Setelah mendapatkan kabar kalau Antonio dan Ayahnya sudah di tempat yang dituju, Javier yang merasa belum puas itu pun menghubungi orang tersebut. “Cari obat kimia khusus. Obat kebiri. Berapapun harganya, aku siap untuk membayarnya.” Keheningan sejenak di seberang, sebelum suara anak buahnya terdengar ragu, “T-Tuan Javier… maksud Anda, bahan kimia mengerikan itu untuk siapa?” Rahang Javier mengeras, matanya menyipit penuh dengan ketegasan dan tekanan. “Untuk pria bernama Antonio dan ayahnya itu. Pria yang saat ini bersama dengan kalian di sana. Aku tidak ingin keduanya berani menodai, menyentuh, atau bahkan berniat macam-macam bahkan jika hanya ada di angan-angannya saja. Setelah mereka mendapatkan obat itu, mereka tidak akan punya kekuatan untuk menyakiti siapa pun lagi secara seksualitas.” Nada tegas itu tidak memberi ruang untuk diskusi lebih jauh lagi. “Baik, Tuan. Kami akan segera mengurusnya dan a
Jenn menelan ludahnya dengan susah payah. Melihat cara Javier bertanya, sepertinya pria itu benar-benar marah. Dia jadi takut, tapi rasanya akan lebih bahaya lagi kalau tidak mengatakan yang sebenarnya. Kira-kira, seperti itulah instingnya dalam berbicara. Antonio dan Ayahnya merasa takut, mereka melotot kepada Jenn, berharap Jenn tidak mengatakan yang sebenarnya. Rasanya mereka ingin kabur, tapi kalau kabur juga takut kalau nantinya Anastasia dan Ibunya jadi tahu tentang itu. Jenn mengangkat tangannya, menunjuk Antonio dan Ayahnya secara bergantian. “Mereka berdua!” Kepalan tangan Javier semakin erat. “Antonio beberapa kali ingin melecehkan ku. Bahkan mulai dari aku kelas 1 sekolah menengah pertama, masa di mana aku juga belum datang bulan. Lalu pria itu,” Jenn menatap Ayahnya. “Katanya Ayahku, tapi dia beberapa kali kedapatan oleh ku mencoba mengintip saat aku mandi. Itulah kenapa aku selalu berangkat sekolah p
Jenn menarik napas dalam-dalam, menghembuskan. Kembali ia menatap seluruh anggota keluarganya yang berdiri di hadapannya, terus menatap ke arahnya seperti hewan buas yang siap untuk memangsa. Tidak ada rasa takut yang muncul di hatinya. Ia hanya tahu kalau yang harus dilakukannya saat ini adalah menghindar saat diinjak, dan jika bisa dialah yang harus menjadi orang yang menginjak. “Kenapa kau diam saja?!” suara keras tak kenal takut itu berasal dari Antonio, kakak laki-lakinya Jenn. “Cepat bukakan gerbang! Kami belum makan. Kau mau membuat keluarga mu hilang kesabaran?!” Mendengar itu, Jenn pun tidak bisa lagi menahan dirinya. “Pft...!” Semua anggota keluarga menatap Jenn yang hampir kelepasan tertawa itu dengan tatapan marah sekaligus terkejut. “Apa yang sedang kau tertawakan?!” protes Anastasia dan juga ibunya secara bersamaan. “Anak ini, Dia sudah benar-benar menjadi gila!” ucap Antonio yang juga tidak dapat lagi menahan rasa marahnya. Sementara itu, Ayahnya juga hany
Saat Javier pulang ke rumah, Jenn menceritakan apa yang dia dengar tadi, Atara Nyonya besar dan Karina. Tidak ada niat mengadu, hanya saja rasa penasaran yang sangat besar dia rasakan itu mendorongnya. “Kenapa Nenek dan Ibumu seperti kucing dan anjing? Mereka selalu menatap satu sama lain dengan keinginan saling menyerang?” Javier pun menghela napas. Dia sendiri tahu kalau Ibunya hari ini datang dari Rose. Perdebatan dan pertengkaran di antara mereka berdua adalah hal yang sudah sangat biasa. “Sudahlah, kau tidak usah memikirkan hal itu. Apapun yang mereka lakukan, biar saja menjadi urusan mereka,” jawab Javier yang sudah cukup muak dengan drama kedua orang itu. Jenn pun menganggukkan kepalanya. “Begitu ya? Hem... padahal mereka berdua itu kan Nenek dan Ibumu.” Javier memaksakan senyumnya. Ada rasa lelah yang begitu besar terlihat di wajahnya, membuat Jenn merasa tidak enak hati terlalu banyak bertanya.
Karina melangkah masuk ke ruang tengah dengan aura yang nampak angkuh, namun ketika pintu menutup rapat di belakangnya, hanya tersisa ia dan Nyonya Besar saja. Udara seakan mengeras, ketegangan lama yang tidak pernah reda langsung menguasai ruangan itu. Nyonya Besar duduk tegak di kursinya, sorot matanya tajam menusuk. “Ternyata kau memang masih berani menginjakkan kaki ke rumah ini, Karina?” suaranya dingin, penuh rasa muak yang menahun. Karina terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis dengan nada meremehkan. “Aku datang bukan untuk minta restu dari anda lagi, kenapa saya tidak berani datang? Lagi pula, aku dagang juga karena pesan anda, bukan? Lago pula rumah ini adalah rumah dari anak kandung ku, tentu saja bukan masalah jika aku datang ke tempat ini. Aku tetap ibunya, apa pun yang sudah pernah terjadi.” Nyonya Besar mendengus kasar, lalu melemparkan sebuah map ke meja kaca di antara mereka. Lembaran kertas berhamburan, itu adalah neraca transaksi, bu
Jenn baru saja menyesap cappuccino-nya ketika suara hak tinggi menghentak cepat di lantai kafe mendekat ke arah mereka. Javier mendongak, wajahnya berubah datar begitu melihat siapa yang datang menghampirinya. “Selamat pagi, Tuan Javier,” sapa Cecilia dengan senyum manis yang dibuat-buat. Nada suaranya seolah-olah ia sekadar asisten pribadi yang kebetulan bertemu atasannya. “Saya tidak menyangka bertemu Anda dan Nona Jenn di sini.” Javier hanya mengangguk singkat, dingin. “Pagi juga.” Ia kembali menunduk ke arah Jenn, berusaha melanjutkan sarapan tanpa menaruh perhatian lebih. Sementara itu, Jenn sendiri nampak tak terlalu ingin peduli. Penampilan Cecilia yang rapih tapi modis, berbanding terbalik dengannya, sama sekali tidak membuatnya iri. Tapi Cecilia tidak berhenti di situ. Dengan santai, ia menarik kursi di meja mereka. “Boleh saya duduk bersama anda berdua sebentar? Kebetulan saya juga belum sara