“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran.
“Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri.
“Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya.
Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya.
“Dasar berondong alot,” balas Andin.
Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar.
Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu.
Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon.
Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya.
“Emangnya kenapa?” tanya Aldin dengan sorot mata tajam menatap sahabat dari saudara kembarnya.
“Itu haram,” jawab Sisil dengan cepat.
“Haram kenapa?” tanya Aldin bingung dengan ucapan sang gadis yang mempunyai suara cempreng.
“Karena muncrat di dalam,” jawab Sisil sambil menyeringai. “Memang yang enak-enak itu selalu diharamkan. Termasuk muncrat di dalam, ‘kan enak tuh,” ucap Sisil sambil menyapu bibirnya dengan lidah.
“Dasar cewek sinting!” umpat Aldin. Lalu pergi meninggalkan Sisil sambil membawa sepiring kue klepon.
“Dasar gunung es!” tukas Sisil sambil mencebikkan bibirnya. Ia terus menatap punggung Aldin yang menghilang di antara para tamu.
“Woy!” Gilang menepuk bahu Sisil. “Lo suka ya sama Al?” tanya Gilang pada Sisil.
Sisil menoleh ke belakang. “Gue, suka sama tuh gunung es?” tanya Sisil sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Nggak mungkin,” lanjut Sisil.
“Jangan gitu, Sil! Ntar kemakan omongan lo sendiri,” tukas Gilang sambil tertawa meninggalkan Sisil yang lagi kesal.
“Nggak akan ya,” sahut Sisil sedikit berteriak karena Gilang sudah menjauh darinya. Dan itu membuat para tamu menatapnya.
Sisil pun pergi meninggalkan tempat itu sambil membawa sepiring kue dan segelas minuman untuk sahabatnya.
“Din, kamu mau kue nggak? Kamu belum makan ‘kan?” tukas Sisil. Ia memberikan satu piring kue klepon dan satu gelas air putih pada Andin.
“Lo, emang the best, Sil,” puji Andin sambil mengacungkan jempolnya ke arah Sisil. “Tahu aja kalo gue lagi laper,” lanjut Andin sambil menerima piring berisi kue dan gelas minuman.
“Sisil gitu loh!” sahut Sisil sambil tersenyum bangga. “Ya udah, gue pergi ya. Gue juga laper,” ucapnya sambil memegangi perut.
“Semoga Bang Haidar jodoh dunia akhirat lo, Din.” Sisil berdoa dalam hati. Ia berharap Andin bisa bahagia dengan pernikahannya. Kemudian Sisil pun pergi meninggalkan sang sahabat.
“Om, tolong pegang ini dong!” Andin menyodorkan gelas berisi minuman ke tangan suaminya.
Dengan terpaksa Haidar mengambil gelas itu. Ia harus bersikap baik pada sang istri di depan banyak orang. Apalagi ia tahu kalo Mami dan papinya sejak tadi terus memperhatikan ia dan Andin.
“Om, mau nggak? Pasti laper juga ‘kan?” tanya Andin sambil memasukkan kue kelepon ke dalam mulutnya.
Haidar menggelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh kepalsuan.
Andin mengunyah kue itu sambil terus berbicara, sehingga gula merahnya meleleh ke bibir. Ia pun menjilatinya dengan lidah, tapi masih ada sedikit di ujung bibirnya.
Haidar mengambil sapu tangan yang ada di saku jasnya. Kemudian ia mengelap gula yang ada di bibir sang istri. “Makan yang bener! Nggak enak dilihat tamu, pengantin perempuan kok jorok,” ujarnya.
Andin terdiam sambil terus menatap sang suami. Ia menjadi salah tingkah diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Jantungnya menjadi berdebar-debar. Seketika pasokan oksigen ke otaknya terasa terhenti.
“Kenapa dengan jantung gue? Perasaan gue nggak punya riwayat penyakit jantung. Apa gue kena serangan jantung?” Andin bertanya-tanya dalam hatinya sambil memegangi dada bagian kiri. Mulutnya berhenti mengunyah, matanya menatap Haidar tanpa berkedip.
Haidar panik melihat sang istri yang bengong sambil memegangi dadanya.
“Kenapa dia? Apa dia kelolodan kue klepon? Masa nikah baru sehari udah jadi duda, mana warisan belum dapat,” gumam Haidar. Ia melambaikan tangannya di depan wajah sang istri.
“Din, jangan mati dulu!” Haidar menggoyangkan tangan sang istri.
“Eh ….” Andin tersadar dari lamunannya. Ia menelan kuenya dengan susah payah, lalu menyambar gelas berisi air minum yang dipegang suaminya. Andin minum segelas air dengan sekali tegukan.
“Aku kira kamu kena serangan jantung,” tukas Haidar. Ia merasa lega melihat sang istri baik-baik aja.
“Hampir aja, aku kehilanagan warisan Papi,” ucapnya dalam hati.
“Tega banget sih, Om. Nyumpahin istri sendiri,” tukas Andin sambil mengerucutkan bibirnya.
“Siapa yang nyumpahin sih?” sangkal Haidar. “Aku cuma khawatir, aku kira kamu mati,” lanjutnya.
“Udahlah, nggak usah dibahas lagi! Bikin nggak nafsu makan aja,” tukas Andin. Ia pun kembali memakan kue klepon yang tersisa di pringnya.
“Nggak nafsu makan, tapi sepiring abis,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri.
Setelah acara selesai Andin dan Haidar masuk kamar pengantin.
“Om, kita pindah ke kamarku aja, yuk! Aku juga ada kamar di sini,” ajak Andin. Ia segera menyambar tangan sang suami dan menariknya keluar kamar.
Haidar mengempaskan tangan Andin. “Nggak usah narik-narik! Aku juga bisa jalan sendiri!” bentak Haidar.
“Busyet dah galak bener,” sahut Andin. Ia pun segera bergegas keluar dari kamar sang kakak. Haidar mengikutinya dari belakang.
Andin memutar kenop pintu kamarnya yang ada di rumah Mahendra.
“Om, aku mandi duluan ya,” ujar Andin, ia langsung masuk ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban dari suaminya.
Tidak lama kemudian Andin keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang menutupi dada dan setengah pahanya. Kain veil pengantin masih menjuntai di rambutnya.
“Om!” panggil Andin sambil mengguncang kaki Haidar yang tertidur di ranjangnya.
“Apa sih? Mandi kok cepet banget,” tukas Haidar. Ia membelalakan matanya saat melihat keseksian sang istri. Bukit kenikmatan Andin yang menyembul separuhnya membuat jantung Haidar berdetak lebih cepat. Tenggorokkannya terasa kering sehingga ia dengan susah payah menelan air liurnya.
“Om, bukain ini dong!” Andin memegang kain veil yang masih menjuntai di rambutnya. Kemudian ia membelakangi suaminya.
Haidar tidak bisa fokus untuk membuka kain veil di rambut Andin. Matanya tertuju pada tengkuk sang istri yang jenjang dan terlihat mulus, anak rambut yang menutupinya membuat ia terlihat semakin seksi.
“Sudah,” kata Haidar. Ia kemudian membaringkan kembali tubuhnya di kasur. Tidak mau meilhat tubuh sang istri yang terlihat sangat menggoda, akhirnya ia memutuskan untuk memejamkan matanya.
Dua puluh menit kemudian Andin keluar dari kamar mandi sambil mengucek rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.
Gadis cantik itu sudah memakai bajunya. Ia memakai hot pant dan tank top yang pas di badan, membuat bukit kenikmatannya yang montok menyembul ke luar.
Andin merangkak naik ke ranjangnya. Ia menurunkan lengan sang suami yang menutupi mata. “Om, mandi dulu sana!”
“Astaga!”
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb