Share

Menyusun Rencana Hidup

Auteur: Ummu Amay
last update Dernière mise à jour: 2025-01-08 17:54:19

Berusaha melupakan apa yang telah terjadi, Shania memilih untuk berdamai dengan keadaan. Nasi telah menjadi bubur. Seharusnya sejak awal ia menolak ketika lamaran dari keluarga Sebastian datang kepadanya. Tapi, yang Alex katakan memang benar, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Shania sendiri bahagia karena bisa diperistri oleh kawan masa kecilnya itu. Meski ia menyadari jika wanita yang dicintai oleh Alex bukanlah dirinya.

Sepekan berlalu sejak pernikahan mereka, Shania kini tinggal bersama Alex di rumah milik suaminya itu. Walau orang tua Shania juga memberikan kado pernikahan berupa rumah yang tak kalah mewah, tapi Alex memaksa supaya ia dan Shania tinggal di rumahnya.

"Aku suaminya sekarang. Jadi, apapun yang terjadi, Shania adalah tanggung jawabku."

Orang tua mana yang tidak senang melihat putrinya diperhatikan dengan sangat baik oleh suaminya. Kedua orang tua Shania menganggap jika mereka tidak keliru ketika menerima pinangan keluarga Sebastian. Selain hubungan keluarga yang semakin dekat, juga kerja sama bisnis yang mampu membuat dua keluarga menjadi keluarga paling berpengaruh di mata masyarakat.

Setidaknya itu yang kedua orang tua Shania lihat. Tapi, kenyataannya, Shania justru tidak pernah mendapatkan apa yang dipikirkan oleh papa dan mamanya.

Fakta di lapangan menunjukkan, jika Shania kerap tinggal sendirian di rumah mewah nan megah, tapi sunyi tersebut. Alex sering pergi tanpa memberi tahu tujuannya, membuat Shania terasing dan sendirian. Hanya ada dua orang pelayan, seorang supir yang ada di rumah, yang selalu menemani keseharian Shania di rumah.

"Kemana kamu selalu pergi, Alex?" tanya Shania di satu malam saat Alex pulang ke rumah.

"Aku bekerja. Memang kamu pikir kemana?" jawab Alex datar.

"Bekerja? Sampai larut malam?"

Alex menatap tajam Shania. "Aku hanya perlu waktu untuk diri sendiri," jawabnya, lalu berjalan menuju kamar.

Shania merasa sakit hati. Meski ia tahu dirinya tidak dicintai, bahkan tak diinginkan, tapi ia berharap Alex menganggapnya ada.

"Memang apa yang aku lakukan, sampai kamu berpikir mencari tempat untuk sendiri," tanya Shania pada diri sendiri.

Pada akhirnya, kembali Shania hanya bisa menangis dan merenungi nasibnya.

Malam itu keduanya makan malam bersama, hal yang jarang terjadi semenjak mereka tinggal berdua.

Seperti biasanya Shania memasak untuknya dan Alex. Meski seringnya makanan itu akan terbuang atau diberikan kepada orang-orang yang kelaparan sebab sang suami yang selalu pulang sampai larut malam.

"Aku mau kembali bekerja." Tiba-tiba Shania berbicara di tengah ketenangan mereka menikmati hidangan buatannya yang tak pernah gagal.

Ya, meski terlahir dari keluarga kaya raya, Shania adalah perempuan yang jago masak. Sejak kecil ia sudah belajar memasak dari chef di kediaman orang tuanya. Memasak makanan lokal atau luar, Shania sudah menguasai semua.

Alex sendiri mengakui itu. Sejak remaja ia sudah sering dibuatkan makanan oleh Shania. Bahkan, bekal makan siangnya adalah makanan yang kawannya buat.

Mendengar ucapan Shania tadi sesaat membuat Alex menahan sendoknya di udara. Tapi, sedetik kemudian ia kembali menyantap hidangannya.

"Bekerja? Di mana?" tanya Alex seolah perhatian.

Shania melihat ekspresi suaminya yang masih tak berubah, datar dan tak peduli.

"Ada lowongan di salah satu perusahaan untuk bagian desain interior. Kebetulan sesuai dengan jurusanku."

Shania masih menatap Alex. Berusaha mencari perubahan ekspresi pada wajah suaminya itu. Namun, hingga makanan di atas piring Alex habis, mimik wajahnya masih sama.

"Kenapa?" tanyanya sembari mengelap bibirnya dengan napkin. Meski satu kata, tapi Shania tahu maksud pertanyaan suaminya itu.

"Aku hanya merasa hidupku monoton," ucap Shania santai.

Keduanya saling diam dengan Alex yang menatap Shania sedangkan istrinya sendiri memilih untuk menghabiskan makanannya yang masih setengah piring.

"Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan," ucap Alex kemudian beranjak berdiri.

Shania yang masih belum habis makanannya, sontak tercengang demi melihat sikap Alex yang dengan tega meninggalkannya sendirian di meja makan.

Tersenyum Shania dengan air mata yang mengalir. "Apa yang salah denganku," katanya dengan suara bergetar. Kembali Shania memakan hidangan makan malamnya, bercampur air mata yang ikut masuk ke dalam mulut.

***

Shania memutuskan untuk mengubah hidupnya. Dia mulai bekerja sebagai desainer interior di sebuah perusahaan kecil. Kegiatan ini membuatnya sibuk dan melupakan kesepian.

Di tempat kerja, Shania bertemu dengan rekan-rekan kerja yang ramah dan menyenangkan. Mereka membuatnya merasa diterima dan dihargai. Shania segera saja menemukan kegembiraan dalam hidupnya. Bahkan, ia hampir tak peduli dengan keberadaan Alex yang masih selalu pulang malam.

Salah satu rekan kerja Shania, bernama Ethan, menunjukkan perhatian dan dukungan kepadanya. Keduanya seperti cocok satu sama lain. Namun, semua teman-temannya tak ada yang mengenali sosok Shania yang merupakan anak orang kaya.

"Ini sangat menyenangkan. Aku tidak akan melihat orang-orang berpura-pura bicara dan dekat hanya karena statusku," ucap Shania di hari pertamanya bekerja.

Dua hari bekerja dan menikmati hari-harinya sebagai seorang karyawan, Shania dikejutkan dengan acara penyambutan yang digawangi oleh Ethan. Lelaki itu mengajak beberapa karyawan yang memiliki waktu luang untuk ikut mengadakan pesta kecil-kecilan di sebuah kafe setelah jam kantor berakhir.

"Tapi, 'kan kita belum gajian, Pak?" celetuk seorang karyawan lelaki tersenyum malu.

Shania sontak menatap karyawan tersebut, membuatnya justru tak enak hati karena merasa sudah merepotkan.

"Tenang saja, itu biar jadi urusan saya," ucap Ethan sontak membuat suasana riuh.

"Habis makan-makan lanjut karaoke, yah, Pak?" Seorang karyawan perempuan tampak tak mau kalah.

"Gampang, itu bisa diatur. Yang penting, buat proyek dengan perusahaan A lolos. Setelahnya saya akan kasih bonus untuk kalian."

Keriuhan tidak berakhir sampai semua orang berada di kafe. Mereka menikmati pesta penyambutan Shania dengan perasaan gembira. Bahkan, pesta benar-benar berlanjut sampai ke tempat karaoke.

"Fiersa, boleh aku tanya sesuatu?" Shania yang duduk di sudut sofa, bertanya pada salah satu kawan barunya.

"Ya, kenapa?" Fiersa yang sedang melihat teman-temannya bernyanyi, tertawa di tengah tatapan serius Shania.

"Sebenarnya jabatan Ethan di kantor itu apa?"

"Pak Ethan? Dia 'kan yang punya perusahaan."

"Hah! Benarkah?"

Pandangan Fiersa teralihkan karena sikap tak percaya Shania. "Memang kemarin Pak Ethan ngenalin dirinya sendiri apa ke kamu?"

"Eh, dia enggak bilang apa-apa. Cuma kasih tahu job desk aku aja. Bagian yang sedang kosong dan itu sedang sangat dibutuhkan."

"Hem, enggak aneh. Pak Ethan memang selalu begitu dari dulu. Kita juga seandainya enggak tahu kedudukannya di perusahaan, mungkin akan selalu bersikap kurang ajar sama beliau. Pak Ethan selalu bersikap selayaknya teman. Karena itulah bikin kita semangat kerja. Bahkan, walau gaji di sini enggak sebesar di perusahaan lain, tapi kebijakan dan kenyamanannya bikin kita betah dan bertahan kerja di sini."

Shania terdiam mendengar penjelasan Fiersa. Sontak ia menatap Ethan yang tengah duet bernyanyi dengan salah seorang karyawan. Tak ada perasaan spesial yang hadir di hatinya, tapi ada rasa kagum atas sosok laki-laki yang terlihat sederhana di depannya itu.

"Dari mana kamu?" Alex berdiri di depan pintu saat Shania membuka pintu rumah.

Terkejut Shania saat melihat suaminya sudah ada di rumah. Dilihatnya jam di pergelangan tangan, 'jam sembilan,' batin Shania seketika merasa aneh.

"Tumben kamu sudah pulang," sahut Shania yang memilih untuk berjalan melewati.

Alex kesal karena merasa diabaikan. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Shania!"

Perempuan itu berbalik, "Apa kamu lupa kalau sejak kemarin aku sudah bekerja? Ah, tentu saja, kamu 'kan memang tidak pernah peduli dengan apa yang aku lakukan." Shania menyindir, membuat wajah Alex memerah seketika.

"Jaga cara bicaramu. Aku ini suami kamu, Shania!"

***

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Neng Heryani
giliran istri pulang malam baru ngaku suami
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Kembali di Rumah

    Pagi terakhir di rumah sakit terasa berbeda. Bukan lagi ruang sakit, melainkan ruang peralihan —antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang perlahan disusun ulang. Shania duduk di kursi roda kecil, mengenakan baju hangat yang dipilihkan Hanum semalam. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya jauh lebih segar.Keanan berada dalam gendongan Alex, terlihat sangat bahagia dan rewel sekaligus, seolah tahu hari ini adalah hari besar.Nina, Hanum, Jimmy, dan Lian berdiri di sisi lorong, membentuk jalur kecil yang terasa seperti penyambutan keluarga untuk seseorang yang pulang dari perjalanan panjang.“Pelan-pelan, ya,” kata Alex sambil mendorong kursi roda Shania dengan hati-hati.Shania menengok ke belakang dan tersenyum. “Aku bisa jalan sendiri, tahu.”“Bisa,” Alex mengangguk. “Tapi, aku ingin kamu bersandar padaku dulu. Setidaknya hari ini.”Shania tertawa kecil. “Oke.”Mereka berhenti sejenak di depan pintu keluar rumah sakit. Udara luar menyapa —sejuk, tidak sekeras malam-malam yan

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Hukuman yang Menanti

    Keesokan harinya, matahari pagi jatuh lembut ke lantai marmar kamar VIP. Shania sudah duduk menghadap jendela, rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya jauh lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Ia mengenakan pakaian longgar yang dibawakan ibunya —pertanda bahwa hari ini ia akhirnya pulang.Alex masuk sambil membawa tas kecil.“Semua sudah siap,” katanya dengan senyum hangat. “Dokter juga sudah tanda tangan. Kita bisa keluar sebentar lagi.”Shania mengangguk, menatap siluet langit cerah di luar. “Rasanya lega, tapi aneh. Seperti tiba-tiba semuanya bergerak maju lagi.”Alex mendekat, meraih tangannya. “Karena mulai hari ini, kamu tidak lagi terjebak di antara rasa sakit dan ketakutan. Kamu pulang. Bersama kami.”Sebelum Shania menjawab, pintu diketuk. Nina, Hanum, dan Brian masuk hampir bersamaan seperti rombongan keluarga yang hendak menjemput seseorang yang pulang dari perjalanan jauh.Keanan berada di gendongan Hanum, tertawa dan meninju-ninju udara seolah tahu hari ini adalah mo

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Luka yang Perlahan Dijahit

    Siang hari itu, kamar rumah sakit terasa hangat oleh cahaya matahari yang menembus jendela besar. Shania baru saja selesai makan siang ketika pintu diketuk pelan. Alex yang sedang merapikan meja kecil menoleh, dan masuklah Rachel sambil menggendong Keanan yang mengoceh riang.Shania langsung tersenyum —senyum yang paling tulus dalam tiga hari terakhir.“Sayang…” suaranya bergetar begitu melihat buah hatinya.Rachel buru-buru mendekat, dan Shania merentangkan kedua tangan. Keanan menyambut dengan tawa kecil, langsung menempel di dada ibunya seolah ia memang tahu siapa yang paling dirindukan.Air mata Shania jatuh tanpa bisa ditahan.Alex mematung, tersenyum tipis sambil menyaksikan momen itu —momen yang sempat ia takut tidak akan pernah ada lagi.“Aduh, Nak…” Shania menciumi kepala Keanan berulang kali. “Mama kangen banget sama kamu…”Keanan memegang wajah Shania dengan jemari mungil, lalu mengeluarkan suara manja, membuat Shania kembali menangis.Rachel dan Ethan berdiri di pojok ruan

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Menuju Masa Tenang

    Tiga hari setelah Shania benar-benar sadar, suasana di bangsal VIP itu berubah jauh. Tidak lagi terdengar langkah terburu-buru dokter atau bisik panik keluarga yang memenuhi lorong. Yang tersisa hanyalah rutinitas lembut, suara langkah perawat yang halus, dan aroma antiseptik yang tidak lagi membuat Shania sesak.Ketegangan perlahan diganti rasa syukur.Tapi di balik ketenangan itu … dunia di luar masih bekerja. Termasuk proses hukum yang kini bergerak cepat untuk menindak perbuatan Maura.Siang itu, ketika perawat baru saja selesai mengganti perban di lengan Shania, Alex kembali dari panggilan telepon dengan penyidik. Wajahnya serius, tetapi tidak lagi sesuram beberapa hari lalu.Shania bisa membaca sesuatu dari ekspresi itu. “Ada kabar?”Alex duduk di tepi ranjang —posisi yang hampir menjadi kebiasaan barunya— lalu menggenggam tangan Shania.“Ada laporan lanjutan dari penyidik,” ucap Alex pelan. “Kasusnya sudah resmi naik ke tahap penyusunan berkas kejaksaan. Mereka mempercepat kare

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Konsekuensi

    Sudah tiga hari berlalu sejak Shania sadar sepenuhnya.Rumah sakit mulai terasa seperti ruang singgah yang lebih damai dibanding hari pertama ia dibawa masuk —tidak lagi penuh tangis, teriakan panik, atau wajah-wajah keluarga yang dipenuhi ketakutan. Fase gawat itu telah lewat. Yang tersisa sekarang adalah masa tenang, masa ketika luka sudah berangsur pulih, dan janji mulai ditagih.Pagi itu, Shania duduk bersandar pada tumpukan bantal, selimut menutupi kaki, rambutnya diikat sederhana. Wajahnya sehat, tapi matanya masih membawa bayang-bayang ketakutan yang tidak hilang dalam semalam.Alex baru kembali dari mengurus proses pembatalan gugatan cerai. Begitu masuk ke ruangan, ia melihat Shania memalingkan wajah dari TV yang menampilkan berita pagi.Satu nama muncul di layar.Maura Adeline.Dengan rompi tahanan. Kepala menunduk. Dikawal polisi.Alex langsung mematikan TV.“Kamu tidak harus melihat itu,” ujarnya lembut, duduk di tepian ranjang.Shania menelan ludah. “Aku hanya penasaran ap

  • Pengantin yang Tak Diinginkan   Memulai Dari Awal

    Suasana tenang di kamar rumah sakit perlahan berubah menjadi lebih hidup ketika suster datang memeriksa kondisi Shania, sementara Rachel dan Ethan membereskan sisa sarapan. Alex tetap berada di sisi Shania, tidak pernah benar-benar melepas genggamannya.Namun, begitu pemeriksaan selesai dan ruangan kembali lengang, Alex menatap Shania dengan ekspresi yang selama ini ia pendam, campuran cinta, ketakutan, dan rasa kehilangan yang sempat membuatnya nyaris hancur.“Shania,” suara Alex serak. “Aku boleh nanya sesuatu?”Shania menaikkan alis lembut. “Apa?”Alex menatapnya seperti seseorang yang melihat sesuatu rapuh namun sangat berharga.“Kamu … masih takut sama aku?”Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih sempit.Shania menelan ludah, mengingat malam penculikan itu—bagaimana Alex memeluknya erat, bagaimana suaranya pecah saat memanggil namanya, bagaimana raut panik di wajah pria itu tidak pernah bisa ia lupakan.Perlahan, ia menggeleng. “Aku tidak takut kamu menyakitiku,” ujarnya lem

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status