Memang senormal itu Aresha. Di balik sikap tegas, tersimpan kelemahan sebagaimana manusia umumnya. Keberanian sekaligus ketakutan pada hal astral, datang pergi dan timbul tenggelam tak diundang. Bahkan hal itu disadari dengan rasa kesal yang sangat. Perasaan merugikan yang sungguh menyiksa jawa raga.Aresha sangat kaget, di akhir doa shalat yang tegang, terdengar pesan masuk beruntun dari ponsel di tas. Buru-buru dilipat mukena dan dibalut bersama sajadah. Diletak cepat ke atas sofa begitu saja. Segera menyambar tas kecil miliknya di ranjang.Ponsel yang ternyata hampir habis daya telah dibuka. Ada bberapa pesan masuk dalam waktu hampir bersamaan. Di antaranya dari ibu kost, Bona-gadis pemilik kafe dan juga Herdion!Pesan dari ibu kost mengabarkan jika dirinya sedang dicari seorang lelaki yang mendatangi rumah sewa. Isi pesan dari Bona pun hampir sama, seorang lelaki mencarinya dan singgah agak lama di kafe kopi keluarga Bona."Siapa lelaki yang mencariku, namanya siapa, Na?" Aresha me
Hisam Ardan dan Aresha Selim terkejut oleh dering bell pintu yang nyaring mengudara di penjuru ruang rumah. Mereka saling lempar pandang dengan raut terheran. Malam sudah merangkak dan jam dinding pun sampai di pukul setengah sepuluh tepat. Keduanya sangat asyik mengobrol, tidak sadar telah mengikis banyak waktu di meja makan.Aresha mengikuti Hisam menuju ruang depan. Berdiri di belakangnya saat pintu dibuka dengan cepat. Wanita gemuk yang tidak asing bagi mereka berdua sedang berdiri bersama security."Mak Sal.""Mak Sal." Mereka berdua hampir berbarengan menyebut nama wanita di depan pintu. "Assalamu'alaikum, Bang Hisam dan Aresha," sapa wanita itu pada mereka."Wa'alaikumsalam, bukankah Mak Sal baru pagi tadi pulang bareng papanya bang Syahfiq? Kenapa sudah kembali lagi?" Hisam terkejut sekaligus heran. "Iya, padahal Mak Sal sudah izin cuti satu minggu. Tapi Tuan Herdion nelponin, suruh kerja lagi seminggu ini. Katanya suruh nemenin Venus kalo malam. Siangnya suruh bantu-bantu Ny
"Auwh...!" Aresha memekik keras. Dirinya yang keluar kamar dengan jalan buru-buru, tiba-tiba terhantam seseorang. Sebelah kamar Venus adalah ruang tamu dengan pintu masuk. Tidak heran jika peristiwa tabrak menabrak sering terjadi di lokasi depan kamar, yang ibarat tikungan tajam lalu lintas di jalanan."Kau jalan tak pakai mata?! Atau kau tak ada mata?!" Seorang perempuan yang ternyata Miana, bertanya dengan semprotan sangat kasar. Kepala Aresha yang mulanya berat sebab baru bangun, terasa waras seketika. Otak dalam kepala pun berputar kencang dan laju."Kamu pikir aku percaya jika matamu ada?! Pagi-pagi sudah menabrak! Apa kamu baru pulang dari hotel?!" Aresha membalas tak kalah sengit. Berpikir gadis itu yang memulai, tidak salah membalas. Miana yang tampak kusut itu membelalak."Kau benar-benar ngelunjak! Cepatlah pergi, menyingkirlah dari mataku! Jika tidak, akan kukoyak lebar-lebar mulutmu!" Miana berseru dengan wajah yang merah. Mukanya yang cantik dan putih itu seperti tomat be
Kendaraan sebentar lagi memasuki jembatan menuju Pulau Marina. Herdion tampak menyiapkan sebuah kartu elektronik sejenis E-Toll. Khusus di gunakan saat akan melewati jembatan. Sedang saat keluar dari Pulau Marina, pass e-toll tidak lagi diperlukan. Pengguna jembatan dibebaskan melenggang keluar berapa kali pun dalam sehari menyeberanginya."Apa Venus makan banyak?" Herdion memecah hening setelah menggesek e-toll miliknya di mesin. "Iya, banyak. Lagipula sudah kecapekan guling-guling sama oma Nur, sepertinya sebentar lagi dia akan bisa duduk," jelas Aresha bsrsemangat, jari lentik itu menepuk-nepuk lembut lengan Venus yang tampak mulai menebal. Herdion mendapati binar gembira di wajah cantik gadis itu."Apa tinggal di keluarga Hisam bagimu menyenangkan? Kurasa mamanya Hisam sangat menyukaimu," tanya Herdion sekaligus berkomentar."Venus memang gembira di sana. Dia juga jarang menangis. Dilihat dari apa, mamanya Pak Hisam menyukaiku?" Setelah berkomentar, Aresha justru balik bertanya. H
Dengan tubuh terasa berat yang membuat susah berenang cepat, Herdion tidak fokus lagi dengan tujuannya. Taufiq bahkan sudah keluar dari air. Terbirit menjauhi kolam renang dan masuk ke dalam rumah.Diikuti Siti Yasmin menggendong Venus mengekori putra bungsu yang telah basah kuyub hingga air mengalir dari badan dan baju, bukan lagi menetes. Air menggenang di sepanjang jejak kaki si bocah bongsor itu.Aresha masih merapat di punggung Herdion dengan tangan melingkar di dada pria itu. Sangat paham jika dirinya telah sangat menyusahkan. Tetapi, Herdion masih mampu membawanya hingga ke tepian tangga kolam. Tidak juga berusaha menepis tangan dan kaki Aresha dari membelitnya saat sudah berdiri."Taufiq sudah keluar dari kolam, Aresha. Apa sangat menyenangkan kugendong?" Herdion berkata dingin dengan berdiri tenang di tangga kolam. Berpegangan di salah satu sisi kerangka tangga dengan hanya sebelah tangan. "Eh ... tidak!" Aresha menyahut dari belakang. Seketika menjauhkan diri dari punggung
Wanita yang mulanya bermulut tajam pada Aresha, berubah jinak dan bungkam. Diam, membiarkan gadis yang sering dibawanya berperang, menggosok lembut punggungnya dengan minyak angin.Miana jga pasrah saat dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar yang juga pernah digunakannya, saat sang kakak sulung masih hidup, sempat beberapa kali ikut menginap di rumah ini."Akan kuambilkan makanan, apa kamu mau?" Aresha berusaha lembut meski hatinya tetap bersiaga andai Miana kembali berulah. Miana tidak menjawab, hanya menatap Aresha dengan sayu."Akan kuambilkan," ucap Aresha lagi sambil beranjak. Baju tidurnya terasa ada yang menarik ke belakang. Miana telah menahan langkahhnya."Aku tidak mau," sahut Miana lemah. Dalam hati, Aresha mengumpati kekerasan hati gadis itu."Baiklah jika tidak mau, tidak kupaksa. Ini sudah malam, Venus waktunya tidur," ucap Aresha sambil lanjut bergeser. Namun, bajunya terus ditahan Miana."Apa maumu? Bukankah kamu hanya ingin istirahat dan menginap? Sebenarnya ini ka
Dipercepatnya langkah kaki menuju pos satpam di gerbang. Wanita yang tadinya duduk, seketika berdiri setelah melihat kelebat kedatangan Aresha.TinSebuah mobil dengan nyala lampu yang menyilau mata juga berhenti di depan gerbang. Aresha memicing matanya. Sekilas mengenali jika itu mobil Herdion. Rupanya malam-malam begini lelaki itu pulang. Apa wanita itu teman Herdion?"Ka ... kamu? Bukankah kamu Aresha?!" Wanita itu sudah berdiri mendekati Aresha. Lampu mobil yang silau membuat samar gerakannya. Meski diteliti berulangkali pun, merasa gagal mengingatinya."Benar. Kakak, siapa?" Aresha bertanya heran. Ekspresi wanita itu terlihat kesal dan marah. "Aresha, kuminta dengan penuh mohon padamu. Jauhilah suamiku, jangan lagi menggoda Jack. Jangan ganggu lagi rumah tanggaku. Aku sudah lelah, aku lelah ...!" Wanita yang mulanya berkata pelan, semakin keras bicaranya. Aresha tidak terlalu paham maksudnya. Namun, segera ingat jika wanita itu adalah istrinya Jack."Maksudmu, apa? Aku dan Pa
Ponsel Aresha di letak pelan di meja. Telapak lebar dengan jari-jari tangan yang panjang, meraup wajah lelahnya. Herdion menunduk sejenak sebelum menatap redup Aresha."Maaf, ikut menuduhmu sebagai pelakor. Jadi kamu benar-benar tidak ada hubungan spesial dengan Jack?" Herdion masih juga mencari kepastian. "Aku ... apa Anda tidak dengar ucapan istri Jack padaku? Aku terlalu cantik hanya untuk menjadi simpanan suaminya. Lagipula, aku pun tidak bodoh, Pak Herdion," sahut Aresha terdengar kesal. Wajah memerahnya justru membuat terlihat lebih cantik dan menarik. "Sejak kapan Miana datang?" Herdion bertanya hal lain sambil menyodor ponsel pada Aresha. Rupanya sudah tidak lagi curiga sedikit saja."Pukul delapan malam sudah datang. Dia sakit, muntah dan pusing. Kuberi obat mag. Ternyata, seperti itu sakitnya. Garis dua ...," ucap Aresha menggantung. Herdion mengangguk tanda mengerti."Jika benar sesuai testpack yang kamu rekam, menurutmu, anak siapa yang dikandungnya?" tanya Herdion. Ares