Selama membaca:)
***
Dengan malas, kutarik selimut yang membungkus tubuhku dan Mas Ardi, laki-laki yang telah menikahiku selama hampir 2 tahun ini.
Setelah pergulatan semalam, aku merasakan pegal-pegal disekujur tubuh. Sejujurnya tidak ikhlas bila harus melepaskan tangan kekar yang melingkar di pinggangku saat ini.
Selain udara pagi ini cukup dingin, aku juga merindukan sosok suamiku yang sudah hampir 2 bulan ini tidak pulang. Dia terpaksa harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan dan meninggalkanku seorang diri di rumah.
Awalnya dia memang mengajakku untuk pergi, hanya saja aku langsung menolak, karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
"Sayang, mau ke mana?" tanya Mas Ardi dengan suara serak khas bangun tidur. Aku menoleh dan membelai wajahnya yang terlihat begitu tampan.
"Aku harus bersih-bersih dan masak untuk kamu, Mas."
Mas Ardi membuka mata dengan sempurna, ujung bibirnya sedikit tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Dia segera merangkul pinggangku dan kembali terpejam.
Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum melihat perlakuan Mas Ardi terhadapku. Dia masih sama saja seperti pertama menikah, sikapnya selalu manja apalagi ketika bangun tidur dan aku begitu beruntung memilikinya.
"Aku kangen, diam dulu!" ucapnya saat secara tidak sengaja aku menggerakkan tubuh.
Hampir selama setengah jam aku berdiam diri diposisi yang sama, tangan kananku tidak lepas mengelus rambut hitam miliknya yang sudah sedikit panjang.
Setelah memastikan Mas Ardi tertidur kembali dengan nyenyak, aku segera menyingkirkan tangannya dengan sangat hati-hati sebelum akhirnya melangkah perlahan meninggalkan kamar.
Seperti biasa, pagi ini aku akan memasak makanan kesukaan Mas Ardi, karena kemarin sore tidak sempat memasaknya. Kebetulan sekali sekarang hari Minggu. Jadi, aku bisa benar-benar menghabiskan waktu bersama suamiku itu.
Masih dengan senyum mengembang, aku mulai memasak beberapa makanan kesukaannya, sambil sesekali bersenandung kecil.
Karena saking asyiknya, aku sampai tidak menyadari kedatangan Mas Ardi yang tiba-tiba saja langsung memelukku dari arah belakang, membuatku sedikit terlonjak.
"Mas! Ngagetin aja, sih!" ucapku penuh penekanan dan bukannya melepaskan pelukan, Mas Ardi malah semakin mempereratnya sambil sesekali menjahiliku.
Baru ketika aku menginjak kakinya dengan cukup keras, dia mundur beberapa langkah sambil meringis. Ada rasa bersalah dalam diriku, tetapi apa daya, sepertinya memang itu jalan satu-satunya.
"Aduh ... sakit banget ini, De," ucapnya penuh penekanan, mulutnya tidak henti-hentinya meringis dengan raut wajah kesakitan.
Karena khawatir sekaligus menyesal, aku segera berjongkok dan menatap Mas Ardi dengan intens. Matanya tertutup sempurna, bibirnya tidak henti mengeluarkan suara kesakitan.
"Mas, maaf. Tapi, ini beneran sakit, 'kan?"
Mas Ardi terdiam sejenak, beberapa detik kemudian matanya terbuka, hingga suara kekehan benar-benar membuatku sangat marah. Harusnya aku tahu ini, jika Mas Ardi sedang menjahiliku dan bodohnya kenapa aku tidak sadar.
Dengan wajah masam, aku segera berbalik dan kembali fokus pada masakan yang sempat aku tinggal. Terdengar suara kursi di tarik dari arah belakangku, sepertinya Mas Ardi sudah berpindah sekarang.
Sekilas kulirik Mas Ardi yang sedang berfokus pada ponsel yang ada dalam genggamannya. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lihat. Tapi, sepertinya itu sangat menarik, sebab aku tidak pernah melihat Mas Ardi fokus ke arah ponsel sampai tidak mengedipkan mata sekalipun.
Aku semakin menyipitkan mata saat secara tidak sengaja melihat Mas Ardi mengusap wajahnya dengan kasar. Entah hanya penglihatanku saja atau bagaimana, tetapi sekilas pipinya sedikit memerah.
"Mas, masakannya sudah selesai."
Dengan tergesa-gesa, Mas Ardi segera mematikan ponsel dan memasukannya ke dalam saku celana. Satu hal lagi yang aneh, dulu Mas Ardi selalu menyimpan ponselnya di atas meja. Lalu, kenapa sekarang tidak dan kenapa pula dia sangat panik.
Namun, aku tetap berusaha berpikir positif dan menganggap itu semua hanyalah kebetulan semata. Lagipula tidak mungkin Mas Ardi bermain-main di belakangku. Aku tahu, Mas Ardi adalah orang yang sangat setia.
Selama kami pacaran dulu, Mas Ardi tidak pernah macam-macam. Dia adalah orang yang sangat baik dan perhatian, itulah sebabnya aku begitu yakin padanya. Bahkan, dia sampai berani menentang perjodohan yang dilakukan oleh orangtuanya, hanya karena ingin menikah denganku.
Setelah semuanya tersaji dengan rapi, kami langsung menyantap hidangan tanpa banyak bicara. Sesekali aku memperhatikan Mas Ardi, dia terlihat makan dengan sangat lahap dan tentu saja itu membuatku sangat bahagia.
"Masakan Ade memang selalu enak," ucapnya sambil tersenyum. Namun, saat Mas Ardi akan melanjutkan ucapannya, aku langsung memotongnya.
"Mas! Makan dulu, baru ngomong."
Suamiku mengangguk pelan, dia segera melahap habis makanan dan menenguk air putih yang ada di hadapannya. Saat dia akan berbicara, suara panggilan telepon mengagetkannya.
Tanpa pamit terlebih dahulu, Mas Ardi langsung pergi begitu saja, meninggalku yang sedang terpaku. Dia tampak begitu terburu-buru, bahkan hampir saja menabrak pintu yang ada di depannya.
Aku tidak tahu, sebenarnya seberapa penting telepon itu. Kalaupun itu dari perusahaannya, Mas Ardi pasti langsung mengangkatnya tepat di depanku. Lalu, kenapa sekarang rasanya begitu beda.
Awalnya aku berusaha untuk tidak berpikir negatif. Tetapi, hatiku mengatakan hal yang berbeda. Aku merasa ada sesuatu dengan Mas Ardi, aku takut jika laki-laki itu malah bermain di belakangku.
Namun, saat aku hendak menyusulnya, dia tiba-tiba datang dari arah kamar kami dengan menenteng sebuah jaket hitam dan kunci mobil.
"Mas, mau ke mana?"
Tanpa menoleh sedikitpun, Mas Ardi langsung berkata, "menemui temanku. Dia baru pulang dari luar negeri dan mengajak beberapa teman semasa sekolahnya untuk berkumpul."
Aku mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan, teman apa maksudnya. Lagipula aku tahu semua temannya dan setahuku juga, tidak ada yang pergi ke luar negeri.
Seperti mengerti dengan kebingunganku, Mas Ardi langsung menoleh dari ujung pintu.
"Dia temanku, tetapi kamu berbeda sekolah. Sudah, jangan kamu pikirkan," ucapnya sebelum benar-benar pergi dari pandangan.
Beberapa detik kemudian, deru mesin terdengar. Aku segera bergegas menuju jendela dan mengintip Mas Ardi yang sedang berbincang di dalam mobil sana melalui sambungan telepon.
Raut wajahnya seketika berubah saat melihatku tengah menatapnya. Dengan senyum manis khasnya, dia segera melambaikan tangan dan langsung tancap gas.
Aku termenung sejenak, rasanya memang ada yang janggal dengan Mas Ardi. Setelah dia pergi selama hampir 2 bulan dan kembali dengan sikap yang cukup berbeda.
Saat sedang memikirkan hal tersebut, tiba-tiba ponsel yang berada dalam genggamanku bergetar. Kuamati sejenak nama yang tertulis di layar ponsel, ternyata ini dari adikku, Sandi.
"Iya, San, ada apa?"
"Aku dengar Mas Ardi pulang. Niatnya nanti siang aku akan main ke sana, Mbak," ucapnya dari sebrang sana.
"Ke sini saja. Tapi, Mas Ardi saat ini sedang tidak ada. Nanti siang sepertinya dia sudah pulang."
"Baik, Mbak."
Dengan cepat, aku segera mematikan sambungan telepon secara sepihak. Kali ini kepalaku hanya mampu memikirkan Mas Ardi saja.
Sepertinya aku harus segera membuktikan kecurigaanku ini, semoga apa yang aku pikirkan saat ini hanyalah kesalahan. Aku harap, Mas Ardi tetaplah setia padaku.
***
Penasaran 'kan sama kisah selanjutnya? Yuk! Jangan lupa buat pantengin terus ceritanya.
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa
Sudah hampir seminggu aku tinggal di rumah ayah dan selama itu juga, kejadian yang sempat menimpa Bi Wati beberapa saat yang lalu tidak pernah terjadi lagi.Mungkin orang itu tahu, jika penjagaan di rumah ayah sangat ketat, karena hampir setiap penjuru rumah diisi oleh beberapa orang pria bertubuh tegap.Aku bergidik ngeri, saat membayangkan pria bertubuh tegap tersebut langsung menghajar orang yang berani macam-macam. Dapat kupastikan, orang itu langsung babak belur seketika."Sandi," teriakku saat melihat pria berkaos putih dan celana pendek melintas tepat di depanku. Sandi menoleh dan menaikan sebelah alisnya."Ada apa?"Aku beranjak dari duduk, menyambar dompet dan ponsel yang tergeletak di meja."Antar, Mbak, belanja! Mumpung si kembar lagi tidur dan stok susu juga masih ada," ucapku, setelah sebelumnya menoleh ke arah Andrew dan Andrea
Tidak mau ambil pusing, segera kurebahkan badan di ranjang empuk, menarik selimut hingga sebatas dada.Baru saja beberapa detik terpejam, mataku kembali terbuka menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya mulai menelusuri seisi ruangan.Aku sedikit beringsut, menyandarkan tubuh pada punggung ranjang, jari tangan ikut menarik selimut dan meremasnya secara perlahan.Masih terlintas dalam benakku, potret Rudi sedang makan siang bersama Icha. Walaupun tidak bisa melihat tatapan keduanya secara jelas, tetapi aku yakin jika mereka tidak mungkin bertemu, tanpa alasan yang tidak pasti.Apa jangan-jangan selama ini Rudi bersikap baik hanya karena menginginkan suatu hal? Emm mungkin saja, lagipula siapa yang tahu dengan isi hati seseorang.Tanpa sadar rahangku mengeras, tangan terkepal kuat, jika itu memangnya kebenarannya.Kurang ajar!
"Tidak mungkin, Rehan melakukan hal tersebut. Lagipula, untuk apa?" tanyaku dengan raut wajah keheranan.Sandi dan ayah terdiam sesaat, hingga beberapa detik kemudian Sandi mengangguk mantap. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan terkepal kuat serta menatap sembarang arah."Mbak, benar. Untuk apa dia melakukan hal tersebut, sementara itu kita tidak memiliki urusan lain dengannya atau jangan--" Sandi menggantungkan ucapan, dia menengok ke arahku sambil melotot. "Dia dendam, karena, Mbak sudah menolak cintanya."Seketika aku pun ikut terbelalak saat mendengar ucapannya. Tanpa rasa kasihan, segera kutoyor kepalanya dengan cukup keras sampai dia mengaduh kesakitan."Apa maksudmu, hah? Sembarangan sekali." Aku memang cukup kesal dengan ucapannya."Sudah! Apa-apaan kalian ini, sudah besar masih saja bertengkar!" Ayah bangkir sambil berkacak pinggang. Dia mencoba melerai kami. "Sand