Berusaha melupakan apa yang telah terjadi, Shania memilih untuk berdamai dengan keadaan. Nasi telah menjadi bubur. Seharusnya sejak awal ia menolak ketika lamaran dari keluarga Sebastian datang kepadanya. Tapi, yang Alex katakan memang benar, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Shania sendiri bahagia karena bisa diperistri oleh kawan masa kecilnya itu. Meski ia menyadari jika wanita yang dicintai oleh Alex bukanlah dirinya.
Sepekan berlalu sejak pernikahan mereka, Shania kini tinggal bersama Alex di rumah milik suaminya itu. Walau orang tua Shania juga memberikan kado pernikahan berupa rumah yang tak kalah mewah, tapi Alex memaksa supaya ia dan Shania tinggal di rumahnya. "Aku suaminya sekarang. Jadi, apapun yang terjadi, Shania adalah tanggung jawabku." Orang tua mana yang tidak senang melihat putrinya diperhatikan dengan sangat baik oleh suaminya. Kedua orang tua Shania menganggap jika mereka tidak keliru ketika menerima pinangan keluarga Sebastian. Selain hubungan keluarga yang semakin dekat, juga kerja sama bisnis yang mampu membuat dua keluarga menjadi keluarga paling berpengaruh di mata masyarakat. Setidaknya itu yang kedua orang tua Shania lihat. Tapi, kenyataannya, Shania justru tidak pernah mendapatkan apa yang dipikirkan oleh papa dan mamanya. Fakta di lapangan menunjukkan, jika Shania kerap tinggal sendirian di rumah mewah nan megah, tapi sunyi tersebut. Alex sering pergi tanpa memberi tahu tujuannya, membuat Shania terasing dan sendirian. Hanya ada dua orang pelayan, seorang supir yang ada di rumah, yang selalu menemani keseharian Shania di rumah. "Kemana kamu selalu pergi, Alex?" tanya Shania di satu malam saat Alex pulang ke rumah. "Aku bekerja. Memang kamu pikir kemana?" jawab Alex datar. "Bekerja? Sampai larut malam?" Alex menatap tajam Shania. "Aku hanya perlu waktu untuk diri sendiri," jawabnya, lalu berjalan menuju kamar. Shania merasa sakit hati. Meski ia tahu dirinya tidak dicintai, bahkan tak diinginkan, tapi ia berharap Alex menganggapnya ada. "Memang apa yang aku lakukan, sampai kamu berpikir mencari tempat untuk sendiri," tanya Shania pada diri sendiri. Pada akhirnya, kembali Shania hanya bisa menangis dan merenungi nasibnya. Malam itu keduanya makan malam bersama, hal yang jarang terjadi semenjak mereka tinggal berdua. Seperti biasanya Shania memasak untuknya dan Alex. Meski seringnya makanan itu akan terbuang atau diberikan kepada orang-orang yang kelaparan sebab sang suami yang selalu pulang sampai larut malam. "Aku mau kembali bekerja." Tiba-tiba Shania berbicara di tengah ketenangan mereka menikmati hidangan buatannya yang tak pernah gagal. Ya, meski terlahir dari keluarga kaya raya, Shania adalah perempuan yang jago masak. Sejak kecil ia sudah belajar memasak dari chef di kediaman orang tuanya. Memasak makanan lokal atau luar, Shania sudah menguasai semua. Alex sendiri mengakui itu. Sejak remaja ia sudah sering dibuatkan makanan oleh Shania. Bahkan, bekal makan siangnya adalah makanan yang kawannya buat. Mendengar ucapan Shania tadi sesaat membuat Alex menahan sendoknya di udara. Tapi, sedetik kemudian ia kembali menyantap hidangannya. "Bekerja? Di mana?" tanya Alex seolah perhatian. Shania melihat ekspresi suaminya yang masih tak berubah, datar dan tak peduli. "Ada lowongan di salah satu perusahaan untuk bagian desain interior. Kebetulan sesuai dengan jurusanku." Shania masih menatap Alex. Berusaha mencari perubahan ekspresi pada wajah suaminya itu. Namun, hingga makanan di atas piring Alex habis, mimik wajahnya masih sama. "Kenapa?" tanyanya sembari mengelap bibirnya dengan napkin. Meski satu kata, tapi Shania tahu maksud pertanyaan suaminya itu. "Aku hanya merasa hidupku monoton," ucap Shania santai. Keduanya saling diam dengan Alex yang menatap Shania sedangkan istrinya sendiri memilih untuk menghabiskan makanannya yang masih setengah piring. "Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan," ucap Alex kemudian beranjak berdiri. Shania yang masih belum habis makanannya, sontak tercengang demi melihat sikap Alex yang dengan tega meninggalkannya sendirian di meja makan. Tersenyum Shania dengan air mata yang mengalir. "Apa yang salah denganku," katanya dengan suara bergetar. Kembali Shania memakan hidangan makan malamnya, bercampur air mata yang ikut masuk ke dalam mulut. *** Shania memutuskan untuk mengubah hidupnya. Dia mulai bekerja sebagai desainer interior di sebuah perusahaan kecil. Kegiatan ini membuatnya sibuk dan melupakan kesepian. Di tempat kerja, Shania bertemu dengan rekan-rekan kerja yang ramah dan menyenangkan. Mereka membuatnya merasa diterima dan dihargai. Shania segera saja menemukan kegembiraan dalam hidupnya. Bahkan, ia hampir tak peduli dengan keberadaan Alex yang masih selalu pulang malam. Salah satu rekan kerja Shania, bernama Ethan, menunjukkan perhatian dan dukungan kepadanya. Keduanya seperti cocok satu sama lain. Namun, semua teman-temannya tak ada yang mengenali sosok Shania yang merupakan anak orang kaya. "Ini sangat menyenangkan. Aku tidak akan melihat orang-orang berpura-pura bicara dan dekat hanya karena statusku," ucap Shania di hari pertamanya bekerja. Dua hari bekerja dan menikmati hari-harinya sebagai seorang karyawan, Shania dikejutkan dengan acara penyambutan yang digawangi oleh Ethan. Lelaki itu mengajak beberapa karyawan yang memiliki waktu luang untuk ikut mengadakan pesta kecil-kecilan di sebuah kafe setelah jam kantor berakhir. "Tapi, 'kan kita belum gajian, Pak?" celetuk seorang karyawan lelaki tersenyum malu. Shania sontak menatap karyawan tersebut, membuatnya justru tak enak hati karena merasa sudah merepotkan. "Tenang saja, itu biar jadi urusan saya," ucap Ethan sontak membuat suasana riuh. "Habis makan-makan lanjut karaoke, yah, Pak?" Seorang karyawan perempuan tampak tak mau kalah. "Gampang, itu bisa diatur. Yang penting, buat proyek dengan perusahaan A lolos. Setelahnya saya akan kasih bonus untuk kalian." Keriuhan tidak berakhir sampai semua orang berada di kafe. Mereka menikmati pesta penyambutan Shania dengan perasaan gembira. Bahkan, pesta benar-benar berlanjut sampai ke tempat karaoke. "Fiersa, boleh aku tanya sesuatu?" Shania yang duduk di sudut sofa, bertanya pada salah satu kawan barunya. "Ya, kenapa?" Fiersa yang sedang melihat teman-temannya bernyanyi, tertawa di tengah tatapan serius Shania. "Sebenarnya jabatan Ethan di kantor itu apa?" "Pak Ethan? Dia 'kan yang punya perusahaan." "Hah! Benarkah?" Pandangan Fiersa teralihkan karena sikap tak percaya Shania. "Memang kemarin Pak Ethan ngenalin dirinya sendiri apa ke kamu?" "Eh, dia enggak bilang apa-apa. Cuma kasih tahu job desk aku aja. Bagian yang sedang kosong dan itu sedang sangat dibutuhkan." "Hem, enggak aneh. Pak Ethan memang selalu begitu dari dulu. Kita juga seandainya enggak tahu kedudukannya di perusahaan, mungkin akan selalu bersikap kurang ajar sama beliau. Pak Ethan selalu bersikap selayaknya teman. Karena itulah bikin kita semangat kerja. Bahkan, walau gaji di sini enggak sebesar di perusahaan lain, tapi kebijakan dan kenyamanannya bikin kita betah dan bertahan kerja di sini." Shania terdiam mendengar penjelasan Fiersa. Sontak ia menatap Ethan yang tengah duet bernyanyi dengan salah seorang karyawan. Tak ada perasaan spesial yang hadir di hatinya, tapi ada rasa kagum atas sosok laki-laki yang terlihat sederhana di depannya itu. "Dari mana kamu?" Alex berdiri di depan pintu saat Shania membuka pintu rumah. Terkejut Shania saat melihat suaminya sudah ada di rumah. Dilihatnya jam di pergelangan tangan, 'jam sembilan,' batin Shania seketika merasa aneh. "Tumben kamu sudah pulang," sahut Shania yang memilih untuk berjalan melewati. Alex kesal karena merasa diabaikan. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Shania!" Perempuan itu berbalik, "Apa kamu lupa kalau sejak kemarin aku sudah bekerja? Ah, tentu saja, kamu 'kan memang tidak pernah peduli dengan apa yang aku lakukan." Shania menyindir, membuat wajah Alex memerah seketika. "Jaga cara bicaramu. Aku ini suami kamu, Shania!" ***Alex marah karena merasa telah dihina oleh Shania. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Senang-senang di kafe dan tersenyum bahagia dengan laki-laki lain?"Shania terkejut. "Kamu memata-matai aku?" tanyanya tak percaya. "Kau pikir aku tidak ada kerjaan selain memata-matai kamu.""Lantas, dari mana kamu bisa tahu kalau aku ada acara di kafe?""Brian tidak sengaja melihat kamu di sana." Alex menjawab kesal. "Heh! Anak buahmu ada di sana, lantas di mana bos-nya berada? Apakah sudah ada di rumah? Atau sedang di tempat wanita lain?" tanya Shania menyindir. Shania tidak asal bicara atau menuduh. Ia mulai curiga kalau Alex kerap bersama seorang wanita sebab dari aroma parfum di kemeja kerjanya yang tak sengaja pernah tercium. "Apa maksudmu wanita lain? Tentu saja aku sudah pulang. Kamu lihat sendiri aku sudah ada di sini ketika istrinya baru kembali dari luar." Alex terlihat menyembunyikan sesuatu. "Mana aku tahu. Entahlah, terlalu sulit mempercayai ucapan seorang lelaki ya
Jam delapan kurang lima menit Shania baru sampai di kantor. Seluruh karyawan sudah datang kecuali dirinya. "Kamu kesiangan, Shania?" tanya Fiersa yang sudah duduk di kursi kerjanya seraya mengaplikasikan lip stick di bibirnya. "He-em. Aku bangun kesiangan." "Kenapa? Begadang?" tanya wanita itu lagi sembari menatap Shania yang tengah menyalakan komputer. "Enggak sengaja begadang. Semalam tumben aku enggak bisa tidur." "Lagi ada masalah?" tanya Fiersa yang melihat keanehan di mata Shania, tetapi tidak ingin menanyakan hal tersebut sebab hubungan mereka yang belum dekat. Ia takut Shania tak enak hati. Shania menggeleng. "Enggak." "Kok bisa? Apa kamu punya penyakit insomnia?" "Enggak juga," jawab Shania kembali menggeleng. "Mungkin emang lagi enggak capek saja," lanjut Shania tersenyum. Fiersa pun mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya, mungkin." "Ngomong-ngomong, apa Pak Ethan sudah datang?" "Sudah." "Aduh! Mati aku." Shania terlihat panik. "Kenapa
Shania berjalan hendak kembali ke dapur. Ia akan makan di sana, sendirian. Dia merasa kesepian dan sakit hati karena Alex tidak pernah berusaha memahami perasaannya."Kenapa kamu tidak pernah peduli?" gumam Shania pelan, berharap Alex mendengar. Alex menoleh mengalihkan pandangan dari gadget-nya. "Apa maksudmu?" tanyanya pada Shania.Shania berbalik, lalu menatap Alex. Ia melihat mata suaminya dengan sedih. "Kamu tidak pernah berbicara denganku, tidak pernah peduli apa yang aku rasakan. Apakah aku hanya sekedar istri yang tidak berarti bagi kamu?"Alex menatap Shania, tapi tidak ada emosi di wajahnya. "Aku sibuk. Aku tidak memiliki waktu untuk membicarakan perasaan."Shania merasa sakit hati mendengar jawaban Alex. Dia merasa tidak dihargai dan tidak dicintai."Sibuk? Kamu selalu sibuk, Lex. Tapi, apakah kamu pernah berpikir aku juga butuh perhatian?" tanyanya dengan suara bergetar.Alex mengangkat bahu dan memalingkan mukanya. "Aku memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan? Rumah, u
Shania duduk di ruang rapat, menghadapi Ethan dan beberapa rekan kerjanya. Mereka semua membahas tentang lelang proyek yang sedang mereka jalani."Jadi, kita harus membuat presentasi yang sangat baik untuk memenangkan proyek ini," kata Ethan."Aku setuju," kata salah satu rekan kerja Shania. "Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang terbaik untuk proyek ini."Shania mendengarkan dengan saksama, tapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia tahu bahwa proyek ini terkait dengan perusahaan keluarga Sebastian, dan itu membuatnya khawatir."Shania, apa kamu memiliki pendapat tentang proyek ini?" tanya Ethan.Shania mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku pikir kita harus sangat berhati-hati dalam membuat presentasi. Kita harus menunjukkan bahwa kita adalah tim yang profesional dan terbaik untuk proyek ini."Ethan mengangguk. "Aku setuju.""Kalau begitu, Shania, aku ingin kamu menjadi bagian dari tim presentasi. Aku mau melihat kemamp
Shania berdiri di depan Ethan, memegang remote presentasi dan mencoba untuk memantapkan dirinya. Ia telah mempersiapkan presentasi ini selama beberapa hari, tapi ia masih merasa sedikit gugup.Ethan memandangnya dengan serius, tapi juga dengan sedikit senyum. "Siap, Shania?" tanyanya.Shania mengangguk dan memulai presentasinya. Ia menjelaskan tentang konsep desain yang telah dibuat oleh timnya, dan bagaimana desain tersebut dapat memenuhi kebutuhan klien.Ethan mendengarkan dengan saksama, dan sesekali ia memberikan pertanyaan atau komentar. Shania menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan percaya diri, dan ia merasa semakin nyaman seiring berjalannya presentasi.Setelah presentasi selesai, Ethan memberikan senyum dan mengangguk. "Bagus, Shania. Kamu telah mempersiapkan diri dengan baik," ucapnya sembari bertepuk tangan. Kawan-kawan satu timnya juga memberi ucapan selamat karena Shania bisa mempresentasikan desain buatan mereka dengan sangat baik. Shania merasa lega dan bangga
Shania telah selesai dengan presentasinya. Tampak Alex memandang hasil desain yang dipresentasikan oleh Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Saya tidak bisa menerima desain ini," katanya dengan nada yang tegas.Shania tersenyum sedikit. "Apa yang tidak Anda sukai tentang desain ini, Pak Alex?" tanyanya dengan nada yang profesional."Desain ini terlalu mahal dan tidak sesuai dengan visi saya," jawab Alex dengan nada yang tetap tegas.Shania mengangguk. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, tapi saya yakin desain ini akan membawa hasil yang baik."Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak setuju. "Memang Anda tahu apa tentang visi yang saya maksud?" tanya Alex ketus, menatap Shania dengan tatapan tak suka yang begitu kentara. Ethan dan timnya terlihat menarik napas —tampak panik, dan berharap jika Alex tidak marah karena jawaban Shania. "Maaf, begini, Pak Alex. Bisa saya yang menjelaskan lebih sederhana atas rancangan desain tim kami," ucap Ethan tiba-tiba mengambil alih. A
"Kenapa kamu begitu takut, Alex?" tanya Shania dengan ekspresi tak percaya. "Aku katakan sekali lagi, tidak ada yang aku takutkan. Aku cuma mau kamu mundur." Alex berkata dengan tatapan tajam menatap Shania. "Tapi, aku tidak bisa mundur. Aku sudah terlibat dalam proyek ini," balas Shania yang mencoba mempertahankan martabatnya. Alex tampakmeneguk air mineral yang ada di dalam gelas, lalu membalas ucapan sang istri sambil tersenyum sinis. "Kalau begitu kamu harus menerima konsekuensinya. Aku tidak akan meloloskan desain dari perusahaanmu."Shania memandang Alex dengan ekspresi tidak percaya. "Kamu tidak bisa melakukan itu. Kamu tidak bisa memutuskan nasib perusahaanku hanya karena kamu tidak ingin aku terlibat dalam proyek ini!"Alex memandang Shania dengan ekspresi yang tidak bergeming. "Aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Aku adalah klien yang akan memutuskan apakah desain dari perusahaanmu akan diterima atau tidak."Shania merasa frustrasi dan marah. "Kamu tidak adil,
Shania duduk di depan meja, memandang Ethan dengan ekspresi yang sedih. "Sepertinya aku tidak bisa melanjutkan proyek ini, Pak," katanya dengan nada yang lembut.Ethan memandang Shania dengan ekspresi terkejut. "Apa? Mengapa?"Shania menghela napas dan memandang ke bawah. "Aku tahu bahwa Alex tidak suka kalau aku masih ada di dalam proyek ini. Aku tidak ingin menjadi penghalang bagi kesuksesan tim."Ethan memandang Shania dengan ekspresi tidak setuju. "Tidak, Shania. Kamu tidak bisa mundur sekarang. Kamu adalah bagian penting dari tim ini. Kita tidak bisa melanjutkan proyek ini tanpa kamu."Shania menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa, Pak Ethan. Aku tidak ingin membuat tim ini gagal karena aku."Ethan memandang Shania tegas. "Shania, aku tidak akan membiarkan kamu mundur. Kamu adalah anggota tim yang berharga dan kita membutuhkan kamu. Kita akan menghadapi Alex bersama-sama dan membuktikan bahwa kita bisa melakukannya."Shania memandang Ethan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Ethan
Alex kaget mendengar ucapan Maura. Dilihatnya ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh kekasihnya itu setelah mengatakan sesuatu yang merujuk pada sosok Shania. "Aku pergi dulu. Nanti kamu bisa hubungi aku lagi kalau sudah selesai istirahat." Pada akhirnya Alex memilih untuk meninggalkan apartemen. Berusaha sekali mengabaikan kalimat sindiran yang tadi Maura lontarkan. "Apa yang sudah perempuan itu lakukan padamu?" Maura hampir berteriak saat Alex sudah akan membuka pintu mobil. Beberapa orang yang hilir mudik di sekitar mereka, menengok karena penasaran. Termasuk petugas security yang tadi diminta Alex untuk membantu mengangkat koper dan barang milik Maura ke unit apartemen, diam di tempat sambil memperhatikan keributan yang selama ini tak pernah terjadi pada pasangan tersebut. "Aku sedang tidak mau berdebat, Maura. Jadi, lebih baik kamu istirahat sekarang. Jangan lupa makan dulu. Aku sudah pesankan makanan melalui pesanan online. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."Alex benar-benar
Suasana bandara tampak ramai dengan banyaknya orang di area kedatangan atau pun keberangkatan. Alex adalah salah satu dari banyaknya orang tersebut, menunggu kedatangan Maura dari luar negeri. Sebulan penuh wanita itu berada di benua biru untuk menyelesaikan sebuah proyek desain. Sebuah desain yang ia menangkan dalam sebuah lelang di adakan oleh salah satu perusahaan terkenal yang ada di sana. Alex sudah menunggu sekitar tiga puluh menit, namun tanda-tanda kemunculan wanita itu masih belum juga terlihat hingga sosok Brian muncul membawa makanan yang ia pesan. "Kenapa kamu tidak makan di restoran saja? Kenapa harus dibungkus seperti ini?""Tidak apa-apa. Aku lagi mau makan santai saja," ucap Alex seraya duduk di area tunggu. "Kamu tidak mau?" Alex mengangkat satu bungkusan satunya. Brian menggeleng. "Untukmu saja."Alex mengangkat bahunya cuek. Ia lanjut menikmati makanan yang sedang dikunyahnya. Suasana hatinya terasa lain. Sesuatu yang membahagiakan ia rasakan sebab perhatian Sha
Pertemuan pagi itu telah menghasilkan satu keputusan di mana akhirnya Alex meminta tim pengacaranya untuk segera mendaftarkan berkas perceraiannya ke pengadilan agama. "Kamu serius mau melakukan ini?" tanya Brian, yang tak percaya atas permintaan Alex tersebut. "Apakah sekarang kamu melihat aku sedang becanda?" Alex bertanya balik sembari menghubungi Shania perihal surat nikah yang ia pegang. "Y-ya, aku tahu kamu terlihat serius. Tapi, apa yang sudah membuatmu mau menyetujui permintaan Shania?"Alex tidak menjawab. Ia hanya tersenyum menatap asistennya itu. Di lain tempat, Shania merasa ada perasaan tak nyaman di hatinya. Setelah membaca pesan yang Alex kirimkan sejujurnya ia merasa lega. Akhirnya Alex mau mendaftarkan gugatan cerai atas pernikahan mereka. Tapi, hatinya mendadak nyeri. Nyeri karena akhirnya mereka benar-benar akan berpisah. "Kamu sudah mendapat kabar dari Alex?" Sebuah pesan dari Rachel masuk ke ponsel Shania setelah ia membalas pesan dari Alex. "Bagaimana feeli
Malam itu Alex melewati malam tanpa sedikit pun memejamkan mata. Kata-kata Shania terakhir, membuatnya tak bisa tertidur. Di atas sofa, ia menatap langit-langit kamar. Di atas ranjang sana, sang istri sudah tertidur pulas. Bayinya juga tidak rewel setelah satu jam yang lalu sang istri memberinya ASI. "Aku mungkin masih mencintaimu, tapi aku tak memiliki keinginan untuk kembali hidup bersamamu seperti dulu."Kalimat itu mungkin sebuah pengharapan bagi Alex. Tapi, ia tahu bagaimana sifat Shania. Perempuan itu akan tetap mempertahankan harga dirinya dan kemauannya. Hingga waktu melewati dini hari, Alex pun iseng membuka ponsel. Dan saat itu dirinya kepikiran untuk mengubungi Rachel, sahabat Shania. "Maaf malam-malam mengirimu pesan. Kalau tidak keberatan, aku mau mengajakmu ketemuan besok sebelum masuk kantor."Bingo! Pesan yang Alex kirimkan mendapatkan balasan. "Oke. Aku tunggu di kafe milikku. Tempat yang waktu itu kamu menjemput Shania."Alex ingat. Waktu itu ia sedang gila-gilan
"Maura?" tanya Shania saat Alex sudah selesai dengan panggilannya. Alex sempat kaget dengan tebakan Shania yang tepat sasaran. Tapi, sesaat kemudian ia bisa mengontrol dirinya dengan tidak menunjukkan sikap guguk atau panik. "Ya," jawab Alex singkat. Tak ada keterangan atau kabar apapun yang ia berikan kepada Shania. Shania sendiri tidak menanyakan lebih jauh, apa yang keduanya obrolkan. Beruntung bagi Alex karena saat ini Shania sudah berada di dalam kamarnya. Bukan di ruang keluarga seperti saat terakhir dirinya meninggalkan mertua dan istrinya itu. Bahkan, kedua mertuanya pun tak ada yang bertanya mengenai panggilan yang tiba-tiba tadi. "Tidurlah di sana seperti semalam," ucap Shania ketika Alex sudah akan menghampirinya di ranjang. Alex menghentikan langkah. Tapi, sedetik kemudian ia tetap berjalan mendekati sang istri. "Aku senang kalau harus menggendongmu ke sini," kata Alex yang direspon cuek oleh Shania. Tapi, lelaki itu sepertinya sudah bisa menebak sebab keisengannya t
Alex kembali ke kediaman keluarga Harrison saat masuk jam makan malam. Lian dan Nina sedang berbincang di ruang keluarga ketika Alex datang. Ayah dan ibu mertuanya terlihat santai saat Alex menyapa mereka. Tidak cuek seperti kekhawatirannya selama ini, sikap dua orang paruh baya itu justru membuat hati Alex terasa lebih tenang. Meski tidak menunjukkan perhatian berlebih, tapi Alex tahu bila keduanya tidak terlalu membencinya. "Aku izin menemui Shania dulu, Yah, Bu," pamit Alex setelah cukup menyapa kedua mertuanya itu. "Ya."Alex pun pergi menuju kamar tamu yang kini menjadi kamar Shania. Tak peduli ketika namanya sempat disebut oleh sang mertua saat ia beranjak pergi. 'Itu bukan hal aneh ketika seharusnya mereka membenciku, tapi masih mau menerima kehadiranku di kediaman mereka,' batin Alex bersyukur karena memiliki mertua yang sangat baik. Teringat pukulan Lian di perutnya tempo hari, Alex nilai itu bukan sesuatu yang menyakitkan. Justru, seharusnya Lian melakukan hal lebih dar
Shania sudah selesai mandi ketika melihat Alex masih tertidur di sofa. Mentari sudah terlihat naik, membuatnya yakin jika hari sudah semakin siang. 'Apakah ia tidak pergi ke kantor?' batin Shania yang kemudian memeriksa bayinya di dalam boks. Bayi mungil itu tampak tenang setelah subuh tadi menangis karena haus dan juga mengompol. 'Nyenyak sekali kamu, Nak,' gumam Shania tersenyum sembari mencubit gemas pipi bayinya itu. Tak ada pergerakan, membuat Shania memilih untuk meninggalkan dan berencana memandikan bayinya itu setengah jam mendatang. Ia lalu menghampiri Alex untuk membangunkannya. Dengkuran masih terdengar halus. Meski awalnya tak mau peduli, pada akhirnya Shania membangunkan juga lelaki di depannya itu. "Alex! Bangun, Lex!" seru Shania memanggil nama suaminya. Tak ada respon, membuat Shania kembali memanggil. "Lex! Udah siang."Masih tak ada respon, akhirnya Shania menggoyang pundak Alex sambil memanggil namanya sedikit kencang. "Alex! Bangun!"Usahanya berhasil. Alex
Alex diam, begitu juga Shania. Beberapa detik kemudian, Alex memalingkan wajah dan menatap martabak yang sepertinya menggugah seleranya. "Kamu mau kita bercerai, meski hatiku yang paling dalam enggan melakukannya," ucap Alex. "Sudahlah, Lex. Jangan bersikap seperti anak kecil. Kita sadari, kita sudah sama-sama dewasa. Sudah ada anak di kehidupan kita. Jadi, tolong bersikap bijak." Shania masih bisa santai menjawab. Meski berbicara dengan Alex dan membahas tentang masalah rumah tangga mereka membuat tekanan darahnya naik perlahan. "Sikapku yang mana memangnya yang menurutmu tidak bijak?" Alex tampak tersinggung. "Ya, itu ... berniat bernegosiasi. Apalagi kalau bukan mau mengulur waktu?"Alex tak percaya jika Shania akan menuduhnya mengulur waktu. Padahal yang sebenarnya, ia bahkan tak mau menceraikan wanita itu. "Kamu mau kita bercerai, aku akan coba turuti itu." Alex berkata sembari menatap wajah Shania yang terlihat cuek. "Aku memang punya pengacara pribadi, tapi menghadapi satu
Waktu menjelang malam Alex kembali. Ia menemui Shania yang tengah menyusui putranya di kamar tamu yang sekarang menjadi kamarnya. "Eh, maaf. Maaf aku tidak mengetuk pintu sebelumnya." Kecanggungan keduanya rasakan saat Alex melihat reaksi Shania yang kaget dan langsung menutup area pribadinya begitu dirinya muncul. "Enggak apa-apa." Shania gugup dan malu. Meski mereka pernah melakukan hubungan suami istri, tapi menunjukkan area pribadinya di depan Alex sangat tidak pernah sekali pun ia lakukan. Alex berjalan mendekat setelah Shania mengkondisikan dirinya. Meski canggung, Alex tetap melangkah dan berdiri di depan sang istri. "Apakah kamu sudah makan?" tanya Alex. "Belum." Shania menggeleng. "Kenapa? Ini sudah malam," sahut Alex sembari melihat jam di pergelangan tangannya. "Waktu makan malam tadi dia bangun," ucap Shania menatap bayinya. "Apakah bayi yang belum seminggu sudah banyak minum?"Shania menggeleng. "Aku pikir tidak, tapi kenyataannya dia masih senang aku gendong.""S