“Sayang!!!”
Melissa segera bangkit dari tempat tidur.
Gadis itu segera berlari dan memeluk Rio dengan erat–seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan pria itu dan mencari kekuatan di sana.“Whoaa! Ada apa denganmu, Melissa?” tanya Rio yang kewalahan berusaha menopang tubuhnya karena pelukan tiba-tiba Melissa.
Diraihnya tubuh Melissa lalu ia mengusap kepala gadis itu dengan sayang.
“Ke mana, kamu kemarin?” tanya Melissa masih di dalam pelukan Rio.
Tring!
Baru saja Melissa ingin membicarakan hubungan mereka, tapi sebuah nada panggilan menyita perhatiannya.
Perempuan itu lantas merogoh tasnya untuk mengambil kembali ponselnya.
“Halo?”
“Lisa, kamu di mana? Apa kamu sudah melihat blog kepenulisan?”
“Belum, kenapa?” Melissa mengerutkan keningnya tidak mengerti kenapa temannya yang ada di seberang sana terdengar panik dan cemas. Bahkan, ada sedikit amarahdalam nada bicaranya.
“Ck! Lihatlah sekarang! Dan nikmatilah kebodohanmu itu! Sudah kuucapkan berulang kali jangan pernah mempercayai siapa pun, kau benar-benar keras kepala!” omel sang penelpon yang merupakan editor Melissa dalam menulis naskah novelnya.
Lisa sedikit gemetaran saat tangannya bergerak-gerak di layar ponselnya, lalu ... seperti dunianya runtuh tepat di atas kepalanya!
Dunia Melissa benar-benar akan hancur saat detik ini juga.
“Pla—plagiat?”
*****
Kesabaran Melissa sepertinya sedang diuji habis-habisan. Tapi, bukankah wajar untuk mengeluh lelah?Lama Melissa mengetuk pintu “tersangka” yang membuat harinya kacau.Dia pikir hatinya akan lega ketika pintu itu terbuka.
Sayangnya, itu membuat Melissa semakin marah. Gegas, gadis itu melangkah menuju ke dalam ruangan meski sang pemilik ruangan menangkap basah dirinya yang menerobos privasinya.
Amarah yang semakin memuncak membuat Melissa masa bodoh dengan kesalahan yang telah dia lakukan.Yang jelas, saat ini kecerobohan Melissa mungkin salah satu cara Tuhan, untuk mengetahui pengkhianatan yang telah dia lakukan.
Gadis yang lebih dari separuh umur Melissa sudah dianggap sebagai sahabat. Separuh jiwa yang tidak akan pernah menyakiti Melissa.Tapi, itu dulu.“Apa yang kau lakukan?” Suara Shinta terdengar dingin. Tampaknya, ia marah karena Melissa telah sembarangan membuka laptop pribadinya. Wanita melirik tajam pada layar yang masih terbuka, menampilkan tulisan-tulisan yang telah terangkai menjadi sebuah cerita tak tuntas.Tapi, Melissa sama sekali tidak peduli. Tatapan tajam dari matanya dibalas dengan cara yang sama. Bahkan, mungkin terlihat lebih menakutkan lagi.Shinta mendekat dengan langkah cepat. Dalam kurun waktu beberapa detik, ia sudah berada tepat di hadapan Melissa.“Kau membacanya?” ujarnya tertahan.
Bola matanya bergerak tak mau diam. Ada gurat ketakutan di sana.
Melissa mendengus keras. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyum sinis yang seumur hidup tidak pernah ditunjuk kepada sahabatnya itu. “Kau puas mengolok-olokku, mempermainkan aku?” tanya Melissa langsung.“Apa?!”“Jangan berpura-pura bodoh!” sentak Melissa yang merasa muak melihat raut wajah Shinta yang kini tampak terguncang. Seolah, wanita itu tidak tahu apa yang sedang Melissa bicarakan.“Kau benar-benar ingin terkenal, huh? Sampai kau tega harus mencuri hasil karyaku ini sebagai ide ceritamu, hah?”Teriakan Melissa membuat wajah Shinta mulai memucat. Kerutan kebingungan itu juga perlahan menghilang. “Kau sahabatku, Shinta! Tapi kenapa kau bisa melakukan hal ini padaku? Meski semua orang mengatakan aku bodoh, tapi bagaimana mungkin kau juga mencemooh perasaan tulusku untukmu!”Melissa tidak tahu perasaan apa yang lebih dominan di hatinya sekarang. Marah? Atau kecewa? Satu-satunya orang yang selalu dia percaya, tempat dia menumpahkan keluh kesah justru mengkhianatinya seperti ini.“Tulisan ini ….” Melissa menunjuk layar laptop kasar. “Kita berdua sama-sama tahu kalau penulis tulisan ini adalah aku, bukan?” berang Melissa pada Shinta.Shinta lantas menunduk takut, tetapi tak juga menjawab–membuat Melissa semakin kesal.“Kenapa kau melakukan itu? Apa tidak ada ide lain di kepalamu itu? Kenapa harus aku dan karyaku yang kau jadikan bahan menjatuhkan aku?! Kau paling tahu seberapa pentingnya ini bagiku. Ini suatu hal yang aku perjuangkan sejak lama. Apa saja yang aku lewati dan aku korbankan? Kau tahu semuanya, tapi kamu tega melakukan itu.”“Apa kamu itu masih pantas disebut manusia?” Melissa menyerang lagi. Tapi, tetap Sinta tak mau menjawab.
Dia hanya terdiam dengan kepala menunduk dan bahu bergetar–membuat Melissa mulai merasa bersalah.Mati-matian Melissa menepis segera perasaan itu. Perbuatan Shinta sudah sangat keterlaluan. Ditusuk oleh kawan sendiri rasanya jauh lebih menyakitkan daripada dicurangi lawan. Ratusan cerita yang mereka bagi bersama-sama hampir setiap hari ternyata tidak berharga baginya, ia lebih tergiur pada hasil komersial untuk menambah nominal pada tabungannya.“SHINTA, JAWAB AKU!” Melissa berteriak lagi. Lebih keras dari yang terakhir. Sungguh kesabaran ini telah habis.“Maaf.”Akhirnya, satu kata penuh penyesalan itu keluar. Hampir tak terdengar di telinga. Namun, Shinta masih menundukkan kepala tak berani menatap mata Melissa barang sesaat.“Kerja bagus, Shinta Bachri,” sindir Melissa tajam, “aku harap buku yang kau akui ini kau tulis bisa membuatmu menjadi penulis paling terkenal di seluruh penjuru Indonesia ini dan dunia.”
Tak menunggu lama, Melissa bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Ini adalah akhirnya. Persahabatan ini telah tersudahi demi sisa harga diri yang masih Melissa miliki.Hari-hari yang Melissa lalui sejak malam penuh kekecewaan itu terasa sangat berat. Kehilangan sahabat yang sudah seperti separuh jiwa terasa seperti berjalan hanya dengan satu kaki. Pincang. Melissa sulit melangkah. “Apa kesalahanku?” lirih Melissa sambil menangis. Ada banyak masalah yang dia hadapi dan dia tidak punya tempat untuk mengadu.Tempatnya berbagi cerita–sudah hilang.
Entah mengapa, satu nama terlintas dalam pikiran Melissa.
Dia harus menghubungi Erlangga!***
Tetes-tetes air yang terus mengguyur kota sejak sore tadi menjadikan jalanan yang biasanya ramai tampak lebih lengang.
Perbedaan suhu di luar ruangan mampu membuat kaca jendela besar yang berada di samping Erlangga berembun. Seperti memiliki pikirannya sendiri, telunjuk Erlangga bergerak bebas membuat gambar-gambar tanpa makna di sana. Sekadar membunuh waktu karena bosan menunggu.Suara pintu terbuka diiringi bunyi gerincing bel khas restoran ini membuat Erlangga menoleh ke arah seorang gadis yang baru saja masuk. Tubuhnya sedikit basah–bisa dipastikan dia tidak membawa payung dan memilih berlari menerjang hujan dari tempat parkir.Tapi, Melissa memang berbeda dari gadis kebanyakan. Dia kuat. Baik secara fisik maupun mental.“Apalagi yang terjadi dengan gadismu itu?” tanya Thu–sang pelayan restoran yang sudah akrab dengan Erlangga dan juga Marissa.Tanpa menyadari bahwa yang baru saja masuk bukanlah Marissa, Thu langsung melengos pergi saat Melissa mendekat.
Tampangnya cemberut karena tiap Melissa bergerak–membawa tetesan air yang membasahi lantai, yang bisa mengakibatkan licin bagi pengunjung lain.Melissa menunjuk wajah bersalah yang acuh, lalu duduk dan menggigit satu buah ceker pedas yang Erlangga beli dari luar tanpa permisi.
Wanita itu terlalu bersemangat, hingga bumbu merahnya bercecer ke atas meja dan juga setelan yang digunakan. Thu menatap jijik, sedangkan Erlangga mengernyit melihat kelakuan Melissa yang jauh dari kata feminin.“Dia bukan gadisku, hanya teman.” Suara Erlangga mengecil di akhir kalimat. Pandangan mata Erlangga menyendu begitu sadar Melissa dapat mendengarnya.Benar saja, Melissa mendengus keras sambil mengambil tisu yang di sodorkan Thu.
“Teman?” sinisnya.
“Untuknya, kau adalah teman, tapi untukmu?”
Kata-kata Thu menohok Erlangga dan Melissa. Pria itu masih saja tidak sadar bahwa di hadapannya itu bukanlah Marissa yang ia kenal.Memang, Melissa bukanlah teman bagi Erlangga. Wanita itu hanyalah sebatas Istri Pengganti untuk pria tersebut....
“Ck!” Melissa lantas mendecak kecil dan mengabaikan itu semua. Dia harus fokus pada tujuannya menemui Erlangga.
Ia butuh dukungan pria di depannya ini untuk menghadapi sahabat, ah ralat, bukan sahabat, melainkan penghianat itu.
“Jadi, kenapa kau ingin bertemu?”
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan