"Lo lo pada? Ngapain kalian ngehadang jalan gue, hah?! Kurang kerjaan banget kalian!" sergah Atala begitu kesal.
Rani ikut turun dari mobil. "Mereka siapa, sih, Sayang?" Rani menatap kedua cewek di hadapannya ini dengan pandangan remeh. Penampilan kedua cewek itu jauh berbeda dengannya yang kekinian dan seksi.
"Mereka tukang pembawa masalah ...," jawab Atala sambil menunjuk kedua cewek itu. "Ngapain coba lo berdiri di tengah jalan begitu? Syukur nggak gue tabrak lo."
"Sebelumnya kita minta maaf tiba-tiba ngehadang jalan kalian kayak gini," jelas cewek yang menghadang jalannya tadi. "Tapi itu semua karena gue butuh banget bantuan lo Atala buat benerin ban mobil gue yang pecah." Cewek itu menatap Atala dengan pandangan memohon.
Atala malah menatap cewek itu remeh, lantas kemudian tertawa. "Lo nyuruh gue benerin mobil lo? Lo kira gue kang mon--"
"Bukan. Bukan nyuruh, kok." Cewek itu menggeleng kencang. "Tapi minta tolong, please ..." Cewek itu menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Atala lalu mengangguk-angguk, melirik ban mobil cewek itu. Terdiam sejenak, lalu ... "Gue bisa sih benerin ban mobil, tapi ...."
"Tapi apa? Apa aja gue lakuin asal lo mau benerin ban mobil gue. Kita harus cepat, nih. Kasihan Citra, dia harus ke rumah sakit buat jenguk eyangnya yang udah sekarat. Urgent, nih," jelas cewek itu sambil melirik cewek berambut pendek dan berkacamata di sebelahnya.
"Tapi ... guenya nggak mau ...." Atala lantas tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut seolah kalimat yang dia ucapkan barusan adalah lelucon paling lucu sedunia. Dia memandang kedua cewek itu dengan tatapan mengejek. "Gimana, dong."
"Please, Atala, bantuin gue. Gue nggak tahu lagi mau minta tolong ke siapa. Soalnya ini juga udah malam banget. Nggak ada bengkel yang buka jam segini, kalau pun ada paling jauh, kita nggak bisa ngejangkaunya. Dan gue tadi nekat aja minta tolong sama siapa pun yang lewat, dan gue nggak nyangka kalau orang itu elo, La. Jadi gue mohon bantuin gue, ya. Gue ada kok bawa alat-alatnya, cuman emang gue nggak bisa benerinnya."
"Udah, cukup, Tasya!" Cewek berambut pendek dan berkacamata yang sejak tadi diam tiba-tiba menyahut. Dia geram melihat kelakuan cowok songong itu. Dia lalu berjalan mendekati Atala. "Eh, lo kalau nggak mau nolongin udah pergi sana, tapi nggak usah ngejek-ngejek kita juga! Gue nggak butuh bantuan lo!" Dia menatap tajam Atala.
Tasya terkejut melihat tindakan temannya itu.
Terlebih Rani dan Atala sendiri. "Sembarangan lo ngomong sama pacar gue." Rani angkat bicara, tak terima dengan perilaku cewek berkacamata itu terhadap pacarnya.
Gadis berkacamata itu menatap Rani. "Bilangin ke pacar lo jadi orang jangan kesombongan!"
"Nggak usah nunjuk-nunjuk cewek gue juga, najis!" Atala menepis tangan cewek berkacamata yang telah mengarah ke depan wajah pacarnya.
Plakkk!!!
Tanpa disangka, tangan cewek berkacamata spontan melayang ke pipi Atala hingga kepala cowok itu tertoleh ke samping. Tasya dan Rani terkejut tak menyangka.
"Kenapa lo tampar pacar gue?!" Rani maju dan hendak membalas cewek itu, tapi Atala mencegahnya dengan memegang tangannya.
Rahang Atala mengeras, tangan kirinya tanpa sadar terkepal geram, berusaha meredam emosi.
"Cit, lo ngapain? Lo berlebihan deh," desis Tasya tak habis pikir.
"Biarin aja. Biar manusia kayak dia tahu nggak semua orang bisa dia rendahin begitu."
Atala masih diam sambil memegangi pipinya yang kini terlihat memerah. Bekas tamparan itu masih terasa panas menjalari pipinya.
"Atala, maafin Citra, ya ...," ucap Tasya kemudian.
Citra menoleh ke Tasya tak suka. "Ngapain minta maaf, sih? Jangan bego. Kita kan nggak salah apa-apa."
"Tapi lo udah nampar dia, Cit ...."
Atala lantas berdeham nyaring membuat tiga pasang mata yang ada di sana menatapnya. Dia menatap Citra. "Tadinya gue masih berpikir buat nolongin teman lo atau nggak. Tapi pas liat sikap lo yang begini, gue berubah pikiran."
"Terserah!" Citra tak mau kalah.
"Yah, Cit, tapi kan kita butuh bantuan Atala buat benerin mobil gue. Lo harus ke rumah sakit sekarang dan ini udah malam banget, Cit. Sesekali ngalah demi keadaan yang lebih baik." Tasya tampaknya masih saja mengalah demi keadaan mobilnya. Lalu Tasya menatap Atala. "Atala, tolong benerin mobil gue, ya, please. Maafin Citra ...."
"Nggak semudah itu." Atala menggeleng.
"Please, Atala maafin Citra dan gue bakal lakuin apa aja buat nebus kesalahan Citra dan lo mau benerin ban mobil gue." Tasya terus memohon. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah penuh harap.
"Tasya, lo malu-maluin gue aja deh ngemis-ngemis gitu. Kita bisa kok cari bantuan lain," tegur Citra.
"Tapi lo liat sendiri kan di sini tuh sepi. Bahkan sekarang nggak ada lagi mobil lain yang lewat selain mereka. Kita harus tahu kondisi, dong. Kita harus ngalah demi kebaikan kita. Emang lo mau terjebak di sini sampai subuh?"
Citra terdiam mendengarnya. Yang Tasya katakan ada benarnya.
Tasya kembali terpaling ke Atala. "Atala, gue tahu dasarnya lo baik, jadi please maafin Citra dan bantuin gue, ya."
Atala menatap Citra dan Tasya bergantian, menimbang-nimbang apakah akan menolong mereka atau tidak?
***
"Alhamdulillah, Atala akhirnya mau nolongin kita. Kan gue bilang juga apa, Atala itu sebenarnya baik orangnya. Buktinya tadi dia masih mau nolongin kita padahal lo udah nampar dia. Bahkan dia nggak minta imbalan apa pun ke gue," ucap Tasya panjang lebar sambil menyetir, melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda. Gadis itu masih terkesima dengan kebaikan Atala.
Seandainya Atala tak mau menolongnya, mungkin kini mereka masih terjebak di jalan sepi itu sampai subuh dan Citra tidak ketemu dengan eyangnya yang kini telah menunggu lama di rumah sakit.
Ya, setelah melewati debat yang cukup panjang akhirnya Citra mau mengalah dan Tasya berhasil membujuk Atala untuk membenarkan ban mobilnya. Berbeda dengan Tasya, Citra tidak tersentuh dengan kebaikan cowok itu. Apalagi mengingat sikap cowok itu terakhir kali.
"Liat gue masih mau berbaik hati, ya, nolongin lo dan teman lo walaupun gue habis di tampar. Harusnya lo tuh berterima kasih ke gue, bukannya nampar gue!" Kentara sekali cowok itu tidak tulus.
Tapi waktu itu Citra diam saja karena tak kuasa meladeni. Jika menuruti emosinya, maka perdebatan itu tak akan selesai sampai besok.
Ya, begitulah Citra dan Atala, sejak SMA mereka dikenal sebagai musuh bebuyutan. Semua teman-teman mereka tahu bagaimana hubungan Citra dan Atala, termasuk Tasya.Sikap sombong cowok itu yang membuat Citra tak suka. Dia benci cowok itu, tapi anehnya mereka selalu dipertemukan. Bahkan ketika mereka sudah tak satu sekolah lagi. Contohnya seperti kejadian barusan. Ada saja kejadian yang membuat mereka berinteraksi.
"Tapi lo nggak liat reaksinya tadi, nggak ikhlas banget nolongnya," jawab Citra kemudian.
"Ya, kalau itu sih gue maklum. Wajar kan dia kesal sama lo yang udah nampar dia. Yang penting akhirnya dia mau nolongin kita. Lagian ya gue nggak ngerti sama kalian itu dari dulu nggak pernah akur."
"Gimana mau akur, lo liat tadi sikapnya nggak ikhlas banget nolongin, songong, belagu, ngerendahin orang dan yang paling gue nggak habis pikir, sikapnya dari dulu masih sama aja. Nggak berubah-berubah juga tuh orang. Nggak ada dewasanya sama sekali. Gue heran ada ya cewek yang mau sama dia." Citra geleng-geleng tak habis pikir.
"Ya, adalah Cit ... Atala kan nggak jelek-jelek amat, dan gue tahu sebenarnya dia tuh baik dan yang paling penting dia tajir."
"Tajir numpang harta orang tua?" Sejujurnya Citra muak mendengar Tasya terus memuji Atala sejak tadi.
"Dan gue heran juga sih sebenarnya kenapa kalian berdua nggak pernah akur. Kalian tuh suka gitu besar-besarin hal sepele. Heran banget gue. Padahal sebenarnya kalau gue perhatiin kalian tuh serasi tauk." Tasya senyum-senyum membayangkan sahabatnya itu akur dengan Atala.
Citra terkekeh. "Lucu lo."
"Malah menurut gue lo lebih cocok sama Atala daripada Dimas." Tasya terus saja berkomentar tentang Atala.
Citra mendelik. "Ngawur lo. Banding-bandingin si Talas sama Dimas. Jauh banget perbedaannya kayak langit dan bumi tahu nggak? Dimas itu baik, kalem, ganteng, pintar, sopan. Aduh beda banget deh sama si Talas yang cuman tong kosong nyaring bunyinya."
"Eh, lo nggak ingat, gitu-gitu dia juga punya kelebihan. Dia pintar nyanyi tauk, jago main gitar lagi."
Citra tertawa. "Pintar apaan? Suara pas-pasan gitu. Sakit telinga gue tiap dengar dia nyanyi."
Tasya paham Citra tak senang pacarnya yang sangat sempurna itu dibandingkan dengan Atala, cowok yang jelas-jelas dia benci. Hingga akhirnya gadis itu memilih diam saja.
Tanpa terasa mobil Tasya tiba di pelataran rumah sakit. Jam segini pelataran itu masih ramai akan kendaraan. Entah itu beroda empat atau beroda dua. Mereka berdua buru-buru turun dari mobil dan langsung menuju ruang di mana eyang kakung Citra dirawat.
Namun, begitu membuka pintu ruangan, Citra terkejut. Di ruangan itu tak hanya ada eyang kakung dan eyang putri. Melainkan ada orang lain. Seorang dewasa, dan seorang seusia dirinya. Dua orang yang sebenarnya Citra sudah kenal. Hanya saja Citra bingung kenapa mereka ada di sini juga.
Citra mendekati cowok seusianya itu. "Elo kok bisa ada di sini juga?"
***
Gulir bab selanjutnya Gaes.
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka