Share

BAB. 7 Pengkhianatan

“Sayang!!!”

Melissa segera bangkit dari tempat tidur.

Gadis itu segera berlari dan memeluk Rio dengan erat–seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan pria itu dan mencari kekuatan di sana.

“Whoaa! Ada apa denganmu, Melissa?” tanya Rio yang kewalahan berusaha menopang tubuhnya karena pelukan tiba-tiba Melissa. 

Diraihnya tubuh Melissa lalu ia mengusap kepala gadis itu dengan sayang.

“Ke mana, kamu kemarin?” tanya Melissa masih di dalam pelukan Rio.

Tring!

Baru saja Melissa ingin membicarakan hubungan mereka, tapi sebuah nada panggilan menyita perhatiannya.

Perempuan itu lantas merogoh tasnya untuk mengambil kembali ponselnya.

“Halo?”

“Lisa, kamu di mana? Apa kamu sudah melihat blog kepenulisan?”

“Belum, kenapa?” Melissa mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa temannya yang ada di seberang sana terdengar panik dan cemas. Bahkan, ada sedikit amarahdalam nada bicaranya.

“Ck! Lihatlah sekarang! Dan nikmatilah kebodohanmu itu! Sudah kuucapkan berulang kali jangan pernah mempercayai siapa pun, kau benar-benar keras kepala!” omel sang penelpon yang merupakan editor Melissa dalam menulis naskah novelnya.

Lisa sedikit gemetaran saat tangannya bergerak-gerak di layar ponselnya, lalu ... seperti dunianya runtuh tepat di atas kepalanya!

Dunia Melissa benar-benar akan hancur saat detik ini juga.

“Pla—plagiat?”

*****

Kesabaran Melissa sepertinya sedang diuji habis-habisan. Tapi, bukankah wajar untuk mengeluh lelah?

Lama Melissa mengetuk pintu “tersangka” yang membuat harinya kacau.

Dia pikir hatinya akan lega ketika pintu itu terbuka.

Sayangnya, itu membuat Melissa semakin marah. Gegas, gadis itu melangkah menuju ke dalam ruangan meski sang pemilik ruangan menangkap basah dirinya yang menerobos privasinya.

Amarah yang semakin memuncak membuat Melissa masa bodoh dengan kesalahan yang telah dia lakukan.

Yang jelas, saat ini kecerobohan Melissa mungkin salah satu cara Tuhan, untuk mengetahui pengkhianatan yang telah dia lakukan.

Gadis yang lebih dari separuh umur Melissa sudah dianggap sebagai sahabat. Separuh jiwa yang tidak akan pernah menyakiti Melissa.

Tapi, itu dulu.

“Apa yang kau lakukan?” Suara Shinta terdengar dingin.

Tampaknya, ia marah karena Melissa telah sembarangan membuka laptop pribadinya.

Wanita melirik tajam pada layar yang masih terbuka, menampilkan tulisan-tulisan yang telah terangkai menjadi sebuah cerita tak tuntas.

Tapi, Melissa sama sekali tidak peduli.

Tatapan tajam dari matanya dibalas dengan cara yang sama. Bahkan, mungkin terlihat lebih menakutkan lagi.

Shinta mendekat dengan langkah cepat. Dalam kurun waktu beberapa detik, ia sudah berada tepat di hadapan Melissa.

“Kau membacanya?” ujarnya tertahan.

Bola matanya bergerak tak mau diam. Ada gurat ketakutan di sana.

Melissa mendengus keras.

Satu sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyum sinis yang seumur hidup tidak pernah ditunjuk kepada sahabatnya itu.

“Kau puas mengolok-olokku, mempermainkan aku?” tanya Melissa langsung.

“Apa?!”

“Jangan berpura-pura bodoh!” sentak Melissa yang merasa muak melihat raut wajah Shinta yang kini tampak terguncang. Seolah, wanita itu tidak tahu apa yang sedang Melissa bicarakan.

“Kau benar-benar ingin terkenal, huh? Sampai kau tega harus mencuri hasil karyaku ini sebagai ide ceritamu, hah?”

Teriakan Melissa membuat wajah Shinta mulai memucat. Kerutan kebingungan itu juga perlahan menghilang. 

“Kau sahabatku, Shinta! Tapi kenapa kau bisa melakukan hal ini padaku? Meski semua orang mengatakan aku bodoh, tapi bagaimana mungkin kau juga mencemooh perasaan tulusku untukmu!”

Melissa tidak tahu perasaan apa yang lebih dominan di hatinya sekarang.

Marah? Atau kecewa?

Satu-satunya orang yang selalu dia percaya, tempat dia menumpahkan keluh kesah justru mengkhianatinya seperti ini.

“Tulisan ini ….” Melissa menunjuk layar laptop kasar. “Kita berdua sama-sama tahu kalau penulis tulisan ini adalah aku, bukan?” berang Melissa pada Shinta.

Shinta lantas menunduk takut, tetapi tak juga menjawab–membuat Melissa semakin kesal.

“Kenapa kau melakukan itu? Apa tidak ada ide lain di kepalamu itu? Kenapa harus aku dan karyaku yang kau jadikan bahan menjatuhkan aku?! Kau paling tahu seberapa pentingnya ini bagiku. Ini suatu hal yang aku perjuangkan sejak lama. Apa saja yang aku lewati dan aku korbankan? Kau tahu semuanya, tapi kamu tega melakukan itu.”

“Apa kamu itu masih pantas disebut manusia?” Melissa menyerang lagi. Tapi, tetap Sinta tak mau menjawab.

Dia hanya terdiam dengan kepala menunduk dan bahu bergetar–membuat Melissa mulai merasa bersalah.

Mati-matian Melissa menepis segera perasaan itu. Perbuatan Shinta sudah sangat keterlaluan. Ditusuk oleh kawan sendiri rasanya jauh lebih menyakitkan daripada dicurangi lawan.

Ratusan cerita yang mereka bagi bersama-sama hampir setiap hari ternyata tidak berharga baginya, ia lebih tergiur pada hasil komersial untuk menambah nominal pada tabungannya.

“SHINTA, JAWAB AKU!” Melissa berteriak lagi. Lebih keras dari yang terakhir. Sungguh kesabaran ini telah habis.

“Maaf.”

Akhirnya, satu kata penuh penyesalan itu keluar. Hampir tak terdengar di telinga. Namun, Shinta masih menundukkan kepala tak berani menatap mata Melissa barang sesaat.

“Kerja bagus, Shinta Bachri,” sindir Melissa tajam, “aku harap buku yang kau akui ini kau tulis bisa membuatmu menjadi penulis paling terkenal di seluruh penjuru Indonesia ini dan dunia.” 

Tak menunggu lama, Melissa bergegas pergi meninggalkan tempat itu.

Ini adalah akhirnya. Persahabatan ini telah tersudahi demi sisa harga diri yang masih Melissa miliki.

Hari-hari yang Melissa lalui sejak malam penuh kekecewaan itu terasa sangat berat.

Kehilangan sahabat yang sudah seperti separuh jiwa terasa seperti berjalan hanya dengan satu kaki. Pincang.

Melissa sulit melangkah. 

“Apa kesalahanku?” lirih Melissa sambil menangis. Ada banyak masalah yang dia hadapi dan dia tidak punya tempat untuk mengadu.

Tempatnya berbagi cerita–sudah hilang. 

Entah mengapa, satu nama terlintas dalam pikiran Melissa.

Dia harus menghubungi Erlangga!

***

Tetes-tetes air yang terus mengguyur kota sejak sore tadi menjadikan jalanan yang biasanya ramai tampak lebih lengang.

Perbedaan suhu di luar ruangan mampu membuat kaca jendela besar yang berada di samping Erlangga berembun.

Seperti memiliki pikirannya sendiri, telunjuk Erlangga bergerak bebas membuat gambar-gambar tanpa makna di sana. Sekadar membunuh waktu karena bosan menunggu.

Suara pintu terbuka diiringi bunyi gerincing bel khas restoran ini membuat Erlangga menoleh ke arah seorang gadis yang baru saja masuk.

Tubuhnya sedikit basah–bisa dipastikan dia tidak membawa payung dan memilih berlari menerjang hujan dari tempat parkir.

Tapi, Melissa memang berbeda dari gadis kebanyakan. Dia kuat. Baik secara fisik maupun mental.

“Apalagi yang terjadi dengan gadismu itu?” tanya Thu–sang pelayan restoran yang sudah akrab dengan Erlangga dan juga Marissa. 

Tanpa menyadari bahwa yang baru saja masuk bukanlah Marissa, Thu langsung melengos pergi saat Melissa mendekat.

Tampangnya cemberut karena tiap Melissa bergerak–membawa tetesan air yang membasahi lantai, yang bisa mengakibatkan licin bagi pengunjung lain.

Melissa menunjuk wajah bersalah yang acuh, lalu duduk dan menggigit satu buah ceker pedas yang Erlangga beli dari luar tanpa permisi.

Wanita itu terlalu bersemangat, hingga bumbu merahnya bercecer ke atas meja dan juga setelan yang digunakan. Thu menatap jijik, sedangkan Erlangga mengernyit melihat kelakuan Melissa yang jauh dari kata feminin.

“Dia bukan gadisku, hanya teman.” Suara Erlangga mengecil di akhir kalimat.

Pandangan mata Erlangga menyendu begitu sadar Melissa dapat mendengarnya.

Benar saja, Melissa mendengus keras sambil mengambil tisu yang di sodorkan Thu.

“Teman?” sinisnya.

“Untuknya, kau adalah teman, tapi untukmu?”

Kata-kata Thu menohok Erlangga dan Melissa. Pria itu masih saja tidak sadar bahwa di hadapannya itu bukanlah Marissa yang ia kenal.

Memang, Melissa bukanlah teman bagi Erlangga. Wanita itu hanyalah sebatas Istri Pengganti untuk pria tersebut....

“Ck!” Melissa lantas mendecak kecil dan mengabaikan itu semua. Dia harus fokus pada tujuannya menemui Erlangga.

Ia butuh dukungan pria di depannya ini untuk menghadapi sahabat, ah ralat, bukan sahabat, melainkan penghianat itu. 

“Jadi, kenapa kau ingin bertemu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status