Aksen terbangun ketika hidungnya mencium aroma masakan yang tak asing. Sudah lama ia tidak mencium wanginya masakan Amora yang dulu tiap hari ia pasti menciumnya. Bruk“Argh!” Aksen meringis pelan kala tangannya yang luka hampir ketindih oleh tubuhnya yang baru saja ambruk dari sofa. Semalam Aksen akhirnya tidur di sofa ruang tamu sendirian. Amora tidak mengizinkannya masuk dan tidur bersamanya, padahal jika mau Aksen bisa saja masuk pakai kunci cadangan karena itu adalah kamarnya.Tapi Aksen mengalah, ia tidak mau menimbulkan keributan yang akan menyebabkan Amora akan lebih membencinya. Yang lebih ia takutkan, bagaimana jika Amora akan mengusirnya. Lebih baik Aksen memilih jalan aman.Aksen berdiri dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna. Ia berjalan sempoyongan menuju dapur mengikuti arah bau masakan yang menyeruak memenuhi rongga hidungnya.Di depan kompor, seorang wanita dengan dress putih sedang mengotak-atik pisau, memotong bahan-bahan masakan dengan telaten. Tubuh yang mun
“Apakah merebut kebahagiaan orang lain adalah hobimu?” Aksen membuka pintu kamarnya dengan sarkas. Di kamarnya kini dia tak sendiri. Seorang wanita terduduk lemas di atas ranjang dengan gaun pernikahan berwarna putih yang masih melekat pada tubuhnya. Dia Amora, wanita yang baru saja sah menjadi istrinya. Wanita yang selalu terlihat rendah dan menjijikan di matanya. Padahal Amora adalah wanita yang sangat mencintainya dari dulu. Tapi, otak dan hatinya sama sekali tak pernah menerima kehadiran Amora di dunia ini. “Apa maksudmu?” Amora menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Brugh!Amora memejamkan matanya kaget ketika suara keras pintu yang dibanting oleh Aksen mampu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Aksen berjalan pelan menuju ke arahnya seraya menatap tajam.“Kenapa kau menggantikan Aurel menjadi pengantinku?” tekan Aksen dengan tatapan tajamnya. Amora sudah menduga ini akan terjadi. Dari dulu, Aksen hanya menginginkan sepupu
“Maaf, aku mengganggu malam pertamamu,” ucap Frans diakhiri dengan kekehan renyah setelah menyelesaikan ucapannya. Amora berdecak sebal. Temannya ini selalu mengejeknya tentang perasaan tak berbalas Amora kepada Aksen. Frans tahu pasti semuanya tentang Aksen dan Amora. Dia pendengar sejati setiap curahan hati Amora yang begitu menyedihkan.“Tak usah mengejekku!” ketus Amora memandang sebal lawan bicaranya. Frans kembali terkekeh geli mendengar ucapan Amora yang terlihat sangat tidak menyukai pembahasan yang tengah mereka bahas sekarang ini. “Apa dia mengatakan sesuatu padamu?” tanya Frans penasaran dengan keadaan pasangan suami istri yang baru menikah itu. Pasalnya, dia sangat tahu seluk beluk masalah yang terjadi antara keluarga Artawijaya dan keluarga Pratama, meskipun ia bukan bagian dari salah satu keluarga tersebut. “Seperti biasanya.” Amora menyandarkan punggungnya ke sofa. Mereka kini tengah berada di ruangan Frans. Mengobrol santai set
Aksen berdiri di tepi danau yang jauh dari tempat keramaian orang. Tempat dimana akan selalu ia datangi ketika suasana hatinya sangat kacau. Sesekali ia melempar kerikil kecil ke arah danau sejauh mungkin. Memori demi memori terus melintas di pikirannya. Ia sangat ingat sekali bagaimana pertama kalinya ia bertemu dengan Amora di satu pulau tempat mereka tumbuh bersama dahulu. Pulau itu kini sudah ia miliki sendiri. Tapi tidak dengan kenangannya, Aksen akan menghapus semua itu dari ingatannya.Flashback on Aksen yang baru berumur 8 tahun hampir saja tenggelam karena tak sengaja jatuh ke danau. Untung saja seorang gadis dengan cepat berenang ke arahnya dan menyelamatkan nyawanya. Gadis itu terlihat basah kuyup karena aksi menolongnya.“Kamu tidak apa-apa?” tanya gadis itu kepada Aksen.Aksen menggeleng. “Tadi aku terkejut, jadi jatuh ke danau,” jelas Aksen menggigil.“Cepatlah pulang, nanti demam.” Gadis itu pergi meninggalkan Aksen.Sejak hari itu, Aksen selalu mencari gadis penolong
Hari sudah siang, Amora masih setia duduk di sofa ruang tengahnya. Awalnya ia sangat ingin pergi ke rumah sakit hari ini meskipun pihak rumah sakit sudah memberikannya izin cuti selama seminggu. Menurutnya, terlalu banyak diam dirumah membuat otaknya sedikit stres, apalagi dengan sikap suaminya yang toxic, Amora harus menambah kadar rasa sabarnya sebanyak mungkin.Tapi siang ini, ibu mertuanya akan datang, terpaksa Amora harus diam dirumah dan menahan diri untuk tidak pergi ke rumah sakit. Amora tidak begitu khawatir dengan mertuanya yang sudah ia kenali sejak lama. Tidak se-khawatir para wanita diluar sana yang baru saja menikah dan takut tak bisa diterima dengan baik oleh mertua mereka. Pemikiran itu sama sekali tak mengganggu jalan pikiran Amora, karena ibu Aksen sangat menyukainya.Setelah menyiapkan beberapa jamuan, Amora segera menyiapkan diri agar terlihat lebih menarik di depan mertuanya. Rambutnya sengaja ia biarkan terurai, dengan jepitan simpel diatasnya
Aksen memijat kepalanya yang terasa pening. Untuk menetralkan stressnya, ia memilih duduk di kursi pinggiran kolam renang belakang rumahnya. Merebahkan badan dan menikmati udara yang sejuk mungkin akan sedikit membantu otaknya kembali tenang.“Lemon tea bagus untuk mengurangi stress berlebih,” ujar Amora seraya menyimpan segelas lemon tea buatannya di atas meja samping Aksen. Pria itu tak merespon sedikit pun. Posisinya masih tetap dengan kedua lengan dilipat dibelakang kepala dan tatapan lurus ke depan.Amora menghela napas panjang ketika tak menerima respon apapun dari suaminya. “Aku ingin kau mendengar satu kebenaran dariku.” Amora masih setia berdiri disamping suaminya.“Waktu itu, sehari sebelum hari pernikahan tiba- ”“Aku tak peduli,” potong Aksen berucap tanpa intonasi. “Setidaknya kau harus tahu kejadian sebenarnya, jangan menyimpulkan sendiri!” Aksen menoleh kepada Amora dengan tatapan tak terbaca. Pria itu menampilka
Amora melirik jam tangannya sejenak. Nampaknya hari ini ia bekerja sangat keras, sampai tak menyadari ternyata malam sudah sangat larut. Amora menghela nafas panjang seraya menutup pintu ruangan pasien terakhir yang ia kunjungi. Setelah memastikan semua pasiennya dalam keadaan baik-baik saja, Amora berniat pergi menuju ruang inap kakeknya yang masih dalam keadaan kritis.Keadaan rumah sakit sangat sunyi. Lorong-lorong ber-AC yang biasa menyejukkan di siang hari, akan terasa menusuk kulit jika di malam hari. Amora memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas putihnya untuk meminimalisir dinginnya malam.Amora berhenti di depan pintu sebelah kanan lorong rumah sakit. Kemudian ia masuk dan menghampiri kakeknya yang masih terbaring lemas diatas ranjang pasien. Amora tersenyum seraya merapihkan selimut kakeknya kemudian duduk di atas kursi yang sudah tersedia.Perempuan itu tersenyum lembut. Tangannya terulur untuk mengusap pelan tangan keriput s
“Saya sudah memeriksa laporan dari semua divisi perhubungan, sepertinya Tuan Narendra belum melakukan tindakan yang mencurigakan akhir-akhir ini.”Amora mengangkat kedua alis setelah mendengar kabar baru dari sekretarisnya. Beberapa hari yang lalu Amora ditunjuk sebagai pimpinan sementara perusahaan kakeknya semenjak Artawijaya masuk rumah sakit. Para pemegang saham setuju menunjuk Amora untuk mengganti kakeknya, karena dari awal ia menjabat sebagai wakil pimpinan, Amora sudah terlihat bertanggung jawab terhadap perusahaan. Terpaksa ia harus bisa membagi waktu antara rumah sakit dan perusahaan.“Aku dengar, di hari pernikahanku dengan Aksen dia mengirim sesuatu ke kantor?” tanya Amora menoleh kepada Riri. Riri mengangguk kemudian merogoh sakunya untuk mengambil sesuatu.“Benar Bu. Tapi, kiriman selain ini, sudah saya buang di hari dia mengirimkannya untuk anda,” ucap Riri seraya memberikan secarik kertas yang dilipat kepada Amora. “Kena