"Kenapa, Mas?" Aku memberanikan diri bertanya ketika melihat Mas Abryal memutus sambungan telepon, kemudian mondar-mandir tanpa menatapku.
Dia menoleh, lantas menjawab, "Baru saja mas tiba di rumah, tapi sudah ada pasien baru lagi."
"Apa tidak bisa ditunda dulu, Mas? Perawat di rumah sakit gak cuma kamu, kan? Harusnya mereka mengerti kalau kita baru saja menikah kemarin dan tentu diperbolehkan cuti."
Mas Abryal diam, tampak berpikir. Sejujurnya ada dua rasa ketika Mas Abryal kembali ke rumah sakit. Di satu sisi, aku tidak harus mencari alasan menghindar dari keinginannya melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi, di sisi lain merasa sedih juga. Jika di hari kedua saja bahkan pada malam pertama dia kembali ditugaskan sehingga tidak bisa menemani istri, bagaimana dengan ke depannya?
"Ini darurat, Megy. Demi keselamatan nyawa seorang ayah. Kata dokter Cindy, pasien terjatuh dari ketinggian tadi malam dan hari ini keadaannya benar-benar gawat. Sebagai perawat, mas tidak boleh mementingkan urusan pribadi. Anggap saja pemadam kebakaran yang harus siaga kapan pun dan di mana pu–"
"Baiklah, aku tidak apa-apa. Pulang besok lagi juga gak masalah. Intinya sekarang semua keputusan ada di tangan kamu, Mas. Walau aku sekarat pun gak boleh kamu prioritasin."
Hanya jawaban itu yang bisa aku keluarkan. Jujur saja, aku merasa tidak dianggap penting. Dalam satu rumah sakit besar, tentu ada beberapa perawat bahkan dokter ahli bedah saja harus lebih dari satu. Pakai logika, jika yang satu berhalangan hadir, maka masih ada dokter lain untuk menangani. Bukankah begitu?
Meskipun memasang tampang tidak suka, nyatanya tetap membuat Mas Abryal meninggalkan kamar ini, mungkin menuju rumah sakit. Percuma saja mengeluarkan pendapat, bukan? Karena walau tanpa izin dari istri, dia pergi begitu saja seperti tadi malam. Bukankah mudah andai saja semalam dia masuk ke kamar sekadar berpamitan?
"Baiklah, kali ini aku maklumi karena aku pun tidak bisa melayanimu untuk hari ini, Mas. Namun, sebelumnya entahlah. Sebaiknya kita bertengkar saja daripada aku dinomorduakan. Sebelum kita menikah, kamu janji akan menjadikan aku prioritas. Nyatanya? Ternyata kenyataan tak selalu sesuai dengan ekspektasi." Aku bergumam, beralih duduk di depan kaca rias.
"Ikut denganku!"
Aku tersentak kaget ketika Mas Daran tiba-tiba ada di kamar. Dia menyeret tangan ini menuju ke luar, menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami kecuali salah seorang perempuan yang entah siapa, mungkin keluarga juga karena penampilannya terlihat berkelas.
"Kita mau ke mana, Mas? Kenapa kamu nyeret aku kayak gini?!" protesku mencoba melepaskan diri.
Namun, tidak ada jawaban. Mas Daran menampilkan wajah serius. Di detik selanjutnya, dia membuka pintu mobil, kemudian mendorongku masuk. Kendaraan roda empat berwarna putih ini pun melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman rumah yang dikemudi langsung oleh kakak ipar.
Kusangka setelah kejadian tadi malam, Mas Daran akan malu memunculkan batang hidungnya di depanku. Ternyata dia justru menjelma seorang penculik. Bagaimana jika tadi ibu mertua melihat? Lagi pula, seharusnya di berangkat ke kantor atau ke mana saja untuk bekerja seperti lelaki dewasa pada umumnya. Entah ke mana lelaki bangsat ini membawaku pergi.
"Mas, kamu masih gak mau bilang kita mau ke mana?"
Mobil menepi, Mas Daran beralih menatapku intens. Bayangan kejadian tadi malam kembali mengganggu pikiran. Aku menghela napas berat sambil menunggu kakak ipar membuka suara. Lima menit berlalu pun tetap saja tidak ada jawaban, jadi aku memberanikan diri menoyor kepala Mas Daran. Padahal sebelum menikah, kami belum pernah saling bicara.
"Meg, aku ingin membicarakan tentang tadi malam!"
"Ke-kenapa? Apa yang mau kamu bicarakan, Mas?"
"Tadi malam aku ingat, Abryal memintaku memakai parfum. Kebetulan parfum aku habis, jadi terpaksa memakai miliknya. Jadi, aroma parfum lemon itu bukan sengaja aku pakai demi menjebakmu. Aku yang terjebak, seperti meminum obat perangsang."
Aku membulatkan mata. Benarkah apa yang dikatakan oleh Mas Daran? Jika meminum obat perangsang, siapa yang melakukannya dan untuk apa? Sebagai orang baru dalam keluarga mereka, aku belum bisa mencurigai seseorang sebagai tersangka. Pernikahan kami dihadiri oleh banyak orang, banyak dari mereka yang terasa asing.
Untuk sesaat, aku menatap dalam Mas Daran demi menemukan sebuah jawaban. Namun, tidak ada binar kebohongan di sana. Meskipun kami belum mengenal satu sama lain kecuali nama saja, entah kenapa aku merasa yakin kalau kakak ipar bukan buaya darat alias suka bermain perempuan. Ah, semua terlalu tiba-tiba dan aku tidak tahu harus bagaimana.
"Lalu bagaimana, Mas?"
"Seperti kamu, aku pun melakukannya secara tidak sadar. Aku dibawah pengaruh obat dan kamu mengira aku adalah Abryal. Ya, sudah banyak yang salah sangka kalau mendengar suara saja karena memang sangat mirip. Jadi, aku minta sama kamu untuk merahasiakan kejadian tadi malam, lupakan semuanya."
Aku mengangguk setuju. Setidaknya dengan Mas Daran memilih diam akan membuat aku sedikit lebih lega. Dia pasti bisa menyembunyikan semua masalah ini, mungkin demi menjaga nama baik. Aku juga yakin lelaki tampan seperti dia sudah punya kekasih. Daripada berpisah, bukankah lebih baik menutupi kesalahan tadi malam? Aku pun tidak ingin orang lain tahu termasuk ibu mertua.
"Abryal ke mana tadi malam? Kenapa dia tidak datang ke kamar kalian?"
"Katanya ada pasien darurat, Mas. Tadi aja udah pergi lagi dan entah kapan kembalinya. By the way, sebaiknya kita pulang sekarang sebelum Mami marah kalau tahu aku tidak ada di rumah."
"Tidak ada pekerjaan yang mengharuskanmu pulang ke rumah. Lebih baik kita jalan-jalan dulu karena hari ini aku malas masuk kantor."
Mobil kembali melaju membelah jalan entah ke mana. Aku pasrah saja sambil menatap ke luar jendela. Melupakan perkara semalam adalah sesuatu yang rumit. Bukan karena merindukan setiap sentuhan kakak ipar, tetapi lebih mengkhawatirkan respons Mas Abryal nanti.
Andai saja boleh berandai, maka aku akan memohon agar kejadian semalam tidak harus terjadi. Seorang pengantin yang ternoda, lalu melayani suaminya setelah kesucian direnggut orang lain apakah sesuatu yang bisa dimaafkan? Bagaimana jika Mas Abryal justru tahu, lalu tidak memberi kesempatan kedua sekalipun aku memberi alasan? Ini rumit.
"Jangan terlalu dipikirkan.".
"Mas boleh ngomong kayak gitu karena kamu ini laki-laki. Lah, aku perempuan, Mas. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan."
Mas Daran tertawa lepas. Dia sangat menyebalkan. Kenapa dia terlihat tidak bersalah sama sekali dan justru merasa kemenangan berpihak padanya? Ah, terlalu banyak tanda tanya dalam benak, tetapi tidak bisa menemukan jawaban.
"Bagaimana jika ternyata aku hamil anak kamu, Mas?" Pertanyaan yang tiba-tiba muncul di dalam benak berhasil membuat Mas Daran menginjak rem secara mendadak. Nasib baik tidak ada kendaraan di belakang atau kami akan ditabrak.
Pandangan mata kami bertemu dalam satu titik yang sama. Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi agar tidak sampai meledak. Lelaki berkulit sawo di hadapanku sepantasnya dibenci karena dia telah merenggut kehormatan yang selama ino berusaha aku jaga untuk dipersembahkan pada suami tercinta pada malam pertama kami. Akan tetapi, apa yang sedang dia pikirkan sekarang? Sebuah solusi agar tidak pernah ketahuan atau hal aneh lainnya?Aku memanyunkan bibir, memutar badan kembali menghadap ke depan. Jalanan begitu sepi, tetapi pikiran sangat ramai. Bayang-bayang penyesalan terus menghantui memeluk diri. Sanggupkah menerima fakta bahwa aku telah mengkhianati pernikahan dengan Mas Abryal yang selama ini bersikap lembut dan baik padaku? Meskipun kami pacaran beberapa bulan saja, tetapi dia sudah menunjukkan kalau dirinya mampu menjadi kepala rumah tangga yang baik. Ya, meskipun kesalahan besar terjadi dengan pergi meninggalkan aku di malam pertama."Mas, kenapa kamu nggak jawab? Kamu gak pedu
"Jangan pikir bisa menipu aku, Megy. Aku tahu kalau kamu tidak suci lagi. Katakan, sudah berapa banyak lelaki yang menidurimu?!" Mas Abryal kembali melontarkan kalimat yang menyakiti hati.Mungkin lebih terdengar sebagai tuduhan. Pada malam pertama, aku menghabiskan malam dengan kakak ipar juga karena kesalahannya. Andai saja dia segera menyusul ke kamar dan bukan meladeni tamu yang katanya begitu penting, mungkin tidak akan terjadi masalah besar. Kesalahan kedua adalah dia tidak masuk ke kamar sekadar meminta izin. Tidak mungkin lelaki itu pergi dengan memakai baju pengantin bukan?"Kenapa diam saja, Lacur?!" bentak Mas Abryal semakin tega.Mata merah berkaca-kaca, terdengar embusan napasnya berulang kali darinya. Aku menunduk, air mata ikut mengalir di pipi, tetapi segera aku seka. Detik selanjutnya berusaha tersenyum lebar meski harapan telah patah berulang kali. Mungkin memang sudah takdirnya untuk dihina seperti ini karena siapa pun akan terluka jika tahu pasangannya sudah tidak
"Kenapa diam saja? Kamu nggak denger mami bicara?" Ibu mertua kembali membuka suara yang kali ini sangat melengking. "Nggak gitu, Mam. Mas Abryal cuma salah paham, gak ada yang aku sembunyikan.""Bohong!" Ibu mertua langsung melayangkan tamparan di pipi kanan ini, lalu menyeretku ke belakang rumah dekat kebun.Entah sejak kapan ibu mertua merencanakan semua ini karena sudah tersedia tali tambang yang cukup panjang. Aku diikat pada batang pohon mangga yang tidak terlalu tinggi, tetapi seperti angker. Memberontak pun tidak bisa, aku hanya mengandalkan suara untuk berteriak.Namun, semua percuma seolah penghuni rumah ini tidak memiliki telinga. Gadis tadi pun mungkin enggan memunculkan batang hidungnya. Aku pasrah, menitikkan air mata memikirkan hal-hal yang mungkin saja terjadi esok atau lusa."Mami nggak bakal ngelepasin kamu kalau nggak jujur!""Please, Mami. Aku bersumpah sebelum kami menikah, aku masih perawan.""Tadi malam kamu ngapain aja? Abryal kan ke rumah sakit.""Itu ...." A
Mas Daran keluar dari kamar ini setelah menepuk pucuk kepalaku beberapa menit. Katanya itu ibarat sebuah mantra yang bisa membuat kita merasa lebih baik. Ya, aku mengakui meskipun luka di hati masih terasa.Perempuan mana yang tidak terluka diperlakukan demikian buruknya oleh mertua. Mas Abryal pun nampak acuh tak acuh lagi. Tidak ada pesan yang dia kirim untuk menjelaskan keberadaannya. Padahal saat kami masih pacaran dulu, dia kerap marah jika aku keluar rumah tanpa mengabarinya.Kembali teringat ketika ijab qabul diiringi teriakan 'sah' dari para saksi menggema di rumah besar ini. Air mata sejuk jatuh membasahi pipi. Aku selalu mendambakan malam pertama yang indah untuk kemudian melanjutkan mimpi bersama pasangan, saling menguatkan dalam keadaan apa pun."Megumi."Aku yang sedang meneguk air sedikit terkejut dengan kedatangan Kania. Dia bersama seorang pelayan yang langsung menerobos masuk kamar dan mengambil piring yang sudah kosong itu.Kania sendiri tinggal di kamar. Kami belum
"Lihat mereka, Pi. Daran sangat peduli pada Jalang itu. Apa mungkin rumor tentang mereka benar?""Jalang? Rumor? Kamu ini bicara apa, Abryal? Papi nggak pernah mengajarimu merendahkan perempuan apalagi istri kamu!" bentak ayah mertua semakin merah.Aku sendiri memilih menunduk, tetap di tempat karena tidak bisa melangkahkan kaki sekadar memberi jarak dengan Mas Daran. Ternyata memang ada rumor tentang kami berdua. Seharusnya Mas Daran memilih cuek untuk mematahkan prasangka mereka dan bukan malah menolongku.Pernikahan yang baru seumur jagung aku sangka akan dipenuhi dengan bunga-bunga cinta karena sikap romantis dari suami. Apakah dosa mengimpikan hal itu sebelum pernikahan sehingga Tuhan memberiku hukuman seberat ini?"Papi tanyakan saja sama Daran. Dia kan anak kesayangan Papi!"Ayah mertua semakin marah, dia menggertakkan gigi dengan wajah merah padam. Ibu mertua langsung menenangkannya sebisa mungkin. Aku semakin ketakutan, gemetar tidak karuan karena tahu bahwa masalah besar aka
"Benar, Om. Aku jadi saksi. Tante Yuni mengamuk membenarkan tuduhan Abryal, lalu diikat di pohon. Aku mau menolong, tetapi Tante Yuni marah dan mengancam aku diusir kalau berani mengadu. Untungnya Mas Daran datang di waktu yang tepat sebelum Megy pingsan." Kania memberi jeda, tersenyum manis sebelum akhirnya melanjutkan, "Aku menelepon Mas Daran untuk segera pulang, makanya dia tahu Megumi ada di belakang rumah, Om.""Bohong!" pungkas ibu mertua cepat menatap kami secara bergantian. "Sebenarnya mami dijebak. Kania bilang kalau Megumi itu punya hubungan dengan Daran, jadi Kania menyarankan agar mami menghukum Megumi untuk mencari bukti dan benar, Daran datang menolongnya!""Tante Yuni yakin?""Kania, jangan menyudutkan Mami! Niat Mami itu baik karena mau membuka kedok mereka dan sudah terbukti, kan? Bahkan dengan gatalnya minta digendong." Mas Abryal kembali membuka suara seperti tidak ingin ibu mertua disalahkan.Aku tidak tahu bagaimana keputusan akhir karena ayah membawa istrinya me
"Nggak mungkin, Meg. Kamu jangan hamil dulu!""Semoga enggak, sih, Mas. Tapi gimana kalau seandainya emang beneran hamil?"Mas Daran mengusap kasar wajahnya. Siapa yang tidak akan frustrasi? Apalagi suamiku seorang perawat, tentu mudah mengetahui siapa ayah biologis dalam kandunganku ini. Lantas haruskah jujur pada keluarga, kemudian menikah dengan dia?Oh, ini berat. Mas Daran sendiri sudah memutuskan untuk hidup melajang. Dia memang yang merenggut kehormatanku pertama kali, tetapi setelah tidur dengan Mas Abryal juga, apa dia akan mempertimbangkan atau justru menolak kasar?Aku perempuan dan di mana-mana dalam kasus yang sama, kamilah yang paling dirugikan. Mas Daran bisa menyangkal untuk sesaat jika mau saat suatu hari nanti kebenaran terungkap. Lagi pula jika dia menikah dengan perempuan lain, mungkin istrinya tidak akan curiga.Mas Daran menatap lekat padaku, sejurus kemudian aku memalingkan pandangan ke luar jendela karena berhasil di buat salah tingkah. "Kamu keberatan kalau ..
"Megy!" Teriakan itu menggema bersamaan dengan tangan aku yang dicekal kuat. Gunting direbut ketika aku membuka mata."Mas Daran?"Dia menggeleng kuat sebagai isyarat bahwa dia tidak memberi izin aku mengakhiri hidup. Dalam satu gerakan, aku sudah berada dalam pelukannya. Tentu hal ini menambah kecurigaan Mas Abryal. Aku pasrah, memejamkan mata untuk sesaat.Tidak kupedulikan hinaan Mas Abryal yang mengatai kami manusia hina. Bahkan sampai lelaki itu pergi, Mas Daran tetap pada posisinya. Untuk waktu yang lama, aku merasa damai.***Tanpa terasa, waktu berputar begitu cepat dan setiap pagi aku harus menahan mual agar keluarga suami tidak curiga. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mencoba mencari jalan keluar yang sudah pasti buntu?Selain jujur pada mereka, aku tidak akan pernah lepas dari masalah ini. Namun, Mas Daran sudah berjanji ingin membantu meskipun bukan bermaksud akan bertanggungjawab dengan menikah."Aku sudah telat sebulan hari ini, Mas. Kayaknya ... emang lagi hamil."M