Irawati tidur ditemani oleh Sekar dan kedua anaknya. Ada sebuah kasur lantai yang biasa mereka pakai saat Irawati ingin tidur bersama mereka. Suaminya jarang pulang dan mental Irawati tidak baik-baik saja sejak terkena baby blues, itulah mengapa sering kali Sekar menemaninya tidur.
Tengah malam mereka semua tertidur, hanya Irawati yang masih terjaga. Ia masih menggigil ketakutan, tatapan Bik Sum padanya dan bagaimana ombak menarik tubuh renta itu ke tengah laut masih terus menghantuinya. Ia menyapu tatapan ke sekeliling ruangan, entah kenapa ia merasa terus di awasi. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Sena anaknya. Ia mengatup matanya dengan erat, berbagai doa keluar dari bibirnya hingga ia tertidur pulas tanpa di sadari. Tik.. tik.. tik..Ada tetesan air membasahi kening Irawati, ia menatap ke atas. Di atap langit-langit rumahnya ia melihat Bik Sum tengah menempel pada plafon, rambut panjangnya yang didominasi warna putih menjuntai ke bawah. Tetesan itu berasal dari ujung-ujung rambut Bik Sum yang basah. Senyum Bik Sum menyeringai dengan taring kecil yang sangat menyeramkan. “Tidak! Pergi kamu!” teriak Irawati dan membangunkan Sekar bahkan kedua anaknya. “Buk, buk, bangun!” Sekar terus menggoyangkan tubuh Irawati yang kedua tangannya terus bergerak ke sana kemari seperti mengusir sesuatu. Sekar semakin memperkuat guncangan tangannya karena majikan perempuannya itu tak juga sadar. Suara tangisan kedua anak Irawati semakin menjadi-jadi, mereka terbangun secara terkaget karena suara teriakan ibunya, jelas itu membuat mereka merasa ketakutan. Sekar terpaksa mencubit paha Irawati, sedetik kemudian ia sadar dan membuka mata. Nafasnya masih terengah-engah ketika melihat dua anaknya sekarang saling menangis ketakutan. Sekar segera merengkuh anak bungsu Irawati dan menenangkannya sementara Irawati memeluk Sena dengan masih gemetar ketakutan. Meski begitu ia bersyukur, karena kejadian mengerikan yang baru saja dia alami hanya sebuah mimpi. Pagi hari banyak orang mulai berkumpul di depan rumah masing-masing dengan para tetangga kanan kiri mereka. Mereka semua bergunjing tentang kematian Bik Sum yang meninggalkan kengerian semalam tadi. Banyak warga merasa kampung mereka menjadi menyeramkan. Ada sebagian orang yang dihantui oleh arwah Bik Sum. Sebagian lelaki yang berjaga ronda semalam melihat penampakan wanita tua itu tengah berjalan dengan pakaian basah kuyup. Irawati yang penasaran berjalan menghampiri mereka yang tengah berkumpul tak jauh di depan rumahnya. Bulu kuduk Irawati mulai berdiri saat ia mendengar kisah penampakan Bik Sum dan tubuhnya yang basah. Penjabaran penampakan itu sama persis seperti Bik Sum yang ada dalam mimpinya semalam. “Ada apa?” tanya Ibu Hani ketika melihat rona ketakutan yang dipancarkan oleh wajah Irawati. “Di mimpiku semalam Bik Sum datang dengan keadaan basah kuyup sedang berada di atas plafon rumahku,” Ke-empat ibu-ibu itu saling melempar pandang mendengar pengakuan Irawati. “Sepertinya kita perlu melakukan selamatan dan melarung sesaji ke pantai untuk menenangkan arwah Bik Sum,” saran salah satu ibu-ibu yang masih tetangga Irawati. “Kau benar, ia adalah janda sebatang kara. Mungkin dia hanya ingin ada yang mendoakan,” sahut ibu-ibu yang lainnya. “Baiklah, aku akan berunding dengan Pak RT,” jawab Ibu Hani. Irawati merasa sedikit lega, ia berharap bahwa acara selamatan itu akan menghilangkan bayang-bayang bahkan mimpi buruk tentang Bik Sum. “Aku mulai mengkhawatirkan sesuatu, mungkinkah Ratu Segara akan mencari pengantin lagi?” Irawati sebenarnya hendak pergi tapi ia kembali menahan langkahnya saat seorang wanita paruh baya tetangga selang empat rumah dari rumahnya itu tiba-tiba mengeluarkan kata kekhawatiran yang tak Irawati mengerti. “Huss.. Jangan bicara ngawur!” kata Ibu Hani. “Lebih baik aku menyuruh anakku tidak melaut dulu,” seperti gayung bersambut tetangga lain mulai menaruh kekhawatiran yang sama. “Apa maksudnya dengan Ratu Segara sedang mencari pengantin?” tanya Irawati pada para tetangga. Sebagai pendatang baru mereka cukup memahami rasa penasaran tetangga baru mereka ini. “Sebagian besar warga di sini percaya ada makhluk mistis penguasa laut, dia adalah Ratu Segara. Perempuan mistis cantik penguasa laut di kepulauan ini.”“Tiap beberapa tahun sekali, ia akan mengambil pemuda yang menarik hatinya dan menenggelamkan pemuda itu, dengan cara itu di alam gaibnya ia bisa menikahi pria itu,” sahut tetangga lain. “Bukankah jika mencari suami ia harus menikah sekali saja seumur hidup?” tanya Irawati dengan kepolosan warga kotanya. “Itu kan untuk mereka yang hidup, dia kan makhluk gaib yang abadi. Suaminya bangsa manusia akan menua tapi ia tidak.” “Bukankah lelaki yang ia tenggelamkan juga akan mati di dasar laut sana, aku dengar hantu tidak menua,” guman Irawati lirih. Para tetangga saling pandang, mulut mereka tersekat tak mampu menjawab logika yang di utarakan oleh Irawati. Selama ini itu adalah kepercayaan turun temurun yang tak pernah mereka bantah dari orang terdahulu. “Ratu membutuhkan jiwa-jiwa itu untuk menjaga kecantikan abadi juga kekuatan nyang ia miliki. Tiap beberapa tahun sekali ia akan menenggelamkan satu pemuda di desa ini atau bahkan pendatang,” jawab Nenek renta yang sedari tadi duduk di kursi goyangnya. Ia adalah ibu dari Pak RT desa ini. Gurat keriput dan urat yang menonjol di tubuhnya sudah menyaksikan banyak kejadian sejak dulu. Para tetangga mulai buyar ketika Pak RT baru saja datang dari rapat dengan perangkat desa. “Bisakah aku tanya sesuatu?” tanya Irawati pada Ibu Ari tetangga sebelah kanan rumahnya saat mereka berjalan bersama untuk pulang. “Iya, apa itu?” “Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak Bik Sum?” Irawati memendam penasaran itu sejak kemarin. Bik Sum adalah wanita yang sudah membuat ia tiap sore datang ke pantai untuk menyaksikan apa yang sebenarnya dilakukan wanita tua itu. Kematian Bik Sum kemarin senja juga masih menyisakan misteri untuk akal sehat Irawati. “Baiklah, akan aku ceritakan kisahnya padamu,”Sebagian besar warga di pulau ini berprofesi sebagai nelayan. Termasuk Ardi putra satu-satunya dari Bik Sum yang berusia 25 tahun. Sudah hari ke tujuh ia tidak mendapatkan tangkapan apa pun hingga matahari meninggi. Ia gelisah tiap kali melihat wajah sedih Bik Sum yang kecewa pada hasil melautnya. Sudah banyak hutang mereka di warung untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka selama hasil tangkapan ikan sedikit. Hingga hari kedelapan di tengah lautan yang gelap tanpa penerangan rembulan Ardi mengucapkan sebuah permintaan pada samudera.“Berikan aku banyak ikan, dan aku akan memberikanmu jiwaku!”Kilatan menyambar dengan tanpa aba-aba beberapa kilat tanpa ada suara gemuruh guntur. Laut yang tenang tiba-tiba bergelombang tinggi, mata Ardi melihat banyak ikan mulai berlompatan ke arah jaringannya.“Badai sepertinya akan datang hingga membuat ikan takut dan berlompatan,” gumam Ardi tanpa mengetahui arti dari semua yang ia d
Pagi Hari Bik Sum sudah menunggu di bibir pantai, para nelayan sudah menyandarkan kapalnya kecuali satu kapal milik Ardi. Bik Sum mulai berdiri penuh kecemasan, saat matahari mulai meninggi sementara bendera kapal anaknya saja tak terlihat sedikit pun mendekat ke arah pantai.“Masih belum sandar kapal Ardi Bik?” tanya Parto, tetangga Bik Sum yang juga seorang nelayan. Ia sudah pulang dari melaut sejak subuh tadi, kini ia heran tak biasanya Ardi pulang terlambat bahkan hingga siang hari.“Belum, ada apa ya? Semoga ia baik-baik saja,” kata wanita tua itu penuh harap.“Apa semalam kamu tidak menjaring di dekat kapalnya?” tanya Bik Sum lebih lanjut.“Aku sempat berada di sekitar kapalnya, tapi hanya sampai jam 11 malam, aku dan teman-teman lalu menuju ke tempat lain karena di sana kami tak mendapat ikan satu pun.”“Lalu apa Ardi tidak ikut pindah?”“Terakhir kali
Hari ke lima pencarian Ardi.Beberapa kapal berpencar seperti biasanya, mereka saling mengarahkan cahaya senter ke permukaan laut berharap jenazah Ardi akan mengapung di permukaan. Mereka juga memakai teropong sederhana untuk mencari keberadaan kapal Ardi. Mungkin saja kapal itu kehabisan bahan bakar hingga kapalnya hanya terombang-ambing di tengah lautan luas.“Terasa tidak, sejak Ardi menghilang laut menjadi sunyi dan menyeramkan,” keluh Yoyok.“Iya, karena itu aku mengajakmu ikut naik di kapalku. Aku sekarang bahkan tidak berani melaut sendirian,” jawab Toni.Laut beraroma kematian, itulah yang selalu nelayan keluhkan bahkan hingga nanti hari ke empat puluh hilangnya Ardi.Malam semakin sunyi, kapal lain yang berjauhan satu sama lain membuat rasa sunyi semakin menggelayuti. Bulu kuduk Toni dan Yoyok berdiri, embusan angin bahkan terasa sangat dingin hingga membuat mereka menggigil.“Yo
Pada hari ke tujuh kepergian Ardi, hanya tersisa tiga kapal nelayan yang masih berani melakukan pencarian. Mereka masih mengarungi lautan di sekitar pulau secara berkelompok dari pagi hingga malam hari.Malam ini salah satu kapal yang berisi Johan Si Preman pulau, Khafid dan Johar melihat penampakan kapal Ardi yang tengah terombang-ambing di tengah laut. Mata mereka berbinar, kapal itu adalah harta karun yang bernilai ratusan juta. Bahkan jika mereka berhasil menemukan mayat Ardi di dalamnya maka mereka juga akan mendapatkan mobil bak sesuai janji Bik Sum.Kapal Johan segera mendekati kapal Ardi yang gelap dan tak terdapat pencahayaan sama sekali. Mereka mengaitkan kedua kapal itu dengan sebuah tali.“Khafid, kamu tetap di kapal! Aku dan Johar akan masuk ke kapal Ardi,” titah Johar pada Khafid.Johar dan Johan segera melompat memasuki kapal Ardi. Angin dingin seolah berembus di tiap permukaan kapal kosong ini, menciptakan suasana men
Irawati tak bisa tidur hingga tengah malam, sekeras apa pun usahanya memejamkan mata cerita kengerian kematian anak Bik Sum membuat ia semakin terjaga dalam ketakutan. Irawati selalu merasa sedang ada yang tengah mengawasi dirinya, ia ingin sekali mengarahkan pandangan ke sudut kamar tapi rasa takut membuat ia hanya berani berpaling sementara rasa merinding semakin mengacaukan pikiran dirinya.Ia terus meringkuk dan gemetar, mulutnya tak berhenti berdoa hingga ia tertidur. Di dalam mimpi Irawati tengah berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan. Di sana ia sendirian dan ketakutan, hingga sosok wanita tua menghampiri dirinya.“Kamu berikutnya!” Suara serak wanita tua itu begitu menakutkan. Wajahnya yang pucat dan rambut yang terurai basah membuat Irawati menjerit ketakutan.“Buk, bangun buk!” Sekar menggoyangkan tubuh Irawati yang mengigau ketakutan. Tubuh majikan wanitanya itu sudah basah kuyup oleh keringat dingin dan nafa
Irawati bagai di sambar petir, ‘Perjanjian Gaib' adalah hal yang baru ia dengar ditelinganya. Ia gemetar, bahkan kepalanya terasa berputar-putar, ia begitu ketakutan hingga menggigit ujung bibirnya hingga berdarah.“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Irawati dengan suara yang parau, sebagai seorang ibu ia akan melakukan apa pun untuk membuat anaknya kembali bahkan meskipun cara itu terlihat gila dan tak masuk akal.“Sena akan dikembalikan dalam keadaan hidup, tapi saat dewasa ia akan di ambil lagi oleh Ratu Segara sebagai Pengantin Samudera,” jawab Lek Harso.Irawati mundur perlahan, wajah putus asa ibu muda itu terlihat jelas, dengan rambut yang acak-acakan karena angin pantai yang terus menyentuh rambutnya membuat ia terlihat seperti wanita gila.“Baiklah,” jawab Irawati setelah melewati gejolak batin. Setidaknya anak yang ia cintai kembali kepadanya dalam keadaan hidup. Ia akan mencari jalan kel
Irawati mulai membuka mata setelah pingsan selama hampir satu hari penuh. Ia menyapukan pandangan ke sekeliling dan mengenali bahwa ia sekarang sudah terbaring di kamar rumahnya sendiri.“Sena!” Pekik Irawati begitu terbangun.Sekar segera berlari ke kamar majikannya. Ia melihat wajah panik Irawati yang kini sudah berdiri dengan gugup mencari ke setiap sudut keberadaan Sena.“Bu, Sena ada di kamar sebelah. Bidan Desa baru saja pulang setelah memasang infus untuknya,” jawab Sekar menghampiri Irawati.Irawati segera berlari menuju kamar di sebelahnya, di sana ia melihat Sena masih tertidur lelap dengan infus yang berada di tangannya yang kecil.“Terima kasih Tuhan, aku benar-benar sudah membawa ia pulang!”Irawati menyapukan pandangan ke arah telapak kaki Sena sebelah kiri. Ia masih melihat tanda trisula yang membuat tubuhnya gemetaran, dengan sigap ia segera menarik selimut menutupi
“Ayah!” Sena berlari segera memeluk ayahnya yang masih mengenakan handuk. Pelukan tangan kecil itu terasa begitu kencang di pahanya. Ada air hangat yang mulai membasahi pahanya.“Ada apa? Kenapa kamu menangis?”“Kenapa sekarang banyak hantu yang suka jahil sama aku Yah?” tanya Sena sambil terisak.“Dia sudah seperti itu sejak beberapa hari lalu,” jawab Irawati yang sudah terbangun saat putranya Sena berteriak memanggil ‘Ayah!’“Apa sudah di periksakan ke dokter? Biasanya anak menjadi sensitif saat mereka sakit.”“Bidan Desa sudah sempat datang dan memberinya infus,” terang Irawati singkat. Suaminya baru saja pulang setelah sebulan penuh dinas di laut. Ia akan menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya setelah mendapatkan waktu yang pas.Sena tenang dalam dekapan kedua orang tua di sisi kanan dan kiri tidurnya. Bocah itu tertidur p