Aroma kopi yang khas membuat Melissa terbangun dari tidurnya.
Gadis itu masih memeluk bantalnya. Ia bahkan menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia ingin menutup matanya lagi, tetapi tidak bisa. Padahal, lelah rasanya mengingat kemarin ia baru saja memulai sebuah lembaran baru dalam hidupnya. Melissa akhirnya menurunkan selimutnya begitu tersadar bahwa sekarang bukan si lajang Melissa lagi. Dia sekarang memiliki seorang suami.“Ehmm…”
Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Erlangga yang sedang duduk sambil membaca sebuah koran sambil menyesap secangkir kopi.
Oh itu penyebabnya dia mencium aroma kopi yang pekat tadi!
“Kenapa? Baru sadar kau sudah menikah?” tanya Erlangga dengan suara tenang.
Melissa terkesiap. Meski membenarkan ucapan Erlangga, dia tidak membalas ucapan pria itu. Dia justru bangun lalu duduk dan bersandar pada dashboard ranjang.
“Kau masih tidak mau menceraikanku?” tanya Melissa dengan suara seraknya.
Erlangga memperhatikan suara Melissa.
Bukan tentang kalimat yang Melissa temukan, tapi suara gadis itu, suaranya terdengar begitu mempesonanya. ‘Aku pasti sudah gila,’ maki Erlangga dalam hati.“Pasti kau mengalami mimpi buruk,” ucap Erlangga lalu mengangkat gelasnya dan menatap Melissa yang kini duduk di atas ranjangnya.
Kalau Melissa adalah Marrisa, Erlangga pasti sudah tidak tahan untuk menggoda gadis itu di atas ranjang mereka.
Dulu sebelum menikah, Erlangga selalu membayangkan melihat Marrisa bangun di atas ranjangnya. Tapi ini Melissa, gadis galak yang terang-terangan melawannya. Meski ternyata Melissa lumayan cantik juga walaupun baru bangun tidur….“Sejujurnya ini lebih buruk dari sebuah mimpi buruk,” balas Melissa menyadarkan Erlangga dari lamunannya.
Kali ini suara gadis itu tak seserak tadi dan Erlangga diam-diam bersyukur karena suara gadis itu tak mengganggunya lagi.
“Jawabanku masih sama seperti kemarin, Melissa,” ucap Erlangga tenang.
Melissa lantas menautkan alisnya berusaha mencari cara agar Erlangga mengubah keputusannya. Terlebih, ucapan sang Ibu yang menuduhnya akan mengambil posisi Melissa juga terus mengganggunya.
“Aku menolak untuk dijadikan Marrisa. Selain Marrisa, aku tidak bisa melihat sebuah masa depan dari kehidupan kita, Erlangga. Jadi, kapan kita akan bercerai?” tanya Melissa masih terus berusaha mengubah keputusan Melissa.
“Aku tidak menikah untuk bercerai,” balas Erlangga singkatnya.
“Aku tidak mengingkan pernikahan ini. Tolong pikirkan perasaanku dan pacarku,” ucap Melissa kesal.
“Lalu kau ingin bagaimana? Kau tetap menikah denganku tapi kau juga tetap menjalani hubungan dengan Rio?” tanya Erlangga, pria itu menatap lurus ke arah Melissa.
“Apa?” bingung Melissa.
Bukan itu yang ia maksud tetapi dia juga sempat berpikir seperti itu semalam. Tapi lebih dari itu, dia hanya menginginkan sebuah perceraian.
“Jangan bertingkah bodoh. Hal seperti itu hanya ada dalam sebuah drama atau novel. Kau pikir aku akan melakukan hal yang sama dengan membuat sebuah kesepakatan bodoh seperti itu? Kita tidak melakukan sebuah pernikahan kontrak di mana kau bisa bebas berhubungan dengan siapa pun. Begitupun aku,” ucap Erlangga tegas.
“Tapi aku sangat mencintai Rio,” ucap Melissa akhirnya.
Erlangga tiba-tiba meletakkan koran. Rahang pria itu mengencang menahan emosi.
Walaupun Melissa bukan gadis yang ia cintai, tetapi egonya tidak mengizinkan gadis itu mengatakan hal seperti itu di hadapannya.
“Kau istriku sekarang, Melissa. Mungkin kau bisa sedikit menjaga perasaan suamimu,” ucap Erlangga dingin.
“Tapi kau tidak mencintaiku,” balas Melissa.
“Siapa yang tahu besok bagaimana perasaanku padamu, begitu pun sebaliknya? Lagi pula kau lumayan juga untuk menjadi pendampingku,” ucap Erlangga santai.
Dia sudah tak terlalu emosi.
Erlangga tahu salah besar menghadapi Melissa yang meledak-ledak dengan emosi yang sama. Salah satu di antara mereka harus ada yang mengalah.
“Apa?” teriak Melissa terkejut, ”argghhh! Menyebalkan sekali berbicara denganmu. Kau ini orang aneh!”
Dia merasa luar biasa kesal.“Lebih baik sekarang kau mandi lalu sarapan pagi, atau membantu ibu di dapur,” ucap Erlangga.
Melissa lantas menyibakkan selimutnya lalu berjalan menuju lemari pakaian.
Ditariknya sembarangan baju yang bisa ia raih dengan cepat. Dia harus keluar pagi ini kalau tidak kepalanya akan pecah berada di kediaman Erlangga dengan status barunya sebagai istri Erlangga.
Erlangga menatap Melissa yang menghilang ke dalam kamar mandi dengan senyum simpul.
Ada rona bahagia di wajah pria itu karena bisa mengganggu istrinya di pagi hari, tapi secara keseluruhan dia juga merasakan kegelisahan yang sama seperti apa yang Melissa rasakan.
Dia tentu paham sekali dengan keinginan Melissa tapi dia bukan lagi remaja labil yang bisa mempermainkan sebuah pernikahan dengan melakukan hal-hal konyol seperti keinginan Melissa.
Lagi pula Tuhan membenci sebuah perceraian, kan?
***
Melissa keluar dari kamar Erlangga dengan dandanan yang sudah rapi.
Dia akan menjalani aktivitasnya seperti biasa. Pergi bekerja ke Tous Les Jours Café milik Raga–teman SMA-nya–untuk bekerja di cafe itu sebagai selingan bersama aktivitas menulisnya. Melissa senang bekerja di kafe Raga karena di sana, dia bisa mencicipi semua roti dan kue buatan Raga. Dia sangat suka dengan roti-roti buatan Raga. Lebih dari itu, Raga sudah seperti kakaknya sendiri.“Kau mau pergi ke mana?” tanya Erlangga yang melintas di depan kamarnya.
“Aku akan pergi bekerja,” ucap Melissa.
“Di mana?” tanya Erlangga.
Dia tidak tahu di mana tempat Melissa bekerja. Selama ini, Marrisa hanya membicarakan Melissa yang bekerja, tapi tidak pernah menyebut di mana adiknya itu bekerja.“Tous Les Jours Café,” balas Melissa singkat.
“Pulang jam berapa? Kau ingin dijemput?” tanya Erlangga.
Melissa menatap Erlangga sekilas, dia tidak sengaja melirik kaki Erlangga.
Pria itu masih bisa menawarkan untuk menjemput di saat ia berada di atas sebuah kursi roda. Sungguh suami yang baik sekali, bukan?“Tidak perlu. Aku terbiasa pulang dengan bus,” ucap Melissa.
“Jam berapa?”
“Kau sedang berlatih menjadi seorang suami ya?” goda Melissa.
Erlangga menyeringai mendengar ucapan Melissa. “Merasa risih?” balas Erlangga.
“Tidak juga,” balas Melissa.
“Baiklah. Jam delapan sudah di rumah,” ucap Erlangga tegas.
“Apa?” Melissa terkejut mendengar ucapan Erlangga.
“Tidak ada bantahan, Melissa,” ucap Erlangga kemudian ia berlalu dari hadapan Melissa.
“Tch~ tapi lebih baik daripada dia melarangku bekerja,” ucap Melissa lalu bersiap pergi.
Namun, diam-diam, Melissa menyusun sebuah rencana.
Di tengah perjalanan menuju kafe, Melissa justru mengetik pesan untuk Raga–meminta izin pada pria itu untuk tak bekerja hari ini.
Ada hal penting yang harus ia urus hari ini. Melissa akan pergi ke apartement Rio dan mengatakan apa yang sudah terjadi padanya kemarin. Pria itu mungkin tidak tahu apa-apa, lagi pula Melissa juga bingung mengapa Rio belum menghubunginya sejak kemarin.Ketika bus berhenti di perhentian, Melissa segera turun.
Dia sudah tak sabar ingin menemui Rio. Mungkin, pria itu bisa memberikan sebuah solusi yang akan menyelamatkan kehidupannya.Melissa pun berjalan memasuki gedung apartement kekasihnya itu dan segera memasuki lift begitu pintu terbuka. Memencet angka tujuh dan menunggu, hingga akhirnya dia melesat ke unit apartemen pria itu dan memasukkan password.
Klik!
Pintu apartement terbuka.
“Rio?” Melissa segera masuk dan mencari Rio.Gadis itu berjalan menuju kamar Rio dan dia mendengar bunyi gemercik air dari kamar mandi. Pria itu pasti sedang mandi. Lantas, Melissa melempar tas selempangnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang Rio.Mata Melissa terpejam. Namun, itu tak lama karena ia tiba-tiba mendengar derap langkah kaki mendekatinya.
“MELISSA?”
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka