini terasa berbeda, ada getaran ketegangan yang mengiringi langkahnya. Begitu tiba di pintu masuk, dia segera disambut dengan tatapan tajam dari bosnya, yang bernama Udin.

"Steven! Sudah berapa kali aku harus mengingatkanmu tentang kedisiplinan? Kamu terlambat lagi!" ucap Udin dengan suara keras, memenuhi ruangan dengan suara baritonnya.

Steven menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. "Maaf, Pak Udin. Ada sedikit masalah di perjalanan tadi," ujarnya dengan suara yang bergetar.

Bosnya hanya mendengkus tidak puas. "Alasan yang sama lagi, huh? Ini sudah terlalu sering terjadi, Steven. Kamu harus lebih bertanggung jawab dengan pekerjaanmu."

Steven mengangguk, merasa bersalah atas keterlambatannya. Dia tahu bahwa alasan yang dia berikan memang telah terlalu sering terulang. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk memperbaiki kebiasaannya.

"Baik, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi."

"Janji, janji terus. Aku tidak butuh janji kamu. Lihat di sana, sudah banyak pekerjaan kamu yang menumpuk, kalau kamu begini terus, aku tidak akan segan-segan memecat kamu!" ucap Udin kesal, sambil menunjuk ke arah pekerjaan Steven yang menumpuk.

Steven mendengar kata-kata tegas dari bosnya dengan hati yang berdegup kencang. Dia segera memalingkan pandangannya ke tumpukan pekerjaan di sekitarnya. Sesak napasnya terasa, menyadari bahwa ia harus segera menyelesaikan semuanya.

"Iya, Pak Udin. Saya akan segera menyelesaikan semuanya," ucap Steven dengan suara yang penuh sesal, mencoba menenangkan diri.

Setelah mendapat teguran dari bosnya, Steven bergegas menuju mesin percetakan tempatnya bekerja. Dia segera mempersiapkan alat dan bahan kerjaannya. Meskipun hatinya masih terguncang oleh teguran tadi, dia mencoba untuk fokus pada tugasnya.

Beberapa jam berlalu, Steven mulai merasa lebih tenang. Dia terbiasa dengan tempo kerja yang intens di percetakan ini. Setiap cetakan harus sempurna, setiap potongan kertas harus presisi. Itu adalah tuntutan yang selalu ada dalam pekerjaannya.

Di tengah kesibukannya, temannya, Aryo, mendekatinya. "Hey, Steven. Kamu baik-baik saja? Aku tadi dengar suara teguran dari Pak Udin," ucapnya dengan wajah prihatin.

Steven mengangguk, mencoba tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat. "Iya, Yo. Aku hanya terlambat, itu saja. Semuanya baik-baik saja."

Aryo mengedarkan pandangannya di sekitar mesin percetakan. "Aku lihat semua hasil kerjamu tampak baik. Kamu memang ahli dalam hal ini."

Steven tersenyum, merasa dihargai oleh kata-kata temannya. "Terima kasih, Yo. Aku hanya berusaha memberikan yang terbaik."

Tumpukan pekerjaan mulai menyusut, satu per satu cetakan keluar dengan sempurna. Steven bisa merasakan keringat yang membasahi dahinya, tapi dia tidak menghiraukannya. Dia terus berusaha.

Hingga akhirnya, hari ini, Steven berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Dia menatap tumpukan pekerjaan yang telah dia kerjakan dengan perasaan lega. Mesin percetakan telah berhenti, mengakhiri hari yang penuh tantangan itu.

***

Nita melihat wajah Aira yang masih menikmati makanannya, ia melihat seperti sahabatnya itu tak pernah makan saja. "Ra, kaya gak pernah makan aja. Oh iya, nanti kamu mau diantar tidak pulangnya?" tawarnya dengan senyum yang manis.

Aira menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menyusun pikirannya. Jika dia menerima tawaran Nita, kemungkinan besar dia akan diantar ke rumah orangtuanya. Masih terbayang jelas bagaimana dia diusir dari rumah, dan luka itu belum sembuh sepenuhnya. Namun, di sisi lain, dia juga tidak yakin apakah dia siap untuk tinggal bersama Steven di kontrakan yang jauh dari kondisi yang dia inginkan.

Fika melihat kebimbangan di wajah Aira. "Kenapa? Apa kamu masih memikirkan Michael?" tanyanya dengan nada penuh penasaran.

"Ra, aku yakin kalian pasti bisa menjalin hubungan walau jarak jauh. Michael pasti setia sama kamu, kamu jangan memikirkan tentang Michael terus, ya?" Santi memberi saran terhadap sahabatnya.

Aira mengangkat bahu, mencoba untuk menyembunyikan keraguan di dalam dirinya. "Gak apa-apa kok. Kalian gak perlu khawatir. Yaudah, yuk. Aku nebeng kamu aja, Nit," ujarnya akhirnya dengan senyum tipis.

"Yaudah yuk, kita pulang sekarang aja," ucap Nita yang diangguki oleh teman-temannya.

Setelah mereka selesai makan. Mereka berempat berjalan menuju mobil Nita. Suasana terasa sedikit canggung. Namun mereka mencoba untuk mencairkan ketegangan dengan obrolan ringan.

Di tengah perjalanan, Fika menoleh ke arah Aira yang masih melamun sedari tadi. "Ra, kamu yakin semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lirih.

Aira mencoba tersenyum. "Iya, Fik. Aku akan baik-baik saja."

Nita menambahkan, "Kalau kamu butuh teman curhat atau bantuan apa pun, kamu tahu kita selalu ada untukmu, kan?"

Aira tersentuh oleh kebaikan hati teman-temannya. "Terima kasih, kalian semua. Aku benar-benar beruntung memiliki teman-teman seperti kalian," ucapnya dengan suara tulus.

"Tidak perlu berterima kasih. Kita kan sahabat," ujar Santi dengan senyum hangat.

Setelah tiba di depan rumah, Aira turun dari dalam mobil Nita. "Dah, guys!" serunya sambil melambaikan tangan pada teman-temannya.

Nita, Santi, dan Fika tersenyum sambil mengangguk. "Dah, Aira. Pastikan untuk memberi kabar ya," ucap Nita.

"Kami selalu ada untukmu, Ra. Jangan ragu untuk menghubungi kita kapan saja," tambah Fika.

Setelah melihat mobil Nita berlalu dari hadapannya, Aira melihat sekeliling. Dia masih merasa ragu-ragu untuk memasuki rumah orangtuanya. Hati dan pikirannya penuh dengan pertanyaan dan kebingungan. Namun, dengan napas dalam, dia akhirnya melangkah maju menuju pintu depan, ia harus siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Ketika pintu rumah sudah terbuka, Aira melihat ayahnya yang ada di hadapannya. Aira memanggil dengan suara pelan, "Papa."

Ayahnya menatapnya dengan tatapan tajam, membuat Aira merasa gugup.

"Untuk apa kamu kembali ke rumah, Aira?" tanya Anwar dengan suara tegas. Suara itu memecah keheningan di antara mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status