Ceklek
"Baru pulang, Han?"
Hana yang baru saja menutup pintu dikejutkan dengan suara Aminah, ibu mertuanya. Hana tidak tahu jika Aminah datang dan Arya juga tidak memberitahunya jika Aminah akan datang. Sebagai menantu yang baik Hana mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan Aminah.
"Iya, ma. Tadi nunggu teman yang gantiin shift sedikit terlambat," jawab Hana. "Mama kapan datang?"
"Sedikit gimana sih, Han. Sudah jam satu pagi ini loh," timpal Aminah dengan nada yang tidak begitu senang.
"Enggak apa-apa, ma. Sudah biasa juga soalnya jadi dokter memang harus seperti ini. Pasiennya juga suka datang tiba-tiba."
"Ya, jangan jadi kebiasaan. Kamu enggak kasian sama Arya tidur sendirian terus." Aminah melenggang pergi kembali ke dalam kamarnya. "Pantas sampai sekarang belum punya anak."
Hana jelas tidak tuli, suara Aminah membuat denyut jantungnya seakan terhenti. Matanya panas dan berkaca-kaca siap menurunkan air. Tetapi menagis bukan pilihan yang tepat sekarang, Hana dengan kasar mengusap dadanya dengan terus bergumam menguatkan hatinya sendiri.
Hana pun segera pergi ke kamarnya sendiri dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Begitu sampai di kamar Hana meletakkan jas kerjanya dan bergerak ke atas ranjang. Menghampiri sosok yang sudah terlelap di bawah selimut lalu memeluknya.
"Mas, mama kapan datang? Mas kok tidak bilang sama Hana?" tanya Hana lirih.
"Mas kan sudah bilang mau jemput tadi pagi tapi kamu enggak bisa. Ya sudah mas jemput mama sendiri tadi sore," jawab Arya dengan suaranya yang serak.
"Maaf ya, mas. Hana beneran enggak tahu kalau mama datang," sesal Hana dengan memeluk tubuh Arya dari belakang.
"Memangnya kalau mas bilang kamu bakal ninggalin giliran kamu jaga?" ketus Arya. Hana sedikit tersentak mendengar ucapan Arya yang dingin dan menyudutkannya.
"Sudahlah, Han? Ganggu aja," lirih Arya yang membuat Hana lebih tersentak. Pria itu menggulung selimut semakin menutup tubuhnya.
Air mata yang sudah dia bendung turun tanpa ampun. Kehadirannya ternyata begitu mengganggu bagi suaminya sendiri. Baru kali ini Hana merasakan perbedaan pada suaminya. Terlebih saat dirinya pulang larut malam karena giliran jaga.
Kalau dulu Arya selalu menunggu dirinya pulang dan menghabiskan waktu setidaknya untuk mencoba mendapatkan hasil dari hubungan mereka. Sekarang jelas sekali berbeda, seperti sekarang saat dirinya pulang Arya sudah tertidur.
Dengan rasa sakit Hana hanya bisa mengusap air matanya. Berulang kali diusap liquid bening itu terus menetes mengiringi perjalanannya ke alam mimpi.
Esok paginya, Hana terbangun tepat pukul lima pagi. Dia segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Hana melirik Arya yang masih terlelap dan tidak membangunkannya. Hana ingat jelas, semalam kata-kata Arya begitu menusuknya dan Hana pun takut saat akan membangunkan suaminya itu justru kemarahan yang dia dapat.
Sampai selesai sholat, Hana baru memberanikan diri membangunkan Arya. Hana mendekat dan duduk di tepi ranjang dekat suaminya tidur. Mengusap pelan rambut Arya dan memandang wajahnya.
"Mas, mas Arya," panggil Hana. "Bangun mas sudah pagi."
"Nanti, Han. Masih ngantuk aku!"
"Tapi ini sudah pagi, mas. Nanti sudah tidak ada waktu sholat subuh loh mas."
"Kamu tuh cerewet banget, ya!" bentak Arya dengan posisi bangun yang membuat Asmara sangat terkejut. "Awas minggir!"
Hana menarik bokongnya memberikan akses pada Arya untuk turun dari atas ranjang. Bukan tidak sakit, Hana sangat sakit hati mendengar kata-kata Arya. Lima tahun rumah tangganya dan baru kali ini dia mendengar Arya meninggikan suaranya.
Dengan gemetar Hana mengurut dadanya sambil melihat Arya yang masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintu. Tetapi sebagai seorang istri, Hana tidak ingin semakin salah. Dengan menahan rasa sakit hatinya dia bergerak mengambil baju ganti dan menyiapkannya untuk Arya.
Setelah menyiapkan baju, Hana pergi ke luar kamar. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk Arya. Tetapi sampai di dapur Hana melihat Aminah sedang berkutat dengan penggorengan.
"Jadi perempuan jam segini kok baru bangun!" sinis Aminah begitu Hana tiba di sana.
"Maaf, ma. Hana kesiangan terus tadi langsung sholat."
"Alasan aja kamu, Han. Pantas kalau Tuhan enggak percaya sama kamu buat kasih keturunan. Takutnya nanti malah enggak keurus."
"Ya, Allah, ma. Kok mama bisa mikir begitu?"
"Jelas kan? Kamu tiap hari pulang malam bangun kesiangan nelantarin suami sendiri!"
"Hana kan jatah jaga, ma. Biasanya kalau enggak jaga juga pulangnya enggak terlalu malam," bela Hana.
Bukannya terima dengan pembelaan menantunya, Aminah justru terlihat sinis. Menuangkan makanan yang dia buat ke dalam wadah dan melewati Hana begitu saja. Hana yang diperlakukan seperti itu merasa sangat terluka. Kedua matanya seakan tak kuasa menahan bendungan air mata yang mendesak keluar.
"Arya, kamu sudah siap?" tanya Aminah yang melihat anak-anaknya keluar dari dalam kamar. Hana yang mendengar Aminah menyebut suaminya pun menoleh dan mendapati Arya yang menggulung lengan kemejanya mendekati ke arah meja makan.
Iya, ma. Ada kelas pagi dan pertemuan para dosen jadi Arya harus berangkat pagi, jawab Arya dengan singkat lalu duduk.
"Mas, mau aku bikinin kopi atau teh?" tanya Hana.
"Enggak perlu nanti saya beli saja. Kamu ngapain jam segini masih di rumah? Bukannya kamu sibuk banget, ya?"
Jleb
Ucapan Arya begitu sangat menusuk ke dalam hati Hana. Berkali-kali dia mendapatkan perlakuan seperti ini dari Arya. Hana heran kenapa suaminya bisa berubah seperti ini dan menyalahkan dirinya sendiri.
"Mas, kamu kok ngomong gitu? Bukannya kita sudah melarang, ya sebelum menikah?"
"Kamu tidak keberatan jika aku memang bekerja apalagi ini cita cita Hana, mas."
"Iya, itu dulu, Han. Kamu sudah jadi dokter dua tahun ini, apa kamu enggak bisa berhenti dari kerjaan kamu dan mikirin tentang rumah tangga kita?"
"Mas, kamu kok berubah begini? Apa salahnya sih aku kerja?"
"Hana! Hana! Jadi istri kok melawan terus sama suami," timpal Aminah yang ikut menyaut.
Hana seketika diam begitu juga dengan Arya. Dengan tidak peduli Arya justru mengonsumsi makanannya dan tidak peduli pada perasaan Hana yang sedikit mengharapkan perhatian darinya untuk menghadapi Aminah.
"Arya itu mampu menghidupi kamu, Han. Apa salahnya sih menurut sama Arya dan berdiam diri di rumah. Siapa tahu dengan begitu Tuhan bisa kasih kepercayaan kalian. Mama pingin banget gendong cucu," imbuhnya.
“Hana juga mau, ma. Tapi pekerjaan yang Hana ambil ini bukan karena Hana tidak percaya pada kemampuan mas Arya tapi sudah sejak awal memang keputusan Hana ya bekerja dan menjadi seorang istri,” jelas Hana dengan lembut.
"Sudahlah, ma. Tidak perlu dibahasa lagi," sela Arya membuat Aminah menghela napas pasrah. "Arya berangkat dulu."
"Mas, enggak bawa bekal?" tanya Hana.
Bukannya menjawab pertanyaan istrinya Arya malah melenggang pergi begitu saja. Hana kembali kecewa atas sikap Arya padanya. Apalagi melihat Aminah dengan ketus membocorkannya membuat Hana hanya bisa menahan rasa sakitnya sendiri.
Lagi, entah keberapa kalinya hidup Arya harus dibelenggu. Pupusnya biduk rumah tangganya dengan Hana telah menjadi satu kegagalannya. Dan sekarang masalah lain di rumah tangganya dengan Susan kembali dalam masalah.Arya tidak ingin perceraian kembali melanda rumah tangganya. Tetapi kata-kata Susan begitu keterlaluan di telinga. bagaimana bisa dirinya yang rela mengakhiri rumah tangganya sebelumnya sekarang harus menerima kenyataan sebagai alat baginya."Ayo," ajak Aminah pergi meninggalkan Susan, "biarkan wanita jalang ini di sini sendiri.""Ya, pergi sana! Aku tidak peduli!"Aminah semakin murka dan menarik tangan anaknya dengan lebih keras. Hingga Arya dengan tatapan kecewanya meninggalkan ruangan Susan. Kesadarannya sementara berada di awang-awang karena belum siap menerima kenyataan."Wanita sialan, berani sekali memperdayai putraku," gerutu Aminah sambil berjalan pergi.Arya menghentikan langkahnya yang membuat Aminah bingung dengannya. Melihat gelagat Arya, Aminah pun hendak men
Pertengkaran tidak terelakkan lagi. Arya bingung harus memilih siapa untuk dibelanya. Di satu sisi ia adalah seorang putra dan di sisi lain dia menjadi seorang suami."Berhenti!" bentak Arya."Kalian bisa diam tidak. Susan kamu masih dalam masa pemulihan jangan seperti ini. Dan Mama jangan seperti ini pada Susan, nanti pasti akan ada waktunya kita kembali normal lagi.""Dengan gaya hidupnya yang mewah apa yang bisa kita pertahankan, Arya?" tanya Aminah setengah menyinggung."Oh, jadi gitu?" tantang Susan, "Mama pikir aku mau menikah cuma buat hidup susah gitu?"Sebagai seorang mama mertua yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik, harga diri Aminah sedang dipertaruhkan sekarang. Ia sadar dengan ucapan Susan yang bermaksud pada pernikahannya semata-mata karena harta.Jika Aminah memasang mode waspada, Susan justru terlihat begitu menantang. Entah apa yang diinginkannya sekarang. Mengapa dia begitu terus terang menunjukkan dirinya yang seperti itu. Bukannya itu justru akan membuat
Di kantin rumah sakit, di saat jam makan siang memang selalu ramai. Tidak hanya para dokter dan staf tetapi pasien juga. Tetapi pusat perhatian kali ini adalah Hana.Dokter wanita yang tengah mengandung itu terlihat sedang asik menyantap makanannya. Tidak sendiri Hana bersama dengan dokter Mawar yang juga ikut serta. Keduanya tampak sangat asik bercerita pasal kehamilan."Han," panggil Aji yang tiba-tiba muncul entah dari mana."Heh!" bentak dokter Mawar, "kalau manggil jangan sembarangan, ya!""Ikut campur aja sih, terserahlah aku mau manggil apa," bantah Aji."Yang mesra gitu panggil istrinya. Sayang, my love, honey, sweety gitu. Ini main panggil Han Han aja," tutur dokter Mawar."Kalau itu juga tahu, dokter. Enggak usah protes melulu deh," bantah Aji lagi.Akhirnya Mawar sendiri yang menyerah. Sedangkan Aji sudah duduk lebih dulu di hadapan istrinya yang menertawakan pertengkaran suami dan sahabatnya. "Makannya belepotan banget sih." Aji mengulurkan tangannya mengusap bibir Hana d
Di rumah sakit itu siapa yang tidak mengenal Hana? Hampir semua kenal dengannya termasuk pasiennya yang selalu menjadi prioritasnya. Sebab itulah di dalam toilet sekarang ini ada yang tengah membicarakannya.Suaranya sedikit terdengar sampai Aminah yang lewat pun mendengar. Menghentikan langkahnya begitu nama Hana disebut. Memperhatikan dengan baik bagaimana seseorang membicarakan mantan menantunya itu di dalam sana."Iya, dokter Hana itu sekarang sedang hamil. Sudah dua bulan dan dia masih bekerja dengan baik.""Benar, aku jadi iri dengannya. Selain mual parfum sepertinya dokter Hana tidak terganggu dengan yang lain.""Lucu sekali kalau mengigit itu, suaminya sampai minta diganti partner karena tidak mau didekati karena bau parfum perempuan."Terdengar kekehan setelah itu. Sekaligus menjadi saat untuk Aminah pergi dari sana. Sambil berjalan menyusuri lorong, orang tua itu terus berpikir. Tentunya tentang apa yang didengarnya tadi."Bagaimana Hana bisa hamil?" tanya Aminah pada diriny
Begitu notifikasi masuk ke ponsel Hana dan dia membacanya. Wanita yang baru mengandung itu sontak melebarkan kedua matanya. Melihat nominal yang dikirimkan Aji membuatnya syok."Ji, kenapa dikirim ke aku semua?" tanya Hana bingung."Kok tanyanya begitu?" Aji merengkuh tubuh istrinya dan melihat ponsel Hana yang diarahkan padanya."Ya, kamu kenapa dikirim semuanya ke aku?" ulang Hana penuh penekanan."Di sini yang jadi istri aku 'kan kamu, sayang. Kalau enggak ke kamu terus ke siapa?""Tapi, Ji ... kenapa harus semuanya? Emangnya kamu enggak pegang?" tanya Hana masih protes.Sekarang Aji yang bingung. Kenapa istrinya malah bertanya perihal nominal yang diberikan padanya. Dan masalahnya apa sampai membuatnya terus bertanya.Aji memegang kedua pundak Hana dan membuat mereka berhadapan. Dia menatap istrinya dalam dan teduh tentunya. Membuat Hana merasakan cinta yang Aji berikan seutuhnya padanya."Han, aku itu suami kamu. Jadi mulai sekarang yang akan memegang keuanganku ya kamu. Kamu eng
"lagi?" Arya seolah tidak percaya mendengar perkataan Aminah.Aminah sendiri sampai tidak bisa menahan keterkejutannya. Wajah Arya pun membuat Aminah seperti kebingungan."Iya, memangnya kenapa kamu sampai terkejut seperti itu?""Ma, bukannya kemarin sudah Arya berikan, ya?" tanya Arya."Yang kemarin sudah habis, Nak. Kamu tahu sendiri 'kan istrimu bahkan tidak mau makan makanan yang murah," jelas Aminah.Benar, Arya tahu satu hal itu. Dia juga tidak menyangka jika setelah menikah Susan telah banyak berubah. Gaya hidupnya yang terlihat sekarang begitu wah.Mulai dari makanan saja harus sekelas makanan di hotel. Gaya berpakaiannya juga tidak main-main, sebelum kandungannya sebesar sekarang ini dia sering menghamburkan uang untuk pergi belanja keperluan yang tidak perlu.Kalau Arya tidak melarangnya pasti Susan masih melakukannya sampai sekarang. Berhubung sekarang Arya memiliki tabungan yang sedikit menipis, ia melarang Susan untuk berfoya-foya."Kalau kamu tidak bisa mengirimkan uang,