Share

Itu Sangat Berlebihan

Alis Agatha menaut kesal sambil menoleh dengan sinis. Meski wajahnya mendadak memanas dan nyaris memerah. Belum lagi Jayden sekarang terkekeh geli seolah menganggap ucapannya itu bukan apa-apa.

"Jangan bermain-main denganku. Apa maksud ucapanmu barusan? Kamu ingin aku mengasuh Anna atau dirimu?"

Jayden meredam tawa kecilnya, lalu sekilas melirik Agatha. "Aku bercanda. Tentu saja aku menawarimu untuk menjadi pengasuh Anna."

Agatha mengernyitkan dahi. Tak mengerti alasan apa yang membuat pria itu tiba-tiba memberikannya pekerjaan. "Kenapa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu, itu pun juga tidak sengaja. Tapi kenapa kamu seolah sudah mempercayakan Anna kepadaku?"

Jayden mengangkat bahu. "Karena aku tidak yakin bisa menemukan perempuan lain yang menyukai Anna dengan tulus. Ini juga pertama kalinya Anna bisa akrab dengan orang asing."

"Kamu yakin? Ah, maksudnya, dilihat dari penampilan, bukankah sangat mustahil jika tidak ada perempuan di sekitarmu?" Agatha menyipitkan mata penuh selidik. Jayden sangat tampan, jadi mana mungkin tidak bisa mencari perempuan lain di luar sana.

Jayden mengangguk tenang. Tak menyangkal kebenaran itu. "Banyak."

"Lalu?"

"Tapi Anna tidak menyukai mereka. Aku tidak mau berhubungan dengan perempuan yang tidak Anna suka. Jadi saat melihatmu dengannya akrab, aku senang." Jayden menarik kedua sudut bibir. "Sebab kebahagiaan Anna adalah kebahagiaanku juga."

Agatha terdiam. Sejauh ini ia belum pernah menyukai lawan jenis. Kebanyakan pria yang mendekatinya rata-rata di bawah standar tipe yang ia cari. Jadi, Agatha ragu apakah perasaannya sekarang ini pertanda bahwa ia menyukai Jayden pasca melihat senyumannya.

Agatha mengembuskan napas berat. Ia bisa melihat ketulusan dari permintaan Jayden. "Aku sebenarnya tidak berniat menolak, tapi aku mahasiswi yang sangat sibuk. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali bisa tidur dengan nyenyak. Lagi pula aku juga sudah bekerja."

Jayden sudah siap membalas, tapi terpaksa menelan lagi jawabannya saat Anna terlihat berlari kecil ke arahnya. Anna membawa dua tangkai bunga dengan warna biru dan merah muda.

"Papa. Ini bunga untukmu. Biru, seperti warna kesukaanmu." Anna berdiri di depan Jayden sambil menyodorkan setangkai bunga berwarna biru.

Jayden menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Anna. Tapi yang merah muda itu untuk siapa? Bukannya kamu suka warna ungu?"

"Karena ini cantik, aku ingin memberikannya pada Tante Agatha." Anna beralih ke depan Agatha dan memberikan bunga padanya dengan senyum lebar.

Jayden tertegun. Lain halnya dengan Agatha yang terkejut karena merah muda sebenarnya warna yang tidak ia suka. Namun melihat binar mata Anna, Agatha tidak tega untuk berkata sejujurnya.

"Wah, kamu baik sekali, Anna. Terima kasih. Aku tidak bisa menolaknya." Agatha akhirnya mengambil bunga itu lalu mengusap kepala Anna sambil tersenyum.

"Sama-sama, Tante. Apa tante suka?"

Agatha meneguk ludahnya perlahan. Tetapi mengangguk-angguk dan menarik pipi Anna disertai kekehan kecil. "Tentu saja. Sepertinya kamu sangat pandai dalam pilih memilih, ya."

"M–makasih, Tante."

Anna menundukkan kepala malu-malu. Membuat Agatha merasa bersalah sekaligus gemas. Sudah banyak anak kecil yang ia temui, tapi baru Anna yang memiliki wajah imut dengan pahatan nyaris sempurna.

Sementara Jayden hampir tidak sadar sudah menatap Agatha selama beberapa detik. Ia spontan mengerjap dan buru-buru memeriksa jam di pergelangan tangan sebelum ketahuan mencuri pandang.

"Anna, kita harus kembali. Waktumu bermain sudah cukup," celetuk Jayden lalu berdiri.

"Yahh, kenapa cepat sekali?" Anna memajukan bibir.

Agatha baru kemudian berdiri. Untungnya Jayden mengingatkan sehingga ia tidak lupa jika harus bekerja. "Papa kamu benar. Bermain di luar terlalu lama tidak baik. Lihat langitnya, sepertinya juga mau turun hujan."

Anna menatap ke atas, ternyata awan-awan hitam sudah berkumpul. Ia menatap Agatha lagi seraya memikirkan sesuatu. "Kalau begitu, apa tante mau mengantarku sampai ke mobil sambil bergandengan?"

"Eh, kenapa tidak? Jika kamu yang meminta, aku akan melakukannya," jawab Agatha seraya terkikik kecil. Anna yang sumringah kemudian langsung meraih tangannya.

"Ayo, Pa!" ajak Anna sudah berjalan lebih dulu meninggalkan Jayden sendirian.

Jayden seketika melebarkan mata. "Hei, Anna! Kenapa kamu tidak menggandengku juga?"

Anna tidak menghiraukan Jayden. Agatha yang menahan tawa melihat interaksi mereka tak bisa berbuat banyak dan hanya menuruti Anna agar tidak perlu memedulikan Jayden.

"Apa-apaan itu, dia mengabaikanku?" gerutu Jayden, lalu menyusul mereka sampai ke mobil seorang diri.

Anna melihat papanya yang baru tiba dengan tawa geli. "Wajah kesal papa terlihat lucu."

"Kamu keterlaluan, Anna."

Jayden menghampiri Anna dan langsung menggendongnya. Ia menggelitiki gadis itu tanpa ampun hingga Anna tertawa terpingkal-pingkal.

"Hentikan, Pa! Hahaha! Hentikan aku geli! Hahaha ...."

"Rasakan akibatnya, Anna."

Anna meronta-ronta, tapi tidak bisa. "Tante Agatha tolong aku, hahaha ...."

Agatha geleng-geleng kepala dengan anak bapak itu. Ia ikut tertawa melihat Anna. Keluarga mereka seru kali, pikir Agatha. Sesaat ia ingin terus berada di antara keharmonisan mereka. Sebelum akhirnya teringat sesuatu.

"Ah, maaf. Sepertinya aku harus pergi sekarang."

"Tunggu." Jayden menghentikan aksinya pada Anna sebelum Agatha berbalik. Agatha mengernyit heran.

"Yeay, tante menyelamatkan aku," pekik Anna. Agatha tersenyum geli dan mengangkat jempol.

Jayden menurunkan Anna dan membukakan pintu mobil. "Anna kamu masuklah dulu. Aku ingin berbicara dengan Tante Agatha sebentar."

"Bolehkah aku ikut mendengarnya?"

Jayden menggeleng tegas. "Ini urusan orang dewasa, kamu tidak akan mengerti."

"Papa balas dendam, ya?" Anna mendengkus kecil sambil bersedekap dada.

"Sana masuk, Anna. Nanti papa belikan kamu es krim kalau menurut." Jayden mendorong bahu Anna agar segera masuk. Meski merenggut kesal, Anna tetap menurut.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Agatha sambil mengikuti langkah Jayden yang berjalan menjauhi mobil.

"Di mana tempatmu bekerja?" Jayden berhenti di bawah pohon, kemudian mendadak berbalik menghadap Agatha. Ia bisa menyadari raut gadis itu yang terkejut.

"Di kafe. Kenapa kamu bertanya?" Agatha mundur selangkah karena terlalu dekat dengan Jayden.

"Aku akan memberimu gaji 20 juta selama sebulan, tapi berhentilah bekerja di sana," suruh Jayden, tidak ada keraguan sedikit pun dalam ucapannya.

Agatha reflek membulatkan mata. Napasnya nyaris tercekat. "T–tunggu sebentar, 20 juta? Jangan bercanda, itu sangat berlebihan. Apa kamu ingin membuang-buang uang?"

Jayden menggeleng, menatap Agatha dengan serius. "Tidak masalah jika menyangkut soal Anna. Tolong pikirkan lagi tawaranku tadi. Aku berharap kamu tidak menolaknya."

Agatha memang menyukai anak-anak, tapi bukan berarti bisa mengasuhnya. Terlebih Anna berasal dari keluarga kaya, pasti didikan dari keluarga seperti itu jauh lebih sulit, bukan?

"Tapi aku tidak yakin bisa memberikan Anna yang terbaik. Menjadi pengasuh anak bukanlah pekerjaan yang mudah," gumam Agatha.

"Aku membutuhkanmu." Jayden tidak melepaskan pandangannya. "Tidak. Aku sangat membutuhkanmu, Agatha."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status