“Apa yang sebenarnya di lakukan oleh wanita tua itu? Mungkinkah ia gila?” guman Irawati setelah seminggu ini mengamati wanita tua yang setiap sore selalu mengantar sesaji ke pinggir pantai.
Sebuah sesaji dari daun pisang yang ia bentuk persegi dengan berbagai lauk yang sama seperti yang ia makan hari ini. Wanita tua berbalut jarik dengan kebaya encimya yang lusuh. Setelah ia melarung sesajinya ke bibir pantai ia akan selalu berteriak sesuka hati. Kadang ia menangis meraung, kadang juga mengumpat sosok nan jauh di samudra. “Apa yang sebenarnya wanita tua itu lakukan?” Hal itulah yang selalu membuat Irawati penasaran dan tak pernah absen ke pantai saat sore hari semenjak kedatangannya ke pulau kecil di ujung Samudra. Irawati adalah seorang ibu dua anak yang terkena babyblus dan hampir melukai bayinya sendiri yang berusia enam bulan. Suaminya harus memindahkannya dari kota menuju tempat yang damai seperti di pulai kecil tempat ia pindah dinas kerja. Irawati sekarang di temani oleh Sekar pengasuh untuk bayinya yang sekarang berusia delapan bulan. Sementara anak sulungnya Bimasena masih sering ia rawat sendiri.“Makan ini, dan kembalikan anakku!” teriak wanita tua itu, debur ombak mengombang-ambingkan sesajen itu, jariknya setengah basah hingga ke lutut. Byuurr... Sebuah ombak besar menelan sesaji itu, kini jarik wanita tua itu basah hingga ke pangkal paha. Ia segera berbalik dan meninggalkan bibir pantai. Irawati segera berjalan mendekat ke tempat wanita tua itu membuang sesaji. Di sana ada sisa nasi dan sepotong tahu yang terselip di antara butiran pasir putih. ‘Untuk apa wanita ini memberi makan Samudera, bukankah di kedalaman samudera sudah ada segalanya dari pada seonggok nasi yang tak berarti.’Irawati menatap ke arah laut, senja terlihat indah dengan mentari berwarna secerah buah pepaya matang yang baru saja ia makan tadi, tapi tubuh Irawati tiba-tiba bergetar ketika Mentari sudah tenggelam lautan berubah hitam legam dan menyeramkan. Irawati menghela nafas dalam, ‘Sudah waktunya aku pulang, esok sore aku akan datang lagi untuk mendengar sumpah serapah apa lagi yang akan wanita tua itu teriakkan pada Samudra.’***Sore berikutnya Irawati datang lagi ke bibir pantai. Tepat jam empat sore, wanita tua itu juga datang lagi dengan jalannya yang tertatih di usia senjanya. Tulangnya tak sekuat dulu, pasir pantai sering kali membenamkan langkahnya beberapa centimeter hingga membuat jalannya sedikit terhuyung. Ia membawa lagi daun pisang berbentuk persegi yang berisi makanan. Ujung kain jariknya terkibas-kibas oleh angin laut. ‘Apakah ia menyembah samudra?’ tiba-tiba pikiran itu muncul dari benak Irawati. 'Tapi bukankah ia seharusnya melarung bunga tujuh rupa, tapi kenapa ia hanya membawa makanan sederhana?’‘Kenapa ia memberi makan samudra?’ Irawati tidak tahan lagi dengan semua tanda tanya yang mengganggunya, ia segera berjalan mendekati wanita tua itu. Ia menarik nafas dalam dan mulai memberanikan diri menanyakan hal yang sudah seminggu ini membuatnya penasaran dengan kegiatan wanita tua ini. “Permisi Nek, apa yang sedang nenek lakukan?” Wanita tua bernama Suminah itu menatap tajam ke arah Irawati, tatapan yang membuat Bulu kuduknya berdiri. Dari tatapan itu Irawati tahu bahwa wanita itu tidak suka di ganggu. “Kamu orang kota tahu apa? Jangan ganggu urusanku!” jawab Suminah dengan ketus. Irawati memilih mundur beberapa langkah, melihat tangan keriput di depannya mulai meletakkan sesaji di atas gulungan ombak. “Antarkan makanan ini pada anakku!” perintahnya pada ombak, dengan cepat ombak menggulung sesaji itu, perlahan daun pisang beserta isinya yang sempat terombang-ambing kini tak terlihat lagi. Irawati mendadak merinding, bulu kuduknya berdiri. Dia ingin pergi tapi tiba-tiba kakinya terpatri tak bisa di gerakkan. Bik Suminah menoleh ke belakang tepat ke arah Irawati, wajah wanita tua itu berubah dingin dan menyeramkan. Senyumnya menyeringai seperti penyihir. “Kau berikutnya!” kata Bik Suminah dengan suara yang menggema tinggi dari dalam kerongkongan. Tatapan dan suara itu seperti bukan milik wanita tua ini. Irawati semakin ketakutan, tapi kakinya masih saja terpaku tak mau bergerak. Tak berapa lama ia melihat wanita tua di hadapannya itu ambruk tak sadarkan diri. Sebuah ombak besar menghampiri Bik Suminah dan menggulung tubuh renta itu menuju ke tengah samudra tepat di hadapan Irawati. Irawati ketakutan, ia berusaha sekeras mungkin meminta pertolongan tapi tenggorokannya tercekat dan kakinya mulai terasa lemas. Butuh waktu beberapa saat hingga ia bisa bersuara. “Tolong! Tolong!” teriak Irawati.Sebagian orang mulai berdatangan, Irawati terduduk lemas seluruh tubuhnya bergetar. “Tolong, wanita tua tadi tergulung ombak!” katanya pada orang-orang yang mendatanginya. Sebagian orang mulai berpencar dan menyisir di sepanjang pantai tapi Bik Suminah sudah tidak terselamatkan. Bahkan tak meninggalkan jejak sedikit pun. Juru kunci di panggil oleh warga, dia adalah pria tua berusia 60 tahun lebih. Ia tiba di bibir pantai saat langit sudah menjadi gelap hanya pencahayaan dari obor para warga yang menjadi sumber cahaya lelaki itu melakukan ritual. Ia tak membawa apa pun sebagai persembahan, saat lelaki tua yang di panggil Lek Harso mulai mendekat ke tengah pantai hingga air setinggi lutut kakinya baru ia berhenti. Tangannya di silangkan ke belakang, ia hanya diam seolah sedang berkomunikasi dengan makhluk yang tak bisa di lihat secara kasat mata. “Dia memang ingin menjadikan laut sebagai makamnya!” terang Lek Harso pada warga. “Iya dia sepertinya ingin berdampingan dengan anaknya yang hilang di lautan,” sahut tetangga.Irawati yang masih duduk gemetaran merasa terganggu dengan perkataan tetangga bahwa Bis Suminah ingin berdampingan dengan anaknya di laut. “Memang kenapa dengan anak Bik Suminah?” tanya Irawati pada dua perempuan yang tengah mengapitnya yang terduduk lemas di pinggir pantai. “Laut ini sering kali meminta tumbal, jauh di sana ada penguasa laut perempuan. Saat ia ingin menikah dengan bangsa manusia, maka siapa saja lelaki muda bisa ia seret ke tengah laut untuk menjadi pendampingnya.”Terdengar sangat tidak masuk akal bagi Irawati seorang sarjana yang lahir dan dibesarkan di Kota yang jauh akan hal berbau klenik. Tapi ia tidak bisa melupakan bagaimana Bik Suminah menatapnya tajam dan bagaimana ombak besar menelan wanita itu begitu saja padahal sebelumnya ombak begitu tenang. “Aku masih belum paham hubungan semua itu dengan Bik Sum?” tanya Irawati setelah tidak bisa menahan lagi rasa penasaran.“Dua tahun lalu, anaknya melaut dan tidak pernah kembali,” Mulut Irawati menganga karena terkejut, ia mulai mencerna banyak hal yang selama ini membuat ia penasaran tentang apa yang dilakukan Bik Sum di depan pantai setiap sore. Wanita tua itu memanggil anaknya yang sudah di telan samudera. ‘Bukankah banyak orang juga yang tenggelam di laut, tapi kenapa mereka menghubungkan itu dengan makhluk astral?’ logika Irawati mulai memprotes semua hal tak masuk akal yang baru saja ia dengar. “Anaknya adalah pria tampan dan baik, pantas saja penguasa lautan meminangnya,” wanita paruh baya di sebelah kanan Irawati menyahut. Ia adalah Ibu Halimah istri Ketua RT di desa ini. “Ayo pulang, Lek Harso menyuruh kita semua untuk pulang,” ajak ketua RT pada istrinya. Ibu Halimah segera membantu Irawati berdiri, “Mari kuantar pulang, kamu pasti sangat terkejut melihat kejadian tadi. Malam ini sebaiknya kamu jangan tidur sendiri,” nasehat Ibu Halimah sambil memapah tubuh Irawati yang terasa lemas dan gemetaran. Ibi Halimah dan sebagian warga sini tahu betul bahwa suami Irawati adalah orang pertambangan yang jarang berada di rumah. Untuk itu ia menyarankan agar wanita ini setidaknya mengajak pengasuh anaknya untuk menemani ia tidur malam ini. Irawati menoleh ke belakang, ia melihat laut yang gelap dan menakutkan. Di dekat pantai ia masih melihat Lek Harso berdiri menghadap lautan yang tampak menyeramkan malam ini. Saat melihat debur ombak, ia teringat kembali bagaimana tatapan terakhir Bik Sum dan bagaimana ombak menggulung wanita tua itu.Setelah memikirkan perkataan Ambar, hati Amitha mulai tergerak. Ia kemudian mengesampingkan egonya, yang terpenting adalah ia dan Sena bertahan hidup terlebih dulu. Jika mereka ditakdirkan untuk saling mencintai waktu akan menjawabnya sendiri pada akhirnya. Amitha menghubungi Catra, ia menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan Sena, tapi ia ingin upacara pernikahan itu di lakukan secara diam-diam. Catra kemudian mengatur pertemuan dengan Sena dan Amitha pada hari berikutnya. “Guruku mengatakan bahwa pernikahan kalian harus di lakukan pada lima hari lagi di tempat Mbah Dayat. Wilayah itu sudah di pagari, dan akan menetralisir kekuatan Ratu Segara.” Amitha hanya mengangguk dengan malas ia tampak tak tertarik dan hanya ingin mengikuti alur. Ayahnya sudah tiada dan ia hanya tinggal dengan ibunya. Dia juga tak membutuhkan wali dari pihak keluarganya. Beberapa hari kemudian adalah hari yang di tentukan. Sena, Amitha dan Catra berkendara menuju ke tempat
Setelah menyesap minuman itu Sena merasakan dirinya menjadi linglung, darah di tubuhnya seolah mendidih dan ia merasa sedikit panas. Ada gairah yang tak terbendung saat melihat Elena.“Tak apa sayang, kamu hanya perlu melepaskan semua yang kamu inginkan.”Elena melingkarkan lengannya ke leher Sena, pria itu segera mencium Elena dengan kasar seolah ingin menyedot tubuh Elena menjadi satu dengan dirinya. Sena segera menggendong tubuh Elena ke ranjang dengan hati-hati. Melanjutkan tiap gerakan panas mereka di sana, namun selangkah saat inti dari pada kegiatan akan berada di puncak. Elena mendadak mengerang kesakitan, lehernya terasa panas seperti tercekik.Melihat ada yang tidak beres Sena kembali ke akal sehatnya. Ia bingung dan mulai teringat pada kesalahan yang akan ia perbuat. Tak ada banyak waktu untuk menolong Elena, gadis ini pasti akan menemui ajalnya. Wajah Elena sudah pucat dan lehernya memerah seperti luka bakar.“Tidak! Tolong l
Amitha terkejut saat Sena mengatakannya bahwa dirinya selama ini adalah pengantin langit yang di cari Sena. Tak banyak yang tahu bahwa dia adalah pengantin langit kecuali keluarga dekatnya.“Kenapa kamu bisa tahu tentang pengantin langit? Siapa yang memberitahu dirimu?” tanya Amitha dengan mencengkeram lengan Sena.Sena segera membuka sepatunya dan juga kaos kaki yang ia kenakan. Amitha heran pada apa yang di lakukan Sena, tapi sesaat kemudian lelaki itu menunjukkan sebuah tanda trisula di kaki kirinya.“Lihatlah, nasibku tidak jauh berbeda denganmu. Hanya saja aku adalah pengantin samudera.”Amitha mundur beberapa langkah, ia hampir tak mempercayai apa yang di katakan Sena, tapi saat ia memperhatikan lebih jelas mimik Sena ia tak melihat adanya kebohongan di balik itu.“Kenapa kamu mencari pengantin langit?”“untuk menyelamatkan kita dari nasib buruk ini.”“Adakah hal seperti itu?
Melihat wajah serius dari Harun, Amitha tahu bawa sepupunya ini sudah bertekad untuk tidak melakukan pendakian dan membawanya turun. Amitha tak punya pilihan lain dan pada akhirnya mengekor langkah Harun untuk kembali.“Bolehkah aku buang air kecil dulu?” tanya Amitha menghentikan langkah kakinya.“Baiklah, jangan terlalu jauh agar tidak tersesat. Aku akan menunggumu di sini.”Karena berbeda jenis kelamin Harun tak mungkin mengikuti Amitha untuk buang air kecil. Ia justru memalingkan pandangan matanya ke arah lain agar Amitha bisa buang air kecil dengan nyaman di semak-semak. Beberapa waktu telah berlalu, Amitha yang seharusnya kembali tak kunjung datang. Harun merasa resah, setelah ia melakukan beberapa kali teriakan untuk memanggil Amitha tapi ia tak mendapatkan jawaban. Ia akhirnya memutuskan untuk melihat area semak tempat Amitha tujuan tadi, tapi saat Harun sampai di sana bahkan jejak sepupunya pun tak ada.“Sial! Apa ya
Sena kembali ke apartemen tempat ia tinggal dengan Elena. Saat ia masuk Elena menyambutnya dengan pelukan hangat, mereka hampir tidak bertemu selama seminggu penuh. Begitu Sena datang Elena tak berhenti menghujani dirinya dengan ciuman dan pelukan. “Aku sangat merindukanmu,” rengek Elena. “Aku juga.” “Kamu seharusnya menghabiskan waktu libur bersamaku. Ke mana saja kamu pergi selama beberapa hari ini?” Elena menghabiskan waktu penuh kecurigaan selama Sena menghilang beberapa hari ini. Entah kenapa ia merasa bahwa Sena sedang menyembunyikan wanita lain di belakangnya. Elena menyipitkan matanya dan memiliki pemikiran buruk agar bisa mengikat Sena untuk tetap bersama dirinya. *** Di tengah malam Amitha terbangun dari mimpi buruknya. Ia seperti kembali di mana saat hari tergelap sepanjang hidupnya saat tersesat di Gunung Arang selama tiga hari. Ia berangkat bersama Harun menaiki gunung Arang. Harun merupakan sepupunya dan ia adalah Porter
Setelah menghabiskan malam di hotel Sena dan Catra memacu kendaraan menuju rumah wanita kedua yang jaraknya hampir 100 kilometer. Mereka baru saja menyelesaikan ujian tengah semester dan hanya punya waktu libur seminggu saja untuk melakukan pencarian keberadaan pengantin langit.Begitu sampai di desa pinggiran, mereka berhenti di rumah Hani, yang merupakan nomine kedua mereka.“Permisi, apakah Hani ada di rumah?” tanya Catra begitu memasuki pekarangan rumah. Ada seorang wanita dengan anak kecil yang tengah menjemur padi di depan rumah mereka.“Iya, saya sendiri. Ada apa ya?”Sena dan Catra terkesiap, mereka tak menyadari bahwa wanita yang mereka cari berubah lebih tua dari pada yang usia yang seharusnya. Wanita itu harusnya berusia 23 tahun tapi garis di wajahnya dan tanda kelelahan di bawah matanya membuat ia terlihat seperti berusia 40 tahun.“Kita mahasiswa dari Ibu Kota, ingin melakukan wawancara tentang dampak psi
Esok hari Sena dan Catra segera menuju sebuah kabupaten kecil tepat di sebelah ibu kota. Dari data yang mereka dapat seorang gadis berusia 23 tahun pernah tersesat di gunung Arang lima tahun lalu.Rumah sederhana gadis bernama Raya itu berada tak jauh di pusat kota. Sena bisa dengan mudah menemukannya dengan bantuan peta digital.“Sepertinya ada hajatan di rumah wanita yang bernama Raya itu,” kata Catra lirih setelah melihat ada tenda biru di depan rumah Raya. Ada pelaminan dengan dekorasi bunga plastik yang indah di dalam tenda biru itu.“Sepertinya pernikahan, apa menurutmu Raya akan menikah hari ini?” tiba-tiba saja mata Sena melebar. Jika Raya adalah pengantin langit, maka pernikahan ini adalah sebuah bencana.“Kita harus memastikan dulu siapa mempelainya, bisa saja ini pernikahan kerabat Raya.”Sena mengangguk, mereka berdua akhirnya turun dari mobil dan mendekat ke rumah Raya. Hanya ada dua karangan bunga u
Bruk!Suara hantaman benda tumpul membuat Amitha terkejut dan membuka matanya, sesaat kemudian ia melihat dua preman tadi tengah tersungkur dan mengerang karena pukulan keras tepat di belakang tengkuk lehernya. Ratna melarikan diri saat melihat ada pria lain datang memberi pertolongan pada Amitha.Dua preman itu segara bangkit untuk memberi serangan balasan. Sena bersiaga dengan tongkat kayu panjang yang berhasil ia temukan di tumpukan bekas pembangunan. Perkelahian dua lawan satu hampir membuat Sena terjepit, beruntung saat Sena sudah terpojok seorang satpam sedang mengarahkan senter ke arah mereka. Preman itu segera lari meninggalkan Sena dan Amitha.“Apa kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Sena menghampiri Amitha.Amitha menggeleng, sebagian dari jiwanya masih ketakutan. Jemarinya bahkan masih gemetar, Amitha yang masih shock hanya menjawab Sena dengan menggelengkan kepalanya.“Mari, aku akan mengantarmu ke kantor
Setelah menghabiskan malam panjang di dalam Gua Rimbi, mereka sampai di rumah Mbah Dayat saat fajar baru merekah. Ketiga tamu Mbah Dayat segera tidur di ruang tamu secara serampangan, mengabaikan betapa keras lantai yang hanya tertutup tikar tipis. Mereka tertidur dengan sekejap mata saat kepala mereka baru menempel di lantai. Mereka kelelahan secara mental dan fisik, tertidur seperti mayat dan baru bangun pada sore hari.“Jadi bagaimana cara menemukan pengantin langit?” tanya Sena saat Catra menemani dirinya duduk di teras rumah Mbah Dayat yang asri.Catra tak bisa menjawabnya, sebagai gantinya ia segera mengajak Sena berdiskusi dengan Pak Adi dan Mbah Dayat.“Sangat sulit mencari gadis itu hanya dengan petunjuk tanda di belakang lehernya. Kita tidak mungkin menyibak rambut tiap gadis yang kita temui,” keluh Pak Adi.“Mari kita perkecil pencarian.”Sena, Pak Adi dan Mbah Dayat menatap ke arah Catra penuh tanda t