Share

Bab 5. Lelaki Miskin

"Kamu mengajakku tinggal di kontrakan kumuh dan berantakan seperti ini?"

Aira tak habis pikir dengan apa yang sudah Steven berikan kepadanya. Aira berpikir bila Steven akan memberikannya tempat tinggal yang layak. Namun kali ini otaknya sulit mencerna, Steven malah mengajaknya ke tempat yang begitu menjijikan.

Bagaimana Aira akan suka dengan tempat yang kotor dan banyak sekali debu-debu yang hinggap di kursi, lemari, lantai dan tempat lainnya. Apalagi banyak sarang laba-laba yang sudah hinggap di beberapa ruangan.

"Kontrakan ini memang sudah kotor, karena aku sudah beberapa bulan ini tidak tinggal di sini. Tapi kamu tenang saja, aku pasti akan membersihkannya."

Steven masuk ke dalam ruangan untuk mengambilkan kursi. Sambil memasuki ruangan, Steven melihat sekeliling mencari kursi yang masih bisa digunakan. Dia melihat sebuah kursi yang cukup nyaman dan mengambilnya, lalu membawanya keluar ruang tamu.

Steven meletakkan kursi yang sudah dibersihkan menggunakan lap di sebelah pintu. "Duduklah, aku akan membersihkan ruangannya terlebih dulu."

"Jangan lama-lama, aku sudah lelah."

"Baiklah."

Steven mulai membersihkan kontrakan mereka. Steven membersihkan debu, mengatur barang-barang, dan menyapu lantai. Meskipun awalnya ia sedikit terkejut dengan kondisi kontrakan yang sudah kotor, Steven tetap harus merapikan tempat tinggalnya, karena ia tahu pasti Aira tidak akan nyaman dengan tempat kotor dan kumuh.

Setelah beberapa waktu, kontrakan terlihat jauh lebih bersih dan sudah tertata rapi. Steven melihat ke arah Aira yang sedang memainkan ponselnya. Ia pun menyuruh Aira untuk segera masuk.

"Masuklah, ruangannya sudah sedikit rapi."

Aira menghela napas panjang, wanita itu mulai melihat ke arah ruangan, meskipun ruangan itu tampak sedikit membaik dari sebelumnya. Tapi tetap saja, semua ruangan yang ada begitu terasa sempit baginya.

"Aku tidak bisa tinggal di tempat seperti ini." Aira berkata dengan perasaan yang sedih.

"Sabarlah sedikit, hari juga sudah gelap. Kita tidak memiliki tempat tinggal lagi selain di sini. Kamarnya ada di sana!" tunjuk Steven ke arah satu ruangan yang berada di dekat dapur, "kalau kamu sudah lelah bisa beristirahat."

Kontrakan yang mereka tempati memiliki empat sekat ruangan, ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang makan. Terdapat sofa dan kursi, Steven juga meletakkan meja kecil untuk makan bersama di ruang ini. Sedangkan ketiga ruangan lainnya kamar mandi, dapur, dan satu kamar tidur.

Aira berjalan masuk ke dalam kamar, sedangkan Steven memutuskan untuk membersihkan tubuhnya terlebih dulu, karena badannya yang sudah berkeringat dan kotor membuatnya tak nyaman.

Steven yang telah selesai mandi dan berganti pakaian bersih. Lelaki yang sudah mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan kolor berwarna ijo sage itu bergumam, "Sepertinya aku harus masak terlebih dulu."

"Aira, makanlah! Aku sudah membuatkan mie instan!" Setelah memasak mie instan, Steven berteriak memanggil Aira yang masih berada di dalam kamar.

Namun, sepertinya gadis yang masih betah menyendiri di dalam kamar itu tak menyahut, karena penasaran dan takut terjadi apa-apa, Steven langsung masuk ke dalam kamar.

"Ternyata sudah tidur." Steven mengembangkan senyumnya ketika melihat Aira yang sudah tertidur pulas.

Lelaki tampan itu langsung menarik selimut, menutupi tubuh Aira yang terpapar udara.

Waktu terus berjalan, hari pun sudah berganti. Steven kini sedang berkutat dengan alat dapur, pagi ini ia hanya bisa masak seadanya, yaitu dengan mie instan lagi, karena ia belum sempat untuk membeli bahan-bahan makanan lainnya.

"Aira, mie-nya sudah matang, hari ini sarapan sama mie dulu, karena aku belum beli bahan masakan. Nanti sehabis pulang kerja aku baru membelinya."

Steven berucap ketika melihat Aira yang sudah keluar dari dalam kamar mandi. Namun, perkataan wanita itu membuat Steven tercengang.

"Aku gak level makan mie murahan seperti itu, bisa-bisa perutku sakit!" kata Aira tanpa merasa bersalah atas ucapannya.

Namun, wanita yang masih mengenakan bathrobe itu langsung masuk ke dalam kamar. Steven hanya menghela napas dan mencoba untuk tegar menghadapi sifat Aira.

Beberapa saat kemudian, Steven melihat Aira yang sudah keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang sepertinya ingin pergi ke suatu tempat, karena penasaran Steven pun mulai bertanya, "Aira, kamu mau ke mana?"

"Aku mau bertemu sama teman-teman," kata Aira seraya mengenakan sepatu high heels nya.

"Aira, lebih baik jangan mengenakan high heels, pakai sepatu yang biasa saja."

Aira mengernyitkan dahinya ketika mendengar perkataan Steven. "Kenapa memangnya? Apa yang salah bila aku mengenakan high heels?" ucap Aira heran.

"Memakai high heels tidak dianjurkan bagi wanita hamil."

"Diamlah Steven! Kamu selalu saja membuat hariku semakin buruk! Jangan mengatur-ngatur hidupku lagi!"

Aira segera keluar dari dalam rumah tanpa menghiraukan keberadaan Steven.

Steven hanya menghela napas panjangnya lagi ketika melihat tingkah Aira, lelaki itu pun hanya bisa pasrah dan bersiap-siap untuk pergi bekerja.

Ketika hendak berangkat kerja, Steven mengambil motornya terlebih dahulu yang sebelumnya disewakannya kepada sahabatnya.

Steven tersenyum ke arah sahabatnya, "Hai, apa kabar? Aku datang untuk mengambil motorku."

"Hai, Steven! Tentu, tidak masalah. Motornya di sini, kamu bisa mengambilnya. Ngomong-ngomong ... apa kamu sudah tinggal di kontrakan lagi?" Aryo bertanya kepada sahabat seperjuangannya itu, yang sama-sama berasal dari kampung yang sama.

Dulu, pertama kalinya Steven ke kota, Aryo lah yang membawanya dan mempertemukannya dengan ibunya, Widya, yang sudah tak lama jumpa karena rindu.

"Iya, baru semalam."

"Asyik nih, kita bisa ngopi-ngopi bareng lagi."

"Tentu saja. Aku duluan, ya. Harus ke tempat kerja soalnya."

"Ok, sebentar lagi juga aku akan berangkat kerja."

Setelah proses administrasi selesai dan semua detail teratasi, Steven memutuskan untuk kembali ke rumah dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.

Ketika dalam perjalanan menuju tempat kerjanya, Steven melihat Aira yang masih menunggu taksi di pinggir jalan.

Steven segera menuju ke tempat Aira berada.

"Aira! Kamu masih menunggu taksi?"

Aira memutar bola matanya malas ketika Steven selalu saja hadir tak terduga di depannya. "Iya," jawabnya ketus.

"Di sini memang susah mencari taksi, aku antar saja kamu ke tempat tujuan?"

Aira mengerutkan keningnya ketika mendengar Steven berkata seperti itu. "Mau ditaruh di mana mukaku bila teman-temanku tahu, aku diantar sama kamu?!" Aira memalingkan wajahnya, lalu melipat tangannya di atas dada.

"Lantas, apa kamu mau menunggu taksi sampai malam di sini?"

Aira masih mementingkan egonya.

"Ayolah, cuacanya semakin panas, nanti kulitmu bisa gosong." Steven mencoba membujuk Aira lagi, agar wanita yang sudah menjadi istrinya itu mau diantar.

Dengan terpaksa akhirnya Aira pun mau naik ke atas motor Steven, karena ia pun sebenarnya sudah lelah berdiri dengan sepatu high heels nya. Apalagi cuaca pagi ini yang sudah hampir memanas.

Setelah tiba di tempat tujuan, Aira pun langsung turun dari motor Steven. Namun sayangnya, ada teman-teman Aira yang memergoki bila Aira diantar menggunakan motor oleh Steven.

"Aira!" teriak teman-teman Aira dari belakang tempat Aira berdiri.

Aira terkesiap saat melihat para sahabatnya yang sudah berdiri di dekatnya.

"K-kalian sudah sampai?" Aira bertanya dengan wajah yang begitu panik.

"Tentu saja! Kami tidak mau ketinggalan, acaranya juga sebentar lagi dimulai. Tapi Aira … kenapa kamu berangkat bareng dia?" tunjuk Nita ke arah Steven.

"Oh, i-itu … karena tadi mobilku mogok. Makanya aku suruh Steven buat membawa motor saja biar cepat," elak Aira.

Santi tersenyum lebar ke arah Steven. "Hai, Steven, bagaimana kabarnya?"

Lelaki tampan yang masih mengenakan helm itu membalas senyuman dari Santi. "Aku baik, bagaimana dengan kamu?"

"Aku juga baik, apa kamu mau ikut bareng kita untuk makan-makan?" ajak Santi.

Belum juga Steven menjawab, Fika sudah menyela. "Buat apa kamu mengajak lelaki miskin seperti dia? Buat bayar secangkir teh yang ada di cafe saja tidak mampu. Apalagi bayar makanannya."

Semua orang tertawa terkecuali Santi. Santi melihat ke arah Steven yang hanya tersenyum. Santi tahu walaupun bibir Steven tersenyum tapi hatinya teramat sakit.

"Oh iya, Ra. Memangnya kamu tidak malu naik motor butut kayak gitu? Kenapa tadi kamu tidak menghubungi aku saja? Pasti aku akan jemput kamu menggunakan mobil baruku, daripada kamu naik motor butut seperti itu!" Nita tersenyum seraya mengejek motor Steven yang sudah butut.

"Sudahlah, aku juga terpaksa kali," jawab Aira santai.

Santi merasa sakit hati ketika teman-temannya terus saja mengejek Steven. "Kalian bisa diam tidak! Kenapa kalian selalu saja mengejek Steven?!" Santi berkata dengan wajah yang sudah memancarkan amarahnya.

"Kenapa kamu malah membela lelaki itu? Memang itu kenyataannya bukan? Steven itu anak miskin yang tidak punya apa-apa? Ganteng sih, tapi sayang, KERE!" Fika berucap tanpa memperdulikan perasaan Steven.

Semua orang pun hanya tertawa saja. Namun, Santi, gadis itu mengepalkan kedua tangannya. "Diam kalian! Steven memang terlahir dari orang tua yang tak punya, tapi apa salahnya? Kenapa kalian terus saja menghinanya?!" Urat nadi Santi serasa ingin putus.

"Kenapa kamu terus saja membela dia?" kata Aira yang heran kepada satu sahabatnya itu, yang sedari tadi terus-terusan membela Steven.

"Karena aku cinta sama Steven, aku gak mau kalian terus saja menghinanya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status