“Din, laki lo tukang sayur di pasar induk ya?” tanya Sisil pada Andin setelah ia memetik daun kemangi. “Semua jenis sayur, ada di sini. Kalo rumah gue deket, udah gue ambilin tiap hari, jadi Ibu nggak perlu belanja,” lanjutnya sambil tertawa pelan.
“Ngawur lo, masa iya tukang sayur pake bodyguard segala,” sahut Andin, sambil mengaduk tumis kangkung yang hampir matang.
“Iya juga sih.” Sisil manggut-manggut sambil menyiangi daun kemangi.
“Sil, kalo udah selesai nyiangin daun kemangi, kamu goreng tempe tepung, ya!” titah Andin pada Sisil, sambil menuang tumis kangkung ke piring besar.
“Siap, Ndoro,” sahut Sisil dengan semangat. Ia pun segera mencuci daun kemangi yang sudah disiangi. Lalu menyalakan kompor dan memanaskan penggorengan.
Sementara Andin sedang memanaskan alat pemanggang ikan. Ia menaruh ikan di atas panggangan yang sudah panas, sesekali membaliknya dan mengoleskan kembali bumbu yang
“Sempurna,” jawab Haidar sambil mengacungkan jempolnya yang masih blepotan sambal dan bumbu ikan gurame bakar.Andin langsung memeluk Haidar dari samping, tangannya ia lingkarkan di leher sang suami. Kemudian ia mencium pipi suaminya berkali-kali.Haidar yang mendapat serangan mendadak dari istrinya hanya diam mematung tanpa bisa berkata-kata lagi. Ia syok mendapat ciuman dadakan. Sudah diberi makan enak ditambah hidangan penutup yang super enak.“Astaga!” Sisil memejamkan matanya melihat adegan romantis suami istri di depannya. “Gue tahu, kalian udah halal, tapi tolonglah jangan ciuman di depan gue! Kasihanilah si Jotik ini,” ujar Sisil sambil memejamkan matanya.“Nggak usah lebay, buka mata lo!” titah Andin sambil melempar irisan timun ke arah Sisil.Andin sudah duduk kembali di kursinya saat Sisil membuka mata “Jotik siapa sih? Penyanyi dangdut itu ya?” tanya Andin pada Sisil.
“Aku mau minta izin, ke rumah Bunda, sebentar,” jawab Andin. Kemudian ia bangun dari duduknya menghampiri Haidar.“Aku antar,” sahut Haidar. Ia berbalik badan menghadap Andin yang sedang berjalan menghampirinya.“Nggak usah. Aku mau nganter Sisil dulu, terus ke rumah sakit, jengukin Kak Fadil, abis itu baru ke rumah Bunda,” kata Andin. Ia nggak mau diantar suaminya karena merasa nggak bebas, apa lagi para bodyguard-nya pasti ikut.“Setelah dari rumah Bunda, kita langsung ke rumah Mami,” kata Haidar. “Apa kamu mau ke tempat lain, yang aku nggak boleh tahu?” Haidar menyipitkan matanya.“Nggak,” jawab Andin. “Ya udah, Om boleh ikut, tapi para bodyguard kamu nggak boleh ikut!” Andin merasa tidak nyaman kalau selalu diikuti para bodyguard.“Ok,” sahut Haidar. “Aku ganti baju dulu.” Haidar pergi ke ruang ganti.“Aku tungggu di luar,” kata Andin. “Punya laki ribet banget ya, ngintilin mulu, ‘kan gue jadi nggak bebas,” gumam Andin sambil menutup pintu kam
Tanpa banyak bertanya lagi, Haidar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada yang bersuara di dalam mobil. Haidar maupun Andin, mereka diam mematung. Sisil tampak canggung berada di antara Andin dan suaminya.“Tumben banget tuh si Andin diem aja, apa dia keselek biji rambutan? Gue tidur aja ah, dari pada bengong, entar gue ketempelan lagi,” ucap Sisil dalam hati. Ia pun mengatur posisi ternyamannya dan segera memejamkan mata.Dengan mudahnya Sisil terlelap. Rasa kenyang setelah makan siang membuatnya merasa sangat mengantuk. Tidak sulit baginya untuk pergi ke alam mimpi secepatnya.Di dalam mobil tidak ada yang bersuara untuk memulai percakapan. Andin merasa bosan, ia menoleh pada suaminya yang fokus dengan kemudi. “Nih orang serius amat,” batin Andin. Lalu ia menoleh ke belakang. “Si kampret tidur, pantesan nggak ada suaranya,” kata Andin saat melihat sahabatnya tertidur pulas.Andin kembali menoleh pada suaminya. Bukan Andin yang betah berlam
“Aww ….” Andin mengaduh. Lalu membuka mata sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur lemari tempat menyimpan boneka kelinci miliknya. Andin pun segera turun dari gendongan sang suami. “Om, sengaja ‘kan supaya aku gegar otak.” Andin menuduh Haidar sengaja membenturkan kepalanya pada lemari.“Aku beneran nggak sengaja, mamf ya!” ucap Haidar tampak menyesali perbuatannya. Ia mengusap-usap dengan lembut kepala Andin. “Sakit ya?”“Ya iyalah,” jawab Andin dengan ketus. Lalu ia berjalan sempoyongan menuju tempat tidur.“Hati-hati!” Dengan sigap Haidar menangkap tubuh sang istri ketika hendak terjatuh. Lalu ia membopong dan membaringkannya di tempat tidur berselimutkan sprei berwarna ungu, persis seperti kamarnya yang ada di rumah sang suami. Haidar sengaja membuat kamar yang persis seperti kamarnya di sini supaya Andin tidur di kamarnya sen
“Abang …!” Andin berteriak sambil memukuli saudara kembarnya. “Aku ‘kan udah bilang, jangan sampai Bunda tahu. Abang jahat! Udah nggak sayang lagi sama adek,” cerocos Andin sambil mengerucutkan bibirnya.“Abang lupa, Dek,” jawab Aldin sambil tertawa. Aldin bisa tertawa lepas hanya dengan adik kesayangannya saja. Ia tidak punya banyak teman karena Aldin sangat pemilih dalam berteman.“Adek, tolong jelasin sama Bunda, siapa guru olah raga itu!” Bunda Anin duduk di depan anak perempuannya.“Dia namanya Pak Cahyo. Dulu waktu pacaran sama adek, usianya udah dua puluh tujuh tahun, tapi dia masih perjaka, Bun, belum punya istri. Yang penting ‘kan adek nggak pacaran sama suami orang.” Andin menjelaskannya sambil menunduk.“Dulu kamu pernah pacaran sama yang lebih tua, bahkan jarak usiannya jauh lebih tua dibandingkan dengan
“Udahlah, Bunda, jangan terlalu dipikirkan! Walaupun mereka cuma pura-pura mesra, seenggaknya mereka udah membiasakan diri untuk bersikap mesra. Lama kelamaan juga akan terbiasa bermesraan dan nggak mau dipisahkan. Tuhan sudah menyatukan mereka dengan cara yang tidak biasa, itu artinya mereka memang berjodoh. Kita berdoa saja untuk kebahagiaan adek,” ujar Aldin menenangkan hati sang bunda. Kemudain ia beranjak dan berdiri, lalu pergi menuju kamarnya.“Betul yang dikatakan Abang,” sahut Nenek Marisa. “Anak sama emak, lebih pintar anaknya,” cibir Nenek Marisa pada putrinya sambil mencebikkan bibir.“Yaelah, Ma, dia pintar pasti mirip orang tuanya,” sahut Bunda Anin tidak mau kalah.“Iya, dia cerdas mirip Ayahnya,” jawab Nenek Marisa. “Kalo Andin sama kamu, mirip, bagai pinang dibelah rata, sama-sama centil,” imbuhnya sambil tersenyum. Lalu pergi meninggalkan anaknya di ruang keluarga.“Terserah Mama ajalah,” sahut Bun
“Ayo kita masuk, Sayang. Mami mau masak sendiri untuk menantu Mami yang cantik ini,” kata Mami Inggit sambil menjawil dagu menantunya.“Aku bantuin ya, Mi,” kata Andin. Ia ingin mengenal lebih dekat lagi dengan mertuanya.“Boleh, Sayang,” balas Mami Inggit. Ia pun beranjak dari duduknya, lalu mengulurkan tangannya pada sang menantu.Andin menerima uluran tangan mertuanya sambil tersenyum, mereka berjalan sambil bergandengan tangan.“Dapat anugerah mertua yang baik hati kayak gini tuh rasanya sesuatu banget. Mami merasa dapat musibah nggak ya, dapat menantu kayak gue,” kata Andin dalam hati. Kali ini ia menahan senyumnya agar sang mertua tidak menganggapnya aneh karena tersenyum-senyum sendiri.“Menantu sama mertua , akur bener!” seru Papi Mannaf sambil tersenyum bahagia melihat istri dan menantunya yang berjalan sambil b
“Pi, kita ke kamar yuk!” Mami Inggit menarik tangan sang suami yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Masih sore, Mi, baru juga jam enam. Emangnya Mami udah ngebet banget ya?” tanya Papi Mannaf sambil tersenyum menggoda sang istri. “Ntar malam aja ya, kalo anak dan menantu kita udah pulang,” imbuhnya. Papi Mannaf pun kembali sibuk dengan ponselnya.“Papi, mikir apaan sih? Udah tua juga masih mesum aja pikirannya,” tukas Mami Inggit yang tahu maksud dari ucapan suaminya.Papi Mannaf menoleh pada sang istri. “Lah terus, Mami mau ngapain ngajakin ke kamar?” tanya Papi Mannaf.“Udah, Papi ikut aja!” kata Mami Inggit. “Ini tentang Haidar dan Andin,” bisik Mami Inggit pada suaminya. Ia tidak mau membicarakan masalah ini di tempat lain yang bisa di dengar oleh anak dan menantunya.“Ada apa dengan mer