Semilir angin bertiup mesra, membelai dedaunan yang bergerak mengikuti arahnya. Sepucuk daun kering jatuh ke tanah tanpa bisa dicegah. Begitu pun waktu, ia berputar tanpa menghiraukan apa yang telah terlewati.Di sini, di tempat aku berdiri. Di dalam ruang tanpa dimensi yang tak mampu dijamah netra, aku menjadi saksi semua ihwal yang sedang berlaku. Bobby, Arini, Niko, dan Pak Rahman yang sedang mempersiapkan rencana untuk memberi pelajaran pada wanita licik dan kejam itu.Detik demi detik kurasa begitu lambat menanti kemunculan si nenek semlohai. Aku rasa mertua genit itu pasti masih mondar-mandir untuk berpikir ribuan kali, makanya ia terlambat datang.Netraku mulai lelah menatap gerbang tinggi yang menjadi batas dari dunia tanpa beban ini dengan dunia luar yang penuh hiruk pikuk. Dua puluh menit yang Niko katakan telah berlalu. Kegelisahan mulai tampak di wajah-wajah mereka, terutama Arini."Sebentar, aku telpon Ibu lagi." Niko berinisiatif menghubungi Bu Hera. Ada nada sambung, na
Lantunan doa Arini di kala tengah malam masih bisa aku dengar. Meskipun dengan suara lirih ia meminta pada Sang Pemberi Kehidupan, namun aku yakin doa itu mampu menembus langit.Bulir bening itu masih saja menuruni lengkungan pipi dan jatuh menimpa mukena putih yang ia kenakan. Kesedihan dan harapan berkumpul dalam netra itu.Arini, wanita yang selalu membawa namaku dalam setiap sujud dan untaian doa. Dia wanita yang selama ini menerimaku dengan segala kekurangan, kini ia tengah dirundung kesedihan karena ulah ibunya.Arini ... seandainya aku bisa masuk kembali ke raga yang terbaring itu, mungkin saat ini jemariku tak akan membiarkan air mata itu tumpah. Di sini, di tepi sajadah yang ia gunakan untuk bermunajat, aku turut terduduk mengaminkan setiap bait doa yang ia panjatkan. Dari lubuk hati yang terdalam, aku pun memohon kehidupan kembali pada Sang Khalik.Arini, ia wanita yang tangguh. Saat pagi hingga sore ia menunaikan kewajibannya sebagai seorang karyawan bank, ketika pulang ke
POV HeraHari ini begitu melelahkan, pasalnya sudah tiga hari ini aku harus mengerjakan pekerjaan rumah dan merawat Mas Rahman yang sakit gila itu. Kata dokter, dia dinyatakan sudah sembuh.Tapi, entahlah! Aku sering merasa takut saja jikalau dia kambuh lagi. Tak bisa aku bayangkan saja bila ia kambuh, lalu mengamuk."Hera!" Teriakan itu kembali menggema ketika baru saja aku meletakkan tulang duduk di sofa."Huff ... apalagi maunya!" dengusku kesal, tak urung kaki ini tetap melangkah ke arah suara meski hati menggerutu."Iya, Mas. Ada apa?" Kupasang wajah seramah mungkin dengan lengkungan bibir manis."Siang ini aku mau makan nasi rawon!" "Tadi pagi udah aku masakin soto daging, itu juga belum habis.""Tapi aku mau nasi rawon!" teriak Mas Rahman sembari menggebrak meja makan di dekatnya."Iya, nanti aku buatkan. Aku harus belanja dulu bumbunya.""Nggak mau! Masakanmu nggak enak! Aku maunya kamu belikan di warung makan rawon Mak Bawon!" Duh, kenapa Mas Rahman seperti anak kecil gini,
POV HeraTerik matahari tepat di atas kepala begitu menyengat. Peluh mulai membasahi pakaian yang aku benci ini. Gamis dan hijab lebar mengurung lekuk indah tubuh yang aduhai, gerah menjalar ke seluruh badan.Kuseka bulir bening yang membasahi dahi dengan ujung hijab hitam lebar, berhenti sejenak untuk mengatur napas yang mulai tersengal. Aku harus bergegas pulang sebelum es krim yang kutenteng mencair.Rahman ternyata masih gila. Dia menyuruhku berjalan ke swalayan dan warung makan Mak Bawon, sedangkan letaknya saling berlawanan arah. Mana jauh lagi!Untuk saat ini tak ada pilihan selain mengikuti kemauan pria depresi itu. Ada sesal menyusup dalam hati, kenapa aku harus menerima perjanjian sepihak itu.Kuayunkan langkah lebih panjang agar cepat sampai, meski napas makin tersengal dan oksigen seolah sulit masuk. Tepat tiba di depan pagar, dari arah berlawanan terlihat mesin beroda empat menepi."Bukannya itu mobil Bobby?" gumamku sambil menghentikan langkah.Mobil itu memasuki halaman
Berhubung ada permintaan dari beberapa pembaca yang menginginkan POV Bobby, maka khusus part ini author menggunakan POV ayah tiri ganteng nan tajir, ya.Happy reading for you para readers terlope-lope.***POV BOBBYAku adalah pria muda yang mungkin bisa dibilang bodoh karena dengan mudah dapat diperbudak cinta wanita yang usianya jauh di atasku. Demi dia, aku rela meninggalkan seluruh fasilitas yang diberikan orang tuaku. Demi dia pula, aku telah menjadi anak pembangkang dan durhaka.Kuabaikan segala ucapan dan nasihat Papa dan Mama karena menurutkan jerat nafsu yang ditaburkan oleh perempuan bertubuh molek dengan sejuta kenikmatan yang begitu menggoda. Ya, wanita itu adalah Hera.Saat itu usiaku masih dua puluh satu tahun, masih menikmati bangku kuliah dan tak pernah berpikir nikah muda. Sebagai anak tunggal, aku memikul tanggung jawab untuk meneruskan usaha bisnis papa.Namun, kehadiran wanita itu di rumahku justru membuat segalanya hancur. Aku tak mampu fokus dengan apa yang telah
POV BobbyKala itu musim penghujan. Awan hitam bergelayut di langit, hampir tak membiarkan mentari memberikan sinarnya pada bumi.Begitupun hatiku, tertutup oleh luka akibat penghianatan bertubi-tubi. Rasa sakit itu tak pernah membiarkan aku melupakan setiap sayatan yang Hera toreh. Dendam itu telah mengakar.Sore itu, saat matahari mendapat kesempatan sinarnya menerobos senja kelabu, langkahku menuju sebuah panti asuhan terlaksana. Tekad memanfaatkan bocah lelaki itu sudah masuk dalam rencana jangka panjang.Kedatanganku disambut ramah oleh ibu panti. Ia memberikan kesempatan padaku untuk bicara banyak dengan Niko. Ya, anak lelaki yang menginjak usia remaja itu bernama Niko."Niko, aku adalah suami ibumu." Kata-kata itu yang pertama meluncur dari mulutku untuk memperkenalkan diri pada Niko.Netra itu membulat tak mengerti. Menurutnya, suami ibu adalah lelaki yang dipanggil Mas Jack, bukan aku. Pengakuannya tentang Hera cukup membuatku tercengang.Ternyata korban Hera bukan aku saja,
POV BobbyKejadian yang menimpa Danu membuat rencanaku harus terhenti sementara waktu. Aku juga tak tega melihat Arini yang tengah bersedih karena melihat suaminya harus terbaring lemah dengan alat bantu menempel pada tubuhnya.Kasihan wanita muda itu. Sejak kecil sudah kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua, dan kini harus menerima kenyataan pahit bahwa ibu yang sangat ia harapkan kepulangannya justru membawa bencana dalam rumah tangga yang baru saja ia bangun.Arini sangat berbeda dengan Hera, baik dari penampilan maupun karakter. Di mataku ia wanita tangguh dan juga cerdas. Cara memajemen emosi begitu apik. Pembawaannya kalem dan tenang, tidak suka mengedepankan emosi.Yang aku suka dari Arini adalah cara ia menghadapi masalah. Aku belajar banyak hal darinya, termasuk bagaimana cara menghadapi Hera yang arogan. Banyak hal yang aku kagumi dari sosok muda nan lincah itu.Ah, diam-diam kehadiran Arini mengusik pikiranku. Seandainya takdir mempertemukanku dengannya sebelum Hera h
POV DanuMalam telah larut kala lantunan doa untukku mulai terdengar menyentuh langit. Sosok wanita dengan balutan mukena putih sedang bersimpuh. Dengan diiringi rinai bening yang bergulir di pipi, ia terus meminta Sang Pemilik Kehidupan untuk mengembalikanku.Hari ini, tepat dua puluh satu hari aku terpisah dari raga. Keputusasaan dan kekhawatiran tergambar jelas di wajah bidadari surgaku. Malam ini tangisnya lebih mendalam dari sebelum-sebelumnya.Mungkin karena pernyataan ayah tadi sore. Ayah yang tidak tega melihatku terkapar tak berdaya meminta persetujuan ibu dan Arini untuk mencabut semua alat bantu yang menempel di tubuhku.Entah kenapa ayah justru membuatku makin down. Tidak hanya aku, namun juga istriku yang saat ini sedang mengandung benih dariku. Ya, ada Danu junior dalam rahim Arini.Aku belum siap untuk mati. Aku tak akan rela meninggalkan Arini dan anakku, aku juga tak rela jika nantinya Arini menikah lagi dan melupakan aku.Bagaimana pun caranya, aku harus kembali dan