Sudah ada belasan panggilan tak terjawab ketika Juliete melirik ponselnya. Ia baru saja selesai mandi, bathrobe putih masih menggantung longgar di tubuhnya, rambut basahnya menjuntai lembut di pundak. Tentu saja, ia bukan gadis polos yang tidak mengerti maksud tersembunyi di balik ajakan mandi bersama dari Jaiden tadi. Dan kini, akibatnya, ponselnya nyaris meledak oleh notifikasi yang menumpuk. Semua panggilan itu berasal dari satu nama—Joane. Juliete mengerutkan dahi. Bukankah hari ini Sabtu? Seharusnya ia bebas dari segala urusan pekerjaan, meski memang ada satu sengketa tanah yang belum rampung. Tapi jika Joane menelepon sebanyak ini, mungkin ada hal mendesak yang terjadi. Ia pun menekan tombol “panggil balik”. “Halo, Joane?” Suara di seberang terdengar serak. Napas tersendat, sesenggukan. Juliete segera menyadari, Joane sedang menangis. “Ada apa, Joane?” tanyanya cepat, nada suaranya berubah khawatir. “Itu… itu pasti ulah suamimu!” geram Joane di tengah isak tangisny
Rasanya Juliete baru saja memejamkan mata ketika suara gaduh dari luar membangunkannya. Malam tadi, ia baru tidur sekitar pukul dua pagi—salahkan saja Jaiden. Pria itu berkali-kali menariknya dalam pelukan panas, menyatukan tubuh mereka tanpa ampun. Seolah menyentuh Juliete sekali saja tak pernah cukup baginya. Dengan malas, Juliete terduduk di tempat tidur, mengucek matanya pelan. Cahaya matahari menyeruak masuk lewat celah tirai jendela, menyerang matanya yang masih sayu. Tapi, ah… inilah musik musim semi yang indah—seindah suasana hatinya pagi ini. Masih jelas dalam ingatan ketika semalam Jaiden akhirnya mengucapkan pengakuan cinta itu. Kupu-kupu di perut Juliete langsung berhamburan, melayang dan menggelitik hingga ke ujung nadi. Sialnya, ia menyukai perasaan itu. Masih mengenakan gaun tidur hitam yang tipis dan jatuh, Juliete melangkah keluar kamar. Begitu daun pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Jaiden berdiri di depan jendela besar di ruang tengah. Namun, ada yan
Tubuhnya masih menempel padaku ketika pistol itu jatuh, menghantam lantai dengan suara berat yang menandai satu hal—bahwa Juliete telah menyerah, atau mungkin… memutuskan untuk ikut tenggelam bersamaku. Aku menariknya lebih erat. Tanpa berkata sepatah kata pun, kuangkat tubuhnya dalam pelukanku. Dia memukul dadaku pelan, tapi tidak benar-benar berniat melawan. Tangan-tangannya mencengkram kerah kemejaku bagai menyimpan kebencian yang berubah menjadi ketergantungan brutal. Kami memasuki kamar dengan langkah besar. Pintunya tak sempat kututup sempurna, hanya terbanting setengah. Aku menjatuhkannya ke tempat tidur. Matanya masih terbuka, menantangku, tapi napasnya sudah tercekat. Aku berdiri di ujung ranjang, menatap tubuhnya yang terengah dengan bibir merah dan rambut acak-acakan. Kancing bajuku kulepas perlahan, satu per satu, sementara matanya mengikutiku… tak berkedip. “Masih ingin membunuhku, Mrs. Cavendish?” suaraku rendah, nyaris seperti geraman. Juliete menatapku dala
“Bisakah aku mempercayai ucapanmu itu?” Juliete menyemburkan kalimatnya seperti racun. “Setahuku, kau selalu menganggap semua orang hanyalah pion. Siapa yang menjamin kalau aku bukan bagian dari permainanmu juga?” Tatapannya masih menyala. Belum ada sedikit pun tanda bahwa penjelasanku menyentuh hatinya. Dan itu menyulut api di dalam dadaku. “Sampai detik ini pun kau masih tak percaya padaku?” suaraku meninggi, tak bisa lagi kucegah. “Aku suamimu, Juliete! Aku melakukan semuanya untukmu! Apa kau buta melihat itu?!” Dia tidak mundur. Bahkan mendekat. “Bagaimana aku bisa mempercayai seorang iblis sepertimu, hah?” katanya tajam. “Mulai dari Isabella… dan entah siapa lagi!” Nama itu—Isabella—menusuk tepat di titik yang paling dalam. Kupikir masalah itu sudah selesai, tapi nyatanya tidak. Begitulah wanita, selalu mengingat satu kesalahan hingga seumur hidup. Nafasku langsung berubah. Dan sebelum aku bisa berpikir panjang, tanganku sudah mencengkeram lengannya. Kuat. Kasar. Tapi
Juliete duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam erat sehelai pakaian dalam yang masih ia pegang. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meskipun amarahnya masih mendidih di balik dada. Pikirannya berputar cepat. Ini bukan saatnya tenggelam dalam emosi. Dia harus bertindak—sekarang. Dengan sigap, ia mengambil ponselnya, memotret pakaian dalam itu tanpa ragu, lalu mengirimkannya pada Jaiden. Hanya satu kalimat menyertainya. “Apa ini juga bagian dari ‘meeting’-mu?” Tak sampai lima menit, ponselnya berdering. Nama Jaiden muncul di layar. Juliete mengangkatnya tanpa basa-basi. “Apa kau menuduhku, baby?” suara Jaiden terdengar tajam, sedikit lebih tinggi dari biasanya. Terdengar jelas ketidaksenangan dalam nada suaranya. Bukan karena pesan itu semata, tapi karena datang dari istrinya sendiri. “Aku hanya ingin tahu kebenaran. Di mana kau? Kita perlu bicara. Sekarang,” ujar Juliete dengan suara dingin dan tegas, tanpa memberi ruang untuk alasan. “Aku sedang m
Juliete menghentakkan tumit sepatunya ke lantai dengan keras saat melangkah keluar dari ruang walikota. Dentumannya menggema samar di koridor, jelas ada yang mengganggu pikirannya. Wajahnya tegang, matanya lurus menatap ke depan. Kedatangan asisten Jaiden lebih dulu darinya—itulah jawabannya. Itu yang membuatnya gelisah sejak awal. Jika Jaiden memang sudah mengirim seseorang ke Henry, lalu untuk apa dirinya juga harus datang ke sini? Dan yang lebih mengganggu, mengapa tanpa sepengetahuannya? Ada sesuatu yang pria itu sembunyikan. Sesuatu yang tidak ingin ia ketahui. Dan Juliete benci merasa dibodohi. “Julie… sebaiknya kita makan siang di mana?” tanya Joane, memecah lamunannya. Mereka kini telah sampai di halaman gedung kantor walikota, berjalan beriringan menuju area parkir yang panas dan berdebu. Alih-alih menjawab pertanyaan Joane, Juliete justru mengalihkan pandangannya ke arah Daniel, sang pengawal. “Terserah Joane… tapi kurasa ada hal yang harus kuselesaikan,” ujarnya s