Share

Bab 3. Sebuah Kesepakatan

"Kenapa, Mas?" Aku memberanikan diri bertanya ketika melihat Mas Abryal memutus sambungan telepon, kemudian mondar-mandir tanpa menatapku.

Dia menoleh, lantas menjawab, "Baru saja mas tiba di rumah, tapi sudah ada pasien baru lagi."

"Apa tidak bisa ditunda dulu, Mas? Perawat di rumah sakit gak cuma kamu, kan? Harusnya mereka mengerti kalau kita baru saja menikah kemarin dan tentu diperbolehkan cuti."

Mas Abryal diam, tampak berpikir. Sejujurnya ada dua rasa ketika Mas Abryal kembali ke rumah sakit. Di satu sisi, aku tidak harus mencari alasan menghindar dari keinginannya melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi, di sisi lain merasa sedih juga. Jika di hari kedua saja bahkan pada malam pertama dia kembali ditugaskan sehingga tidak bisa menemani istri, bagaimana dengan ke depannya?

"Ini darurat, Megy. Demi keselamatan nyawa seorang ayah. Kata dokter Cindy, pasien terjatuh dari ketinggian tadi malam dan hari ini keadaannya benar-benar gawat. Sebagai perawat, mas tidak boleh mementingkan urusan pribadi. Anggap saja pemadam kebakaran yang harus siaga kapan pun dan di mana pu–"

"Baiklah, aku tidak apa-apa. Pulang besok lagi juga gak masalah. Intinya sekarang semua keputusan ada di tangan kamu, Mas. Walau aku sekarat pun gak boleh kamu prioritasin."

Hanya jawaban itu yang bisa aku keluarkan. Jujur saja, aku merasa tidak dianggap penting. Dalam satu rumah sakit besar, tentu ada beberapa perawat bahkan dokter ahli bedah saja harus lebih dari satu. Pakai logika, jika yang satu berhalangan hadir, maka masih ada dokter lain untuk menangani. Bukankah begitu?

Meskipun memasang tampang tidak suka, nyatanya tetap membuat Mas Abryal meninggalkan kamar ini, mungkin menuju rumah sakit. Percuma saja mengeluarkan pendapat, bukan? Karena walau tanpa izin dari istri, dia pergi begitu saja seperti tadi malam. Bukankah mudah andai saja semalam dia masuk ke kamar sekadar berpamitan?

"Baiklah, kali ini aku maklumi karena aku pun tidak bisa melayanimu untuk hari ini, Mas. Namun, sebelumnya entahlah. Sebaiknya kita bertengkar saja daripada aku dinomorduakan. Sebelum kita menikah, kamu janji akan menjadikan aku prioritas. Nyatanya? Ternyata kenyataan tak selalu sesuai dengan ekspektasi." Aku bergumam, beralih duduk di depan kaca rias.

"Ikut denganku!"

Aku tersentak kaget ketika Mas Daran tiba-tiba ada di kamar. Dia menyeret tangan ini menuju ke luar, menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Beruntung tidak ada orang lain di sekitar kami kecuali salah seorang perempuan yang entah siapa, mungkin keluarga juga karena penampilannya terlihat berkelas.

"Kita mau ke mana, Mas? Kenapa kamu nyeret aku kayak gini?!" protesku mencoba melepaskan diri.

Namun, tidak ada jawaban. Mas Daran menampilkan wajah serius. Di detik selanjutnya, dia membuka pintu mobil, kemudian mendorongku masuk. Kendaraan roda empat berwarna putih ini pun melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman rumah yang dikemudi langsung oleh kakak ipar.

Kusangka setelah kejadian tadi malam, Mas Daran akan malu memunculkan batang hidungnya di depanku. Ternyata dia justru menjelma seorang penculik. Bagaimana jika tadi ibu mertua melihat? Lagi pula, seharusnya di berangkat ke kantor atau ke mana saja untuk bekerja seperti lelaki dewasa pada umumnya. Entah ke mana lelaki bangsat ini membawaku pergi.

"Mas, kamu masih gak mau bilang kita mau ke mana?"

Mobil menepi, Mas Daran beralih menatapku intens. Bayangan kejadian tadi malam kembali mengganggu pikiran. Aku menghela napas berat sambil menunggu kakak ipar membuka suara. Lima menit berlalu pun tetap saja tidak ada jawaban, jadi aku memberanikan diri menoyor kepala Mas Daran. Padahal sebelum menikah, kami belum pernah saling bicara.

"Meg, aku ingin membicarakan tentang tadi malam!"

"Ke-kenapa? Apa yang mau kamu bicarakan, Mas?"

"Tadi malam aku ingat, Abryal memintaku memakai parfum. Kebetulan parfum aku habis, jadi terpaksa memakai miliknya. Jadi, aroma parfum lemon itu bukan sengaja aku pakai demi menjebakmu. Aku yang terjebak, seperti meminum obat perangsang."

Aku membulatkan mata. Benarkah apa yang dikatakan oleh Mas Daran? Jika meminum obat perangsang, siapa yang melakukannya dan untuk apa? Sebagai orang baru dalam keluarga mereka, aku belum bisa mencurigai seseorang sebagai tersangka. Pernikahan kami dihadiri oleh banyak orang, banyak dari mereka yang terasa asing.

Untuk sesaat, aku menatap dalam Mas Daran demi menemukan sebuah jawaban. Namun, tidak ada binar kebohongan di sana. Meskipun kami belum mengenal satu sama lain kecuali nama saja, entah kenapa aku merasa yakin kalau kakak ipar bukan buaya darat alias suka bermain perempuan. Ah, semua terlalu tiba-tiba dan aku tidak tahu harus bagaimana.

"Lalu bagaimana, Mas?"

"Seperti kamu, aku pun melakukannya secara tidak sadar. Aku dibawah pengaruh obat dan kamu mengira aku adalah Abryal. Ya, sudah banyak yang salah sangka kalau mendengar suara saja karena memang sangat mirip. Jadi, aku minta sama kamu untuk merahasiakan kejadian tadi malam, lupakan semuanya."

Aku mengangguk setuju. Setidaknya dengan Mas Daran memilih diam akan membuat aku sedikit lebih lega. Dia pasti bisa menyembunyikan semua masalah ini, mungkin demi menjaga nama baik. Aku juga yakin lelaki tampan seperti dia sudah punya kekasih. Daripada berpisah, bukankah lebih baik menutupi kesalahan tadi malam? Aku pun tidak ingin orang lain tahu termasuk ibu mertua.

"Abryal ke mana tadi malam? Kenapa dia tidak datang ke kamar kalian?"

"Katanya ada pasien darurat, Mas. Tadi aja udah pergi lagi dan entah kapan kembalinya. By the way, sebaiknya kita pulang sekarang sebelum Mami marah kalau tahu aku tidak ada di rumah."

"Tidak ada pekerjaan yang mengharuskanmu pulang ke rumah. Lebih baik kita jalan-jalan dulu karena hari ini aku malas masuk kantor."

Mobil kembali melaju membelah jalan entah ke mana. Aku pasrah saja sambil menatap ke luar jendela. Melupakan perkara semalam adalah sesuatu yang rumit. Bukan karena merindukan setiap sentuhan kakak ipar, tetapi lebih mengkhawatirkan respons Mas Abryal nanti.

Andai saja boleh berandai, maka aku akan memohon agar kejadian semalam tidak harus terjadi. Seorang pengantin yang ternoda, lalu melayani suaminya setelah kesucian direnggut orang lain apakah sesuatu yang bisa dimaafkan? Bagaimana jika Mas Abryal justru tahu, lalu tidak memberi kesempatan kedua sekalipun aku memberi alasan? Ini rumit.

"Jangan terlalu dipikirkan.".

"Mas boleh ngomong kayak gitu karena kamu ini laki-laki. Lah, aku perempuan, Mas. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan."

Mas Daran tertawa lepas. Dia sangat menyebalkan. Kenapa dia terlihat tidak bersalah sama sekali dan justru merasa kemenangan berpihak padanya? Ah, terlalu banyak tanda tanya dalam benak, tetapi tidak bisa menemukan jawaban.

"Bagaimana jika ternyata aku hamil anak kamu, Mas?" Pertanyaan yang tiba-tiba muncul di dalam benak berhasil membuat Mas Daran menginjak rem secara mendadak. Nasib baik tidak ada kendaraan di belakang atau kami akan ditabrak.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status