Amitha terkejut saat Sena mengatakannya bahwa dirinya selama ini adalah pengantin langit yang di cari Sena. Tak banyak yang tahu bahwa dia adalah pengantin langit kecuali keluarga dekatnya.
“Kenapa kamu bisa tahu tentang pengantin langit? Siapa yang memberitahu dirimu?” tanya Amitha dengan mencengkeram lengan Sena.
Sena segera membuka sepatunya dan juga kaos kaki yang ia kenakan. Amitha heran pada apa yang di lakukan Sena, tapi sesaat kemudian lelaki itu menunjukkan sebuah tanda trisula di kaki kirinya.
“Lihatlah, nasibku tidak jauh berbeda denganmu. Hanya saja aku adalah pengantin samudera.”
Amitha mundur beberapa langkah, ia hampir tak mempercayai apa yang di katakan Sena, tapi saat ia memperhatikan lebih jelas mimik Sena ia tak melihat adanya kebohongan di balik itu.
“Kenapa kamu mencari pengantin langit?”
“untuk menyelamatkan kita dari nasib buruk ini.”
“Adakah hal seperti itu?
Setelah menyesap minuman itu Sena merasakan dirinya menjadi linglung, darah di tubuhnya seolah mendidih dan ia merasa sedikit panas. Ada gairah yang tak terbendung saat melihat Elena.“Tak apa sayang, kamu hanya perlu melepaskan semua yang kamu inginkan.”Elena melingkarkan lengannya ke leher Sena, pria itu segera mencium Elena dengan kasar seolah ingin menyedot tubuh Elena menjadi satu dengan dirinya. Sena segera menggendong tubuh Elena ke ranjang dengan hati-hati. Melanjutkan tiap gerakan panas mereka di sana, namun selangkah saat inti dari pada kegiatan akan berada di puncak. Elena mendadak mengerang kesakitan, lehernya terasa panas seperti tercekik.Melihat ada yang tidak beres Sena kembali ke akal sehatnya. Ia bingung dan mulai teringat pada kesalahan yang akan ia perbuat. Tak ada banyak waktu untuk menolong Elena, gadis ini pasti akan menemui ajalnya. Wajah Elena sudah pucat dan lehernya memerah seperti luka bakar.“Tidak! Tolong l
Setelah memikirkan perkataan Ambar, hati Amitha mulai tergerak. Ia kemudian mengesampingkan egonya, yang terpenting adalah ia dan Sena bertahan hidup terlebih dulu. Jika mereka ditakdirkan untuk saling mencintai waktu akan menjawabnya sendiri pada akhirnya. Amitha menghubungi Catra, ia menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan Sena, tapi ia ingin upacara pernikahan itu di lakukan secara diam-diam. Catra kemudian mengatur pertemuan dengan Sena dan Amitha pada hari berikutnya. “Guruku mengatakan bahwa pernikahan kalian harus di lakukan pada lima hari lagi di tempat Mbah Dayat. Wilayah itu sudah di pagari, dan akan menetralisir kekuatan Ratu Segara.” Amitha hanya mengangguk dengan malas ia tampak tak tertarik dan hanya ingin mengikuti alur. Ayahnya sudah tiada dan ia hanya tinggal dengan ibunya. Dia juga tak membutuhkan wali dari pihak keluarganya. Beberapa hari kemudian adalah hari yang di tentukan. Sena, Amitha dan Catra berkendara menuju ke tempat
“Apa yang sebenarnya di lakukan oleh wanita tua itu? Mungkinkah ia gila?” guman Irawati setelah seminggu ini mengamati wanita tua yang setiap sore selalu mengantar sesaji ke pinggir pantai.Sebuah sesaji dari daun pisang yang ia bentuk persegi dengan berbagai lauk yang sama seperti yang ia makan hari ini. Wanita tua berbalut jarik dengan kebaya encimya yang lusuh. Setelah ia melarung sesajinya ke bibir pantai ia akan selalu berteriak sesuka hati. Kadang ia menangis meraung, kadang juga mengumpat sosok nan jauh di samudra.“Apa yang sebenarnya wanita tua itu lakukan?” Hal itulah yang selalu membuat Irawati penasaran dan tak pernah absen ke pantai saat sore hari semenjak kedatangannya ke pulau kecil di ujung Samudra. Irawati adalah seorang ibu dua anak yang terkena babyblus dan hampir melukai bayinya sendiri yang berusia enam bulan. Suaminya harus memindahkannya dari kota menuju tempat yang damai seperti di pulai kecil tempat ia pindah dinas kerja. Irawati sekarang d
Irawati tidur ditemani oleh Sekar dan kedua anaknya. Ada sebuah kasur lantai yang biasa mereka pakai saat Irawati ingin tidur bersama mereka. Suaminya jarang pulang dan mental Irawati tidak baik-baik saja sejak terkena baby blues, itulah mengapa sering kali Sekar menemaninya tidur.Tengah malam mereka semua tertidur, hanya Irawati yang masih terjaga. Ia masih menggigil ketakutan, tatapan Bik Sum padanya dan bagaimana ombak menarik tubuh renta itu ke tengah laut masih terus menghantuinya. Ia menyapu tatapan ke sekeliling ruangan, entah kenapa ia merasa terus di awasi. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Sena anaknya. Ia mengatup matanya dengan erat, berbagai doa keluar dari bibirnya hingga ia tertidur pulas tanpa di sadari.Tik.. tik.. tik..Ada tetesan air membasahi kening Irawati, ia menatap ke atas. Di atap langit-langit rumahnya ia melihat Bik Sum tengah menempel pada plafon, rambut panjangnya yang didominasi warna putih menjuntai ke bawah. Tetesa
Sebagian besar warga di pulau ini berprofesi sebagai nelayan. Termasuk Ardi putra satu-satunya dari Bik Sum yang berusia 25 tahun. Sudah hari ke tujuh ia tidak mendapatkan tangkapan apa pun hingga matahari meninggi. Ia gelisah tiap kali melihat wajah sedih Bik Sum yang kecewa pada hasil melautnya. Sudah banyak hutang mereka di warung untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka selama hasil tangkapan ikan sedikit. Hingga hari kedelapan di tengah lautan yang gelap tanpa penerangan rembulan Ardi mengucapkan sebuah permintaan pada samudera.“Berikan aku banyak ikan, dan aku akan memberikanmu jiwaku!”Kilatan menyambar dengan tanpa aba-aba beberapa kilat tanpa ada suara gemuruh guntur. Laut yang tenang tiba-tiba bergelombang tinggi, mata Ardi melihat banyak ikan mulai berlompatan ke arah jaringannya.“Badai sepertinya akan datang hingga membuat ikan takut dan berlompatan,” gumam Ardi tanpa mengetahui arti dari semua yang ia d
Pagi Hari Bik Sum sudah menunggu di bibir pantai, para nelayan sudah menyandarkan kapalnya kecuali satu kapal milik Ardi. Bik Sum mulai berdiri penuh kecemasan, saat matahari mulai meninggi sementara bendera kapal anaknya saja tak terlihat sedikit pun mendekat ke arah pantai.“Masih belum sandar kapal Ardi Bik?” tanya Parto, tetangga Bik Sum yang juga seorang nelayan. Ia sudah pulang dari melaut sejak subuh tadi, kini ia heran tak biasanya Ardi pulang terlambat bahkan hingga siang hari.“Belum, ada apa ya? Semoga ia baik-baik saja,” kata wanita tua itu penuh harap.“Apa semalam kamu tidak menjaring di dekat kapalnya?” tanya Bik Sum lebih lanjut.“Aku sempat berada di sekitar kapalnya, tapi hanya sampai jam 11 malam, aku dan teman-teman lalu menuju ke tempat lain karena di sana kami tak mendapat ikan satu pun.”“Lalu apa Ardi tidak ikut pindah?”“Terakhir kali
Hari ke lima pencarian Ardi.Beberapa kapal berpencar seperti biasanya, mereka saling mengarahkan cahaya senter ke permukaan laut berharap jenazah Ardi akan mengapung di permukaan. Mereka juga memakai teropong sederhana untuk mencari keberadaan kapal Ardi. Mungkin saja kapal itu kehabisan bahan bakar hingga kapalnya hanya terombang-ambing di tengah lautan luas.“Terasa tidak, sejak Ardi menghilang laut menjadi sunyi dan menyeramkan,” keluh Yoyok.“Iya, karena itu aku mengajakmu ikut naik di kapalku. Aku sekarang bahkan tidak berani melaut sendirian,” jawab Toni.Laut beraroma kematian, itulah yang selalu nelayan keluhkan bahkan hingga nanti hari ke empat puluh hilangnya Ardi.Malam semakin sunyi, kapal lain yang berjauhan satu sama lain membuat rasa sunyi semakin menggelayuti. Bulu kuduk Toni dan Yoyok berdiri, embusan angin bahkan terasa sangat dingin hingga membuat mereka menggigil.“Yo
Pada hari ke tujuh kepergian Ardi, hanya tersisa tiga kapal nelayan yang masih berani melakukan pencarian. Mereka masih mengarungi lautan di sekitar pulau secara berkelompok dari pagi hingga malam hari.Malam ini salah satu kapal yang berisi Johan Si Preman pulau, Khafid dan Johar melihat penampakan kapal Ardi yang tengah terombang-ambing di tengah laut. Mata mereka berbinar, kapal itu adalah harta karun yang bernilai ratusan juta. Bahkan jika mereka berhasil menemukan mayat Ardi di dalamnya maka mereka juga akan mendapatkan mobil bak sesuai janji Bik Sum.Kapal Johan segera mendekati kapal Ardi yang gelap dan tak terdapat pencahayaan sama sekali. Mereka mengaitkan kedua kapal itu dengan sebuah tali.“Khafid, kamu tetap di kapal! Aku dan Johar akan masuk ke kapal Ardi,” titah Johar pada Khafid.Johar dan Johan segera melompat memasuki kapal Ardi. Angin dingin seolah berembus di tiap permukaan kapal kosong ini, menciptakan suasana men