Sepasang calon mempelai pengantin saat ini sedang berdiri di luar aula pernikahan di hotel berbintang di kota ini. Sekitar lima belas menit lagi, mereka akan berjalan menuju altar pernikahan. Mengikat janji suci untuk sehidup semati.
Calon mempelai wanita menoleh, menatap sang mempelai prianya yang berdiri di sampingnya dengan senyuman bahagia.
Tiba-tiba saja, ponsel dalam saku dibalik jas Revan berbunyi. Calon pengantin pria itu pun segera mengambil ponselnya dan mengeluarkannya. Raut wajah Revan seketika berubah saat dia menatap nama kontak yang tertera di layar ponselnya. Lalu dengan ragu-ragu dia berkata pada Evelyn. “Tunggu sebentar, aku akan mengangkat panggilan dulu.”
Evelyn hanya mengangguk, menatap punggung calon suaminya yang melangkah pergi menjauh dari tempatnya berdiri.
Beberapa saat telah berlalu, Evelyn melihat Revan sudah selesai dengan panggilannya.
Tapi dia merasa sedikit heran ketika melihat ekspresi Revan berubah menjadi suram. Evelyn pun bertanya, “Ada apa? Siapa yang menghubungimu?”
Revan belum menjawab, dia terdiam beberapa saat. Lalu terdengar dia menarik nafas dalam-dalam kemudian berkata dengan ragu-ragu, “Evelyn, maafkan aku. Pernikahan kita ini, kita tunda dulu. Jangan sekarang. Aku ada urusan yang sangat mendesak. Aku harus pergi sekarang.”
Evelyn tercengang bukan main. Acara sebentar lagi akan dimulai, tapi tiba-tiba saja Revan justru ingin menunda pernikahan mereka ini.
Kebahagiaan Evelyn yang tadi memuncak, lenyap dalam sekejap. Wajahnya pun menjadi pucat. Dia langsung bertanya dengan cemas, "Kak Revan, sebenarnya ada apa? Acara akan dimulai sebentar lagi. Apa kamu benar-benar tidak bisa menunggu acara kita selesai dulu?”
Revan menoleh ke arah aula pernikahan di belakang mereka. Saat kembali menatap Evelyn, sorot matanya terlihat begitu gelisah. "Urusan ini sangat penting, aku harus pergi sekarang. Meskipun kita menikah sekarang atau nanti, kurasa itu sama saja. Tidak akan ada masalah." Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban dari Evelyn, Revan melangkah pergi dengan terburu-buru.
Apa? Tidak akan ada masalah katanya? Bagaimana dengan nama baik keluarga Evelyn jika pernikahan ini sampai gagal?
Evelyn kebingungan. Dia kemudian langsung tersadar dan segera menahan lengan Revan untuk menghentikan langkahnya. "Apa sebenarnya yang lebih penting dari pernikahan kita? Tolong beritahu aku dulu." Evelyn menatap gusar pada Revan.
Revan menghentikan langkahnya. Setelah diam beberapa saat, dia berkata dengan suara rendah. "Sesuatu terjadi pada Clarissa."
Evelyn terkejut bukan main saat mendengar nama itu. Rasa dingin seketika menusuk hatinya dan menyebar ke seluruh tubuh hingga ke tulang belulangnya. Tangannya yang tadi memegang lengan Revan dengan kuat, kini terkulai lemas dan jatuh begitu saja.
Clarissa, adalah pacar Revan di masa lalu. Revan memang pernah bercerita kalau dia memiliki seorang pacar yang sangat dicintainya. Demi bisa bersama dengan pacarnya itu, Revan pernah memohon pada nenek dan kakeknya untuk memutuskan perjodohan di antara mereka. Dia bahkan sempat memberontak beberapa kali hanya untuk bersama Clarissa.
Tapi, entah karena masalah apa, hubungan cinta yang begitu kuat di antara mereka akhirnya putus. Clarissa pergi ke luar negeri, sedangkan Revan tetap tinggal di kota ini.
Evelyn mengira jika Clarissa hanya akan menjadi masa lalu Revan. Namun, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi, tepat di hari pernikahan mereka.
Revan melihat Evelyn yang terdiam, lalu dia menepis tangannya dan berjalan menuju lift. Dia berjalan pergi tanpa ragu.
Evelyn menatap kepergian Revan dengan tatapan kosong. Ternyata Revan belum pernah menghapus nama Clarissa dalam hatinya.
‘Lalu, kenapa dia setuju untuk menikah denganku? Apa hanya untuk memenuhi perjodohan antara keluarga saja? Tetapi, untuk apa jika tidak ada cinta sedikitpun di hatinya? Apa selama ini aku hanya terlalu berharap?’
Banyak pertanyaan di kepala Evelyn saat ini.
Tiba-tiba Evelyn tersadar saat melihat Revan hendak memasuki lift dan langsung memanggilnya, "Kak Revan, tunggu sebentar!"
Mata gadis itu sudah berkaca-kaca, tapi dia berusaha keras untuk tidak menangis di depan pria itu. Lalu perlahan, dia membuka bibirnya dan berkata dengan pelan, "Pernikahan akan segera dimulai. Apa kamu benar-benar tidak bisa menunggu setelah pernikahan kita selesai?"
Revan terdiam sejenak, kemudian berkata dengan nada tegas, "Evelyn, sesuatu terjadi pada Clarissa, dia saat ini sedang sendirian. Aku harus pergi ke sana. Kamu harus bisa mengerti. Kita hanya tidak bisa menikah hari ini, sementara saat ini Clarissa sedang sangat membutuhkanku."
Mendengar ucapan Revan seperti itu, hati Evelyn benar-benar sangat sakit. Sisa ucapannya tersangkut di tenggorokan dan tidak bisa diucapkannya lagi. Melihat cara Revan yang begitu tidak sabar ingin menemui Clarissa, harapan yang tadinya ada dalam dirinya sekarang tiba-tiba menghilang.
Pria itu sudah menyakitinya sampai sejauh ini, bahkan tidak ada sedikitpun rasa kasihan atau bersalah yang ditunjukkan pria itu padanya.
Setelah hening sejenak dan Revan sudah hampir masuk kembali ke dalam lift, Evelyn berkata, "Kalau begitu, mari kita putus saja."
Revan kembali berbalik, dia melihat Evelyn dengan tatapan penuh keterkejutan, namun hatinya penuh ejekan. "Kamu tidak usah bicara sembarangan, Evelyn. Setelah aku menyelesaikan masalah Clarissa, aku akan kembali dan kita bisa mengulang pernikahan kita yang–"
"Tidak perlu. Pergilah temui Clarissa, tetapi hubungan di antara kita telah berakhir sampai disini!" Evelyn memotong ucapan Revan. Suaranya terdengar serak, tapi sangat tegas.
Meskipun dia begitu menyukai Revan dan menikah dengannya adalah impiannya, tapi bukan berarti harga dirinya bisa diinjak-injak seperti ini.
Tidak ada cinta yang sebanding dengan harga diri seseorang.
"Evelyn, jangan bicara seperti itu. Setelah aku kembali, kita bisa melanjutkan pernikahan kita lagi," ujar Revan lalu kemudian dia masuk ke dalam lift tanpa ragu dan menekan tombol tutup.
Revan sama sekali tidak khawatir dengan Evelyn. Dia merasa jika ucapan Evelyn itu pasti hanya sebatas amarah sesaat. Dia yakin jika Evelyn tidak mungkin mau putus dengannya, karena selama ini gadis itu begitu tergila-gila padanya.
Evelyn melihat kepergian Revan dengan putus asa. Hatinya tiba-tiba menjadi sedingin es. Matanya mengembun, kemudian perlahan jatuh menetes membasahi kulit wajahnya yang mulus.
"Apa pun yang aku lakukan, aku tetap tidak sebanding dengan Clarissa yang selalu ada di hatimu, Kak Revan."
Pintu aula resepsi pernikahan terbuka, sosok wanita setengah umur keluar dari sana. Dia menatap Evelyn dengan tatapan tidak suka, "Di mana Revan?" tanyanya.
Jika bukan karena perjodohan antara kedua keluarga yang dibuat oleh ibunya yang mengharuskan putranya untuk menikahi Evelyn, wanita ini tidak akan sudi menerima Evelyn sebagai menantunya. Ditambah lagi dia sudah mengetahui jika perusahaan Limanto mengalami kebangkrutan.
Evelyn menunduk kemudian dia berkata, "Revan pergi."
Bu Linda pura-pura tercengang. Sebelum dia sempat berkata, Evelyn kembali berbicara, "Revan pergi menemui Clarissa."
Mendengar nama Clarissa disebut oleh Evelyn, Bu Linda langsung berbinar.
Dia berkata dengan keras pada Evelyn tanpa merasa bersalah. "Calon istri macam apa kamu ini? Bahkan kamu tidak bisa mempertahankan calon suamimu di hari pernikahanmu sendiri! Mana mungkin kamu membiarkan Revan menemui wanita lain? Dasar perempuan tidak berguna!"
Seorang gadis muda yang memakai gaun pink muncul di belakang Bu Linda, dia langsung mencibir Evelyn. "Bukan hanya kampungan dan tidak berpendidikan, tapi kamu juga sama sekali tidak cantik. Kalau dibanding dengan Kak Clarissa, kamu sama sekali tidak ada seujung rambutnya. Wajar saja kalau kak Revan tidak menyukaimu!"
Gadis ini bernama Anesa, dia adik Revan. Cucu kesayangan nyonya besar Lewis.
Tetapi, sejak bertemu dengan Evelyn, Nyonya besar Lewis sering membandingkan Anesa dengan dirinya. Mengatakan jika Anesa harus banyak belajar dari Evelyn. Evelyn bukan hanya pintar tapi dia gadis yang baik dalam hal apa pun. Karena itulah, sejak saat itu Anesa sangat tidak menyukai Evelyn.
Evelyn yang tadi menunduk, dia langsung mendongak. Kabut di matanya tadi pun seketika lenyap. Bibirnya yang merah terlihat bergetar saat mengucapkan sebuah kalimat, "Aku bukan calon istrinyanya lagi."
"Apa?" Anesa terkejut.
"Iya, kami baru saja putus. Dia pergi menemui mantan pacarnya di hari pernikahan ini, jadi aku memutuskan untuk mengakhiri pertunangan dan membatalkan pernikahan kami."
Evelyn menyadari jika ibu dan anak ini tidak pernah menyukainya. Namun, dia telah mempersiapkan diri jika suatu saat harus menikah dengan Revan. Baginya, yang penting adalah Revan, bukan ibu atau keluarganya. Dia juga sudah merencanakan untuk tidak tinggal bersama keluarga Revan. Jadi menurutnya, keluarga Revan tidaklah penting. Dia hanya perlu bersabar. Tapi sekarang, sepertinya dia tidak perlu bersabar lagi.
Wajah Bu Linda menggelap, lalu berkata dengan sinis, "Seharusnya kamu bersyukur karena putraku bersedia menikahimu. Kamu hanya ingin menyelamatkan perusahaan ayahmu yang akan bangkrut , ‘kan? Jangan berpura-pura. Bukankah pernikahan itu yang diharapkan oleh nenekmu dan juga keluargamu yang tidak berpendidikan?"
Mereka paham akan maksud dari ucapan Amara, mereka juga mengerti kegelisahan yang Amara rasakan.Pada akhirnya Amar pun menepuk pundak Arka, “Ada baiknya memang seperti itu Arka, kamu tidak keberatan kan, atas permintaan Amara?”Arka mengangguk, “Ya, Paman. Jika itu permintaan Amara, aku pasti akan menurutinya.”Amar kemudian keluar, dia menemui pihak rumah sakit untuk mengutarakan niatnya. Dokter tidak mempermasalahkan itu dan mengizinkan. Beberapa orang juga pernah melakukan hal yang sama seperti yang akan mereka lakukan. Menikah di rumah sakit, karena saat salah satu dari pasangan dari mereka kritis. Bahkan ada yang meninggal setelah mereka menikah. Dokter mengerti dan tidak mempersulit semua itu.Amar menghubungi Rayyan dan mengatakan hal ini. Lalu Rayyan menghubungi mertuanya dan menyampaikan apa yang dikatakan Amar.Siang ini di ruangan rawat inap tempat dimana Amara dirawat, nampak ramai orang. Tetapi mereka masih tetap menjaga ketenangan dan jarang yang berbicara. Sekali berbi
Evelyn menceritakan semuanya tentang kakaknya. Laras bukan tidak khawatir, dia bahkan menangis membayangkan jika hampir saja dia akan kehilangan putra satu-satunya milik mereka.Arka menoleh pada Azura, calon ibu mertuanya itu mengangguk. Dan mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh ibunya. Akhirnya Arka pun menurut.“Baiklah Bu, aku akan pulang.” Pada akhirnya Arka pun berpamitan pada Azura dan Amar untuk pulang dahulu.Ketika dia memasuki pintu, Laras dan Sofyan sudah berdiri menunggunya. Laras menatap putranya itu berjalan dengan lesu ke dalam rumah dengan wajah yang kusut dan pucat. Penampilan Arka sangat berantakan. Tetapi wajahnya tersirat sebuah kedewasaan. Jauh berbeda dengan Arka sebelum ini. Hati Laras sakit rasanya melihat keadaan putranya seperti itu. Langsung berlari dan memeluk Arka serta menangis tersedu-sedu.“Arka, jangan khawatir lagi. Semua akan baik-baik saja. Cinta kalian pasti akan bersatu.”Arka mendorong lembut tubuh ibunya kemudian mengangkat dagu
Pintu ruangan dimana Amara dirawat terbuka, beberapa suster masuk dan hanya memerlukan waktu sekitar dua menit, mereka sudah keluar dengan mendorong tubuh Amara.Semua orang mengikuti, namun langkah mereka harus terhenti ketika pintu ruangan operasi tertutup, menyisakan cahaya lampu halogen dan lampu LED yang sinarnya menembus kaca jendela. Tapi itu hanya beberapa detik saja, cahaya lampu di dalam ruangan itu menghilang karena tirai jendela telah ditutup dengan rapat.Amar merengkuh tubuh Azura dan membawanya ke ruang tunggu, sementara Rayyan merengkuh tubuh Arka dan membawanya ke ruangan tunggu juga, Rayyan memperlakukan Arka seperti memperlakukan anak kecilnya saja, bahkan dia melupakan istrinya yang bengong melompong melihat suaminya yang bukannya merengkuh dirinya justru malah merengkuh kakaknya.Sejenak Evelyn tertegun kemudian dia langsung tersadar. Dia ikut menyusul mereka dengan berlari kecil, lalu duduk di samping Arka.Dia segera memeluk Arka kembali, menyisihkan tangan Ray
Suasana kembali hening. Kembali tidak ada suara dari mereka, kembali tidak ada yang beranjak dari tempatnya. Mata mereka hanya terfokus pada satu titik saja yaitu ke arah dimana Dokter membawa Arka.Ingin rasanya mereka berlari menyusul kemudian berteriak memanggil Arka. Namun mereka menahan keinginan itu dengan sekuatnya. Bahkan cenderung dengan berat hati hanya bisa pasrah menghargai keinginan dan pengorbanan Arka.Sambil terus menekan dadanya, membayangkan apa yang sedang dilakukan para Ahli medis di dalam sana pada tubuh Arka. Membelah dadanya dan mengeluarkan jantungnya hidup-hidup? Atau Arka di bius dulu hingga mati kemudian diambil Jantungnya?Semua orang hanya bisa membisu ngeri dan menahan sakit dalam hati.Hingga beberapa saat lamanya, di tengah-tengah ketegangan yang meraja, seorang perawat berlari mendekati mereka. Semua berdiri."Tuan Rayyan, Dokter memanggil Anda. Mari silahkan ikut saya.""Aku ikut." Evelyn cepat ikut bangun."Mohon maaf Nyonya. Hanya Tuan Rayyan saja.
Suasana semakin Pilu dan terasa sangat mencekam saat Arka menandatangani surat itu.Tidak ada yang tidak mengeluarkan air mata. Pengorbanan Arka saat ini sungguh tidak bisa dikatakan main-main. Arka akan menyerahkan jantungnya untuk kelangsungan hidup Amara. Dia akan mati, demi Amara bisa hidup."Ikut lah bersama kami." Dokter melangkah. Arka mengikutinya."Kak Arka!" Evelyn yang sejak tadi membeku kini tidak bisa lagi menahan diri. Dia memanggil Arka sambil menarik lengannya.Arka menghentikan langkahnya kemudian dia menoleh.“Kak Arka, apa kamu akan meninggalkan kami?”Arka membalikkan badannya dia menatap lekat wajah adiknya yang teramat ya sayangi itu. Kemudian tangannya terulur untuk mengusap air mata Evelyn ini yang sejak tadi sudah membasahi pipinya.“Kak Arka tidak pernah pergi. Kak Arka akan tetap ada di hati kalian.” Dia meraih kedua tangan Evelyn kemudian menggenggamnya dengan erat.“Evelyn dengarkan kakak, tanpa Kakak, kamu akan tetap hidup lebih baik asalkan ada Rayyan di
Tidak perlu menunggu waktu lama, seseorang yang dihubungi oleh Rayyan itu langsung mengangkat panggilan teleponnya.[Robi, segera mungkin hubungi semua tim kita, untuk bergerak keseluruh rumah sakit atau kemana saja untuk mencari seseorang yang bisa mendonorkan Jantungnya untuk Amara. Berapapun harganya, kita akan membayarnya! Dengar berapapun, itu aku tidak peduli!]Tanpa bertanya, Robi sudah paham dengan maksud dari perintah yang diutarakan oleh Rayyan dan cepat mengiyakan.Baru saja Rayyan mengakhiri panggilannya, Seorang Perawat masuk dan berseru."Dokter! Nona Amara kritis!"Tanpa bertanya, Dokter pun segera berlari menyusul langkah perawat itu yang dengan sigapnya disusul juga oleh yang lainnya.Dokter segera masuk ke dalam ruangan tempat Amara berbaring."Amar, kondisi Amara, Putri kita memburuk! Dia tidak sadarkan diri lagi!" Azura langsung menubruk tubuh Amar dan menangis histeris saat sang suami muncul di hadapannya.Amar cepat membawa tubuh Azura ke luar ruangan mengikuti i