Di saat tengah semangat mengejar mimpi, Citra dipaksa menikah oleh keluarganya. Menikah dengan seorang pewaris tunggal dari keluarga kaya sekaligus musuh bebuyutannya. Dihadapi dengan sulitnya pilihan, mereka akhirnya membuat perjanjian. Pernikahan itu hanya sementara. Suatu hari nanti mereka akan bercerai. Namun, seiring berjalannya waktu, ada banyak hal baru yang terungkap. Sesuatu yang baru mereka ketahui, yang membuat mereka menyadari bahwa apa yang mereka anggap benar selama ini ternyata salah. Sesuatu itu menggoyahkan kesepakatan yang telah mereka buat di awal. Bagaimana kisah akhir pernikahan mereka? Bisakah mereka menepati perjanjian yang telah dibuat? Atau malah berakhir sebaliknya? AN: Ini cerita dengan konflik ringan. Jika kalian suka konflik yang berat, kalian bisa kunjungi cerita aku yang lainnya (Dendam Anak Tiri dan Mahligai yang Ternodai) di profil aku. Terima kasih.
View More"Gimana kalau gue yang pilihin lo cewek buat ditidurin?"
Pria berperawakan kebapakan itu melirik pemuda yang duduk di sampingnya. Menaik-naikkan kedua alisnya. Begitu percaya diri kalau pemuda itu pasti akan menerima tawarannya. Suaranya terdengar tenggelam-timbul karena ditelan ribut suara musik yang mengentak sejak tadi, mengiringi para pengunjung yang berjoget ria.
Lawan bicara pria itu hanya tersenyum miring selepas dari bersiul-siul kecil, menggoda cewek seksi yang lewat di hadapannya barusan, lalu mendelik ke arah pria itu. "Tapi gue nggak separah itu," jawabnya kemudian. "Kalau lo mau silakan aja. Jangan ajak-ajak gue." Lantas tatapannya terfokus pada cewek yang berjoget di dance floor di depan sana, hanya mengenakan tengtop dan celana dalam. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata.
"Nggak ada salahnya kan mencoba hal-hal baru?" Pria itu lalu mengisap rokok yang sudah mengecil. Pria itu tidak tersinggung dengan perkataan lawan bicaranya barusan dan masih berusaha mempengaruhi.
Barusan dia bertanya pada pemuda itu apakah tertarik untuk meniduri cewek-cewek yang digodanya itu. Namun, pemuda itu tidak tertarik, hingga pria itu bertanya demikian.
Pemuda bernama Atala Putra Sudiharto itu diam saja, rahangnya mengeras menahan amarah. Saat dia melempar pandang ke kiri, dilihatnya perempuan cantik yang mengenakan dress ketat merah tanpa lengan mendekat ke arahnya.
Atala lalu menatap Galang, nama pria yang sejak tadi bicara padanya. "Ada Rani, jangan ngomong macam-macam yang buat dia cemburu."
Galang malah tertawa santai memukul pelan bahu Atala. "Serius amat lo." Lalu menenggak minuman beralkoholnya yang tinggal setengah.
"Lama nggak nunggunya, Sayang?" tanya Rani seraya duduk di sebelah Atala. Gadis itu baru balik dari toilet.
Atala tersenyum. "Nggak kok, Sayang."
Atala dan Rani memang sepasang kekasih yang senang bermain di club malam. Namun, kali ini mereka tidak minum. Rani lebih suka menikmati aneka minuman buah yang tersedia di sana. Kecuali jika dia sedang frustrasi dengan masalah hidupnya. Sedangkan Atala senang bermain kemari karena di sini ada banyak cewek cantik dan seksi, dia senang melihatnya, sebagai vitamin A untuk matanya. Di club malam ini pula mereka bertemu.
"Gimana, Sayang, udah mau pulang sekarang?" tanya Atala memperhatikan pacarnya. Dia memang ingin segera pulang untuk menghindari Galang. Waktu mereka datang ke mari, mereka tak sengaja bertemu Galang yang juga senang menghabiskan waktu di sana. "Aku udah bayar semua pesanan kamu." Dia lalu merangkul bahu gadis itu dan menciumi pipinya singkat, sengaja memamerkan kemesraan di depan Galang.
Sang gadis tersenyum malu. "Boleh, yuk."
Atala pamit pada Galang. "Gue pulang dulu, ya, Bro. Makasih udah nemenin ngobrol tadi."
"Oke." Galang hanya mengangkat jempolnya.
Kedua sejoli itu keluar club sambil bergandengan tangan.
Atala bernapas lega saat dia membukakan gadisnya pintu mobil, berhasil menghindari pria yang bernama Galang itu. Jujur, dia tidak suka dengan pria itu, entah kenapa dia merasa pria itu selalu berusaha mempengaruhi hal-hal buruk padanya, bahkan sejak pertama kali mereka berkenalan. Atala bahkan tidak menyangka bertemu pria itu juga di sana.
***
"Sayang, abis ini kita ke Mall, yah," pinta Rani kala mereka sudah berada di mobil menuju perjalanan pulang.
Atala menoleh heran. "Loh bukannya tadi mau langsung pulang aja, Sayang? Lagian kan ini udah malam. Besok aja ke Mall nya."
Rani cemberut. "Besok aku takut nggak ada waktu, Sayang. Lagian kan ini baru jam dua belas lewat kok, Mall nya juga masih buka. Belum malam-malam banget, lah. Aku mau kamu beliin tas yang aku taksir kemarin itu lhoo ...."
Atala menghela napas. "Iya, deh, Sayang."
Lelaki itu sebenarnya merasa aneh. Tiap kali berdua dengannya, tiap kali berhubungan dengannya, pembahasan Rani tak jauh-jauh dari belanja, barang-barang branded, minta beli ini dan itu. Kadang kala Atala merasa Rani memacarinya karena harta, bukan cinta.
Tapi sebenarnya pun dia tak masalah, toh dia mampu.
Tiba-tiba ponsel Atala di atas dashboard berbunyi nyaring. Dengan malas-malasan lelaki itu meraihnya. "Siapa sih nelepon jam segini." Tak pernah ada yang berani mengganggunya malam-malam begini, sekalipun itu sahabatnya, kecuali ....
Lelaki itu membelalak kala melihat kata 'Papa' terpampang di layar ponsel.
Jempolnya pun mengusap layar ponsel lalu menempelkan benda pipih itu di telinga. "Iya, Pa, ada apa?" tanyanya lebih dulu sambil fokus menyetir.
Rani menoleh mendengarnya.
Atala mengernyit. "Apa, Pa? Ke rumah sakit? Harus malam ini juga, Pa?"
Jeda sejenak.
Atala menghela napas. "Iya, deh, Pa. Aku ke sana sekarang."
Atala kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula lalu menoleh pada Rani. Bersamaan dengan gadis itu yang memutar bola matanya malas. Dia sudah tahu apa yang akan pacarnya itu katakan.
"Sayang, maaf malam ini kita nggak bisa ke Mall, deh. Papa aku nyuruh aku ke rumah sakit sekarang juga."
"Ngapain sih ke rumah sakit? Emang siapa yang sakit?" tanya Rani tak suka.
"Nggak tahu. Tadi Papa cuman bilang mau ngomong masalah keluarga, penting banget."
"Jadi kamu mau ke rumah sakit sekarang dan batalin rencana kita?"
"Iyalah, Sayang. Ini penting banget. Papa nanti marah sama aku kalau aku nggak ikutin apa kata dia."
Rani hanya memutar bola matanya malas, lagi dan lagi. 'dasar bocah ingusan, anak manja' batinnya. Rani memang lebih dewasa dari Atala, usia gadis itu empat tahun lebih tua dari lelaki itu.
"Kamu nggak keberatan kan, Sayang, kalau kita batal ke Mall nya?" tanya Atala lagi membuyarkan lamunan Rani.
Rani memaksakan senyum palsu. Dia harus bersabar. "Enggak, kok. Iya aku tahu Papa kamu lebih penting dari apa pun." Rani tahu selama ini Atala membiayainya dari uang papanya juga. Karena lelaki itu kini hanyalah seorang anak yang baru lulus SMA dan pengangguran. Rani hanya takut kalau Atala sampai membuat papanya marah, nanti papanya tidak akan kasih uang yang banyak lagi buat Atala. Hal itu pasti juga berimbas pada dirinya nanti. Maka, dengan terpaksa Rani mengizinkan.
"Oke, aku sayang kamu." Atala mengusap puncak kepala Rani.
Ponsel Rani yang sejak tadi digenggamannya terlepas di bawah kaki Atala. Gadis itu menjerit tertahan. "Sayang ambilin handphone aku."
Sambil tetap menyetir, Atala agak membungkuk, tangannya mencoba meraba-raba di sekitar kakinya. Ponsel itu tak kunjung ketemu juga. Sampai Atala mencoba menunduk untuk melihat keberadaan ponsel itu. Namun tiba-tiba ...
"Awas, Sayang!"
Tubuh Atala pun menegak. Seorang perempuan tampak mencegatnya di depan sana. Dia nyaris menabrak orang itu seandainya dia tidak cepat memijak rem. Mobil itu pun berhenti tepat di depan perempuan itu seiring dengan jantung Atala berdebar kencang.
"Sial, mau cari mati apa ya tuh orang!" kesal Atala yang lantas turun dari mobilnya. "Hei, lo mau cari mati, ya?!"
Dan Atala lebih terkejut saat mengenali siapa orang itu. "Elo?"
***
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments