Seolah langit turut berduka, tiada matahari bersinar di langit Rotterfort beberapa hari ini. Peristiwa penembakan di depan teater menjadi tajuk utama hampir seminggu lamanya. Selama itu pula Ernest Softucker mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk mencari pembunuh istri dan adik perempuannya. Setiap hari, ia akan datang ke kantor polisi dengan satu koper uang untuk informasi apa pun tentang komplotan pembunuh. Namun, sudah hampir seminggu pula, belum ada kabar tentang para pelaku. Polisi menduga para pelaku sudah meninggalkan Rotterfort setelah melakukan pembunuhan. Tentu saja Ernest tidak percaya begitu saja. Diam-diam, ia juga menyewa penyelidik swasta, bahkan sayembara dengan hadiah ratusan juta untuk setiap kepala pelaku.“Sampai kapan kau akan seperti ini?”Ernest mendongak dari lembaran dokumen di mejanya. Tersenyum kecil melihat adik iparnya yang terlihat sama tidak bergairahnya seperti dirinya, setelah kehilangan istrinya. “Kala
“Kau baik-baik saja?” tanya Vernon seraya mendorong segelas brendi ke depan Ben. “Kau sudah dengar kabar terbaru tentang Sam?”Ben mengangkat wajahnya menatap Vernon.“Kuharap, ini tidak ada kaitannya dengan luka di wajahmu, Ben. Atau…” Vernon menghela napas. “Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau nekat menemuinya? Apa kau tidak bisa memulai hidup baru seperti yang diinginkan ayahmu?”“Apa kau bisa melakukannya jika ini terjadi pada Peter?”“Bukan begitu, Ben. Maksudku, kau boleh saja menemuinya untuk meminta penjelasan, tapi tidak perlu menghajarnya sampai mati.”Ben menurunkan gelas brendinya, keningnya mengerut. Terakhir kali ia melihat Sam empat hari lalu, Ben yakin pria tua itu masih bernapas, bahkan mengacungkan pistol ke gerombolan yang hendak menculik Ella.“Berita dari mana itu? Aku tidak membunuhnya!” desis Ben tepat di depan wajah Vernon,
Ella memutuskan untuk tinggal sementara waktu di pondok. Entah sampai kapan, tapi setidaknya sampai ia bisa menguasai emosinya dan tidak muntah saat melihat wajah James Softucker. Semua terjadi begitu tiba-tiba, seolah bersamaan menyerbu Ella. Semua hal-hal yang terasa asing, aneh, tapi sangat memengaruhi suasana hatinya. Semenjak ia terbangun di kamar Max beberapa hari lalu, pikirannya yang seolah kembali waras sedang berusaha memproses semua hal itu dengan cepat. Namun, hingga detik ini, Ella belum menemukan jawaban atas segala pertanyaannya. Ella hanya mengerti akan satu hal, yakni: suara yang terus memintanya berlari kala itu adalah suara ibunya—dan Ella yakin akan hal itu.Seolah potongan bayangan yang memenuhi kepalanya itu belum cukup buruk, setiap malam Ella tidak lagi bisa tidur nyenyak. Setiap kali ia memejamkan mata, ia seperti terlempar ke suatu masa, yang ia tidak tahu kapan tepatnya, dan pemandangan seorang pria tergeletak di bawah kakinya, berlumuran dara
Ben menikmati saat-saat seperti ini. Di mana seorang Radella terlihat gelisah, gusar, karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Hanya orang bodoh yang tidak bisa melihat perasaan Ella padanya. Meski Ben sendiri juga sebenarnya terlambat menyadari tanda-tanda itu. Tuhan benar-benar membantunya! Kini, Ben hanya perlu membuat Ella semakin menginginkannya, semakin bergantung padanya, dan tidak bisa tanpa dirinya. Kedengarannya terlalu berlebihan? Well, Ben tidak peduli dengan kenyataan itu.“Kau pengawal baru?”Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang seluruhnya digelung, dan berpakaian sangat rapi yang menyambut Ella tadi, kini berbalik menatap Ben dengan ekspresi penuh selidik.“Biasanya Dave dan Lucas yang mengantar nona kemari.”Ben mengatur ekspresinya agar tampak sedikit lebih ramah. “Ah, iya, aku pengawal baru. Max,” ujar Ben memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.Wanita itu ters
Ella menatap pintu ruang kerja ayahnya yang sudah kembali tertutup. Hening seketika kembali menyergapnya setelah kepergian Max. Dulu, Ella sering menghabiskan waktu menunggu makan malam di ruangan ini. Menemani ayahnya mempelajari banyak dokumen, sedangkan dirinya akan duduk di sofa dengan setumpuk boneka dan buku cerita. Biasanya mama akan ikut masuk dan menyuruh Ella untuk mandi, tapi sering kalinya akan berakhir dengan mama membacakan buku cerita untuk Ella. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan, ketika kedua orang tua Ella pergi untuk selamanya.Ella masih ingat hari itu, ketika dirinya terbangun di rumah sakit dan Eden terlihat begitu cemas. Di hadapannya James tersenyum, lalu menghampiri dan memeluknya erat, seraya mengabarkan bahwa mama dan bibinya menjadi korban kecelakaan. Belum juga Ella mencerna informasi itu, beberapa bulan kemudian, papa juga pergi meninggalkannya. Sejak saat itu, hanya Eden yang selalu menjaganya, sedangkan James sibuk bekerja mempertahankan b
“Tentang alasanmu dan ayahmu menerima pernikahan ini.”“Kau bodoh atau memang benar-benar tidak tahu?” cibir Ella. “Seperti yang pernah kau katakan, jika keluarga kita bersatu, maka tidak akan terkalahkan. Lagipula, ide menikah denganmu tidaklah terlalu buruk bila dibandingkan aku harus tidur jalanan.”“Maksudmu, James akan mengusirmu jika kau menolak pernikahan ini? Kau terlalu berlebihan, El.”“Kau sendiri? Apa alasanmu menerima pernikahan ini?” tanya Ella balik. “Jangan bilang karena cinta. Aku tidak percaya itu.”“Bagaimana jika itu memang benar adanya?”“Ayolah, Prince! Hentikan sandiwaramu. Kita masih sangat muda untuk pernikahan ini, tapi memang kepentingan bisnis lebih utama, ‘kan? Apa Loshen sedang di ambang kebangkrutan, sehingga membutuhkan bantuan Softucker?”Prince tertawa mendengar pertanyaan Ella, dan tawanya itu sungguh menye
Ben menarik napas panjang dan tatapannya lurus pada langit-langit kamar yang terasa asing baginya. Biasanya sarang laba-laba atau atap yang hampir roboh akan menjadi pemandangan rutinnya setiap kali ia membuka mata, tapi kali ini berbeda. Tidak ada hal-hal menjijikkan, hanya atap kayu yang kokoh dan sebuah lampu gantung. Sisi ranjang di sebelahnya yang kosong sudah terasa dingin. Itu berarti Ella sudah cukup lama meninggalkannya. Di luar masih gelap, dingin, dan sepertinya gerimis. Menikmati suasana yang menenangkan seperti ini memang pas dengan ditemani secangkir minuman hangat. Mungkin selain itu, juga mengulang kegiatan panas dan penuh gairah yang beberapa saat lalu ia lakukan bersama Ella. Memikirkannya saja membuat Ben ingin tertawa keras sekali. Ia masih tidak menyangka akan berakhir kembali bercinta dengan Ella. Itu adalah satu dari sekian banyak hal yang diinginkannya, tapi berada di bagian bawah daftarnya. Namun, jika bercinta bisa membuat Ella tergila-gila padanya, itu juga
“Hari ini sepertinya akan turun salju,” celetuk Vernon.Ben menoleh ke luar kedai dan keningnya mengerut. “Ini masih musim gugur, lagipula di luar matahari bersinar terang.”“Aku hanya menyindirmu, Bodoh! Karena kau sudah lama tidak datang.”Vernon menggelengkan kepalanya, kehabisan kata-kata melihat tingkah Ben. Pria itu sudah beberapa hari tidak datang ke kedai. Ia sudah tidak serajin dulu mengunjungi Vernon. Konon, Ben sedang menikmati masa-masa penuh bahagia dengan kekasih barunya.“Kau sudah mendapatkannya. Lalu apa rencanamu selanjutnya?” Vernon menuang vodka ke gelas Ben. “Aku dengar desas-desus dari pelanggan, kalau pernikahan dua keluarga itu akan diadakan bulan depan. Benarkah itu?”Ben mengangguk.“Kurasa, Ella hanya butuh adrenalin dan bersenang-senang sebelum terkurung di rumah Loshen. Kau jangan senang dulu, Ben. Bisa saja yang kukatakan benar, ‘kan?”