Share

2 : Teror Bik Sum

Irawati tidur ditemani oleh Sekar dan kedua anaknya. Ada sebuah kasur lantai yang biasa mereka pakai saat Irawati ingin tidur bersama mereka. Suaminya jarang pulang dan mental Irawati tidak baik-baik saja sejak terkena baby blues, itulah mengapa sering kali Sekar menemaninya tidur. 

Tengah malam mereka semua tertidur, hanya Irawati yang masih terjaga. Ia masih menggigil ketakutan, tatapan Bik Sum padanya dan bagaimana ombak menarik tubuh renta itu ke tengah laut masih terus menghantuinya. Ia menyapu tatapan ke sekeliling ruangan, entah kenapa ia merasa terus di awasi. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Sena anaknya. Ia mengatup matanya dengan erat, berbagai doa keluar dari bibirnya hingga ia tertidur pulas tanpa di sadari. 

Tik.. tik.. tik..

Ada tetesan air membasahi kening Irawati, ia menatap ke atas. Di atap langit-langit rumahnya ia melihat Bik Sum tengah menempel pada plafon, rambut panjangnya yang didominasi warna putih menjuntai ke bawah. Tetesan itu berasal dari ujung-ujung rambut Bik Sum yang basah. Senyum Bik Sum menyeringai dengan taring kecil yang sangat menyeramkan. 

“Tidak! Pergi kamu!” teriak Irawati dan membangunkan Sekar bahkan kedua anaknya. 

“Buk, buk, bangun!” Sekar terus menggoyangkan tubuh Irawati yang kedua tangannya terus bergerak ke sana kemari seperti mengusir sesuatu. Sekar semakin memperkuat guncangan tangannya karena majikan perempuannya itu tak juga sadar. Suara tangisan kedua anak Irawati semakin menjadi-jadi, mereka terbangun secara terkaget karena suara teriakan ibunya, jelas itu membuat mereka merasa ketakutan. 

Sekar terpaksa mencubit paha Irawati, sedetik kemudian ia sadar dan membuka mata. Nafasnya masih terengah-engah ketika melihat dua anaknya sekarang saling menangis ketakutan. 

Sekar segera merengkuh anak bungsu Irawati dan menenangkannya sementara Irawati memeluk Sena dengan masih gemetar ketakutan. Meski begitu ia bersyukur, karena kejadian mengerikan yang baru saja dia alami hanya sebuah mimpi. 

Pagi hari banyak orang mulai berkumpul di depan rumah masing-masing dengan para tetangga kanan kiri mereka. Mereka semua bergunjing tentang kematian Bik Sum yang meninggalkan kengerian semalam tadi. Banyak warga merasa kampung mereka menjadi menyeramkan. Ada sebagian orang yang dihantui oleh arwah Bik Sum. Sebagian lelaki yang berjaga ronda semalam melihat penampakan wanita tua itu tengah berjalan dengan pakaian basah kuyup. 

Irawati yang penasaran berjalan menghampiri mereka yang tengah berkumpul tak jauh di depan rumahnya. 

Bulu kuduk Irawati mulai berdiri saat ia mendengar kisah penampakan Bik Sum dan tubuhnya yang basah. Penjabaran penampakan itu sama persis seperti Bik Sum yang ada dalam mimpinya semalam. 

“Ada apa?” tanya Ibu Hani ketika melihat rona ketakutan yang dipancarkan oleh wajah Irawati. 

“Di mimpiku semalam Bik Sum datang dengan keadaan basah kuyup sedang berada di atas plafon rumahku,” 

Ke-empat ibu-ibu itu saling melempar pandang mendengar pengakuan Irawati. 

“Sepertinya kita perlu melakukan selamatan dan melarung sesaji ke pantai untuk menenangkan arwah Bik Sum,” saran salah satu ibu-ibu yang masih tetangga Irawati. 

“Kau benar, ia adalah janda sebatang kara. Mungkin dia hanya ingin ada yang mendoakan,” sahut ibu-ibu yang lainnya. 

“Baiklah, aku akan berunding dengan Pak RT,” jawab Ibu Hani. 

Irawati merasa sedikit lega, ia berharap bahwa acara selamatan itu akan menghilangkan bayang-bayang bahkan mimpi buruk tentang Bik Sum. 

“Aku mulai mengkhawatirkan sesuatu, mungkinkah Ratu Segara akan mencari pengantin lagi?” 

Irawati sebenarnya hendak pergi tapi ia kembali menahan langkahnya saat seorang wanita paruh baya tetangga selang empat rumah dari rumahnya itu tiba-tiba mengeluarkan kata kekhawatiran yang tak Irawati mengerti. 

“Huss.. Jangan bicara ngawur!” kata Ibu Hani. 

“Lebih baik aku menyuruh anakku tidak melaut dulu,” seperti gayung bersambut tetangga lain mulai menaruh kekhawatiran yang sama. 

“Apa maksudnya dengan Ratu Segara sedang mencari pengantin?” tanya Irawati pada para tetangga. Sebagai pendatang baru mereka cukup memahami rasa penasaran tetangga baru mereka ini. 

“Sebagian besar warga di sini percaya ada makhluk mistis penguasa laut, dia adalah Ratu Segara. Perempuan mistis cantik penguasa laut di kepulauan ini.”

“Tiap beberapa tahun sekali, ia akan mengambil pemuda yang menarik hatinya dan menenggelamkan pemuda itu, dengan cara itu di alam gaibnya ia bisa menikahi pria itu,” sahut tetangga lain. 

“Bukankah jika mencari suami ia harus menikah sekali saja seumur hidup?” tanya Irawati dengan kepolosan warga kotanya. 

“Itu kan untuk mereka yang hidup, dia kan makhluk gaib yang abadi. Suaminya bangsa manusia akan menua tapi ia tidak.”  

“Bukankah lelaki yang ia tenggelamkan juga akan mati di dasar laut sana, aku dengar hantu tidak menua,” guman Irawati lirih. 

Para tetangga saling pandang, mulut mereka tersekat tak mampu menjawab logika yang di utarakan oleh Irawati. Selama ini itu adalah kepercayaan turun temurun yang tak pernah mereka bantah dari orang terdahulu. 

“Ratu membutuhkan jiwa-jiwa itu untuk menjaga kecantikan abadi juga kekuatan nyang ia miliki. Tiap beberapa tahun sekali ia akan menenggelamkan satu pemuda di desa ini atau bahkan pendatang,” jawab Nenek renta yang sedari tadi duduk di kursi goyangnya. Ia adalah ibu dari Pak RT desa ini. Gurat keriput dan urat yang menonjol di tubuhnya sudah menyaksikan banyak kejadian sejak dulu. 

Para tetangga mulai buyar ketika Pak RT baru saja datang dari rapat dengan perangkat desa. 

“Bisakah aku tanya sesuatu?” tanya Irawati pada Ibu Ari tetangga sebelah kanan rumahnya saat mereka berjalan bersama untuk pulang. 

“Iya, apa itu?” 

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak Bik Sum?” 

Irawati memendam penasaran itu sejak kemarin. Bik Sum adalah wanita yang sudah membuat ia tiap sore datang ke pantai untuk menyaksikan apa yang sebenarnya dilakukan wanita tua itu. Kematian Bik Sum kemarin senja juga masih menyisakan misteri untuk akal sehat Irawati. 

“Baiklah, akan aku ceritakan kisahnya padamu,” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status