Sudah hampir sore. Tapi, belum ada tanda-tanda kalo Mas Ardi akan segera pulang ke rumah. Sebisa mungkin aku berusaha mengalihkan perhatian dengan cara menonton televisi atau bahkan membaca buku. Namun, itu sama sekali tidak membantu.
Sebenarnya ke mana Mas Ardi pergi. Apa aku terlalu memikirkannya sampai merasa takut seperti ini. Sambil sesekali menarik napas berat, aku terus mondar-mandir di ruang makan. Hingga, tatapanku jatuh pada piring bekas makan Mas Ardi yang belum sempat aku bereskan.
"Mbak!" panggilnya dengan suara nyaring.
"Ada apa, Sandi dan kapan kamu datang?" jawabku dari arah dapur.
Perlahan, suara langkah terdengar semakin mendekat. Sandi menghampiriku dengan membawa sebuah plastik berwarna hitam.
"Ini ada bakso, buat Mbak Rena. Barusan, apa Mbak tidak mendengarnya?" Sandi segera menyimpan plastik tersebut di atas meja. Seketika aroma bakso langsung memenuhi indra penciuman.
Aku menggeleng pelan, lalu duduk di kursi meja makan. "Tidak dan terima kasih, San. Tapi, lain kali kamu usah repot-repot juga."
Sandi mengangguk, wajahnya terlihat memerah seperti menahan amarah. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Tapi, seingatku Sandi jarang sekali seperti itu, kecuali saat dia benar-benar marah.
Dengan cepat, dia segera mengambil segelas air putih dan meneguknya sampai habis. Lalu, entah apa yang dia pikirkan, hingga gelas yang ada dalam genggamannya jatuh begitu saja hingga pecah berserakan.
"Sandi! Apa yang kau lakukan, minggir!" Aku segera mendorong tubuh adikku itu hingga dia mundur beberapa langkah. Dengan cepat, aku segera membereskan pecahan gelas tersebut. Hingga tiba-tiba jari telunjukku tergores dengan cukup dalam.
Seketika tubuhku langsung menegang saat darah segar menetes membasahi lantai dan kenapa tiba-tiba kepalaku langsung memikirkan Mas Ardi.
"Mbak! Ke-kenapa terluka?"
Kuperhatikan lagi Sandi yang ada di belakangku, wajahnya terlihat panik. Tanpa aba-aba, dia segera berlari dan membawa sebuah kotak obat.
Dia menarik tanganku yang terluka dan mengobatinya dengan telaten. "Lain kali, Mbak harus berhati-hati lagi. Sudah, Mbak istirahat saja. Biar aku yang bereskan," tambahnya lagi, sebelum akhirnya membersikan pecahan kaca dan darah yang ada di sampingku.
Namun, aku masih tidak beranjak dari tempatku saat ini. Sampai suara mobil yang cukup familiar terdengar.
"Rena ... Rena!" panggil Mas Ardi dengan cukup keras dan perlahan memudar. Lalu, beberapa detik kemudian dia sudah berada di ujung pintu dan menghampiriku yang sedang duduk di lantai dengan wajah datar. "Astaga! Sandi, apa yang terjadi?"
"Terkena serpihan kaca."
Dahiku langsung mengkerut saat mendengar jawaban Sandi. Kenapa dia terkesan begitu dingin pada Mas Ardi, padahal biasanya tidak seperti itu.
Mas Ardi berdecak, dia segera menghampiriku. Namun, saat tubuh kami berdekatan, aku mencium sesuatu yang membuat tubuhku menegang.
Bau parfum perempuan dan jelas-jelas itu bukan parfum milikku.
Saat dia hendak menjauh, dengan sengaja kutarik bajunya hingga kami kembali berdekatan. Dengan dalih ingin dipeluknya, hidungku mulai menelusuri wangi parfum tersebut dan benar saja, ini adalah wangi yang berbeda.
Aku mulai terpejam, sambil menggigit bibir bawah kuat-kuat. Pikiran liar langsung terlintas begitu saja. Sebenarnya apa yang telah Mas Ardi lakukan, kenapa rasanya sungguh menyesakkan.
"Ayo ke kamar, kamu harus istirahat."
Aku hanya mengangguk pelan, tanpa menjawab ucapannya. Sebisa mungkin aku berusaha menghilangkan pikiran buruk, walaupun pada nyatanya hatiku tidak bisa berbohong. Aku masih curiga pada Mas Ardi, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku.
Sesampainya di kamar, Mas Ardi segera melepas jaket dan menyimpannya di keranjang cucian. Hingga detik berikutnya, dia mulai menghampiriku dan mengecup puncak kepala dengan lembut.
Lagi-lagi saat kami berdekatan, wangi itu kembali tercium dan itu berasal dari kaos dalamnya, membuatku merasa sangat jijik.
Dulu, aku memang suka saat berdekatan dengannya. Tapi, entah kenapa sekarang rasanya begitu berbeda. Bukannya senang, aku malah merasakan sakit yang begitu menyesakan dada.
"Sayang, aku tidak ingin kau bekerja terlalu lelah. Jadi, aku sengaja menyewa seorang asisten rumah tangga, apa kamu tidak keberatan?"
Segera aku mendorong tubuhnya dan berkata, "tidak usah, Mas. Lagipula aku bisa mengurusnya sendiri."
"Sudahlah! Kau tidak usah menolak, Rena."
Apa aku tidak salah dengar, kenapa nada bicara Mas Ardi begitu kesal sekarang dan kenapa dia begitu ingin memiliki asisten rumah tangga, padahal dulu dia menolaknya dengan keras. Alasannya hanya karena tidak mau ada orang asing di rumah ini. Lalu, sekarang kenapa dia begitu menginginkannya.
Masih dengan raut wajah kesalnya, dia pergi meninggalkanku sendirian. Sepertinya aku harus membuktikan sesuatu.
Setelah memastikan Mas Ardi benar-benar menjauh, aku segera mengambil parfum kami dan menyemprotkannya pada jaket yang baru saja dia pakai.
Aku mulai mengendusnya secara bergantian dan benar saja, wanginya jelas-jelas sangat berbeda. Lalu, parfum siapa yang Mas Ardi pakai? Apa dia benar-benar telah bermain di belakangku.
Seketika aku langsung terdiam, tubuhku langsung lemas ketika membayangkannya, air mata jatuh begitu saja membasahi pipi.
Tidak! Aku tidak boleh lemah, aku harus membuktikan kecurigaanku ini. Jika hal itu benar, aku benar-benar tidak akan memaafkannya seumur hidupku.
Segera kukembalikan jaket itu dan parfum pada tempatnya. Kali ini pandanganku jatuh pada ponsel Mas Ardi yang sepertinya lupa dia bawa.
Tapi, saat aku hendak mengambilnya, pintu terbuka menampilkan Mas Ardi yang tengah menatapku dan untungnya ada sebuah novel yang tergelak di samping ponsel, sehingga aku bisa berpura-pura mengambilnya.
"Ada apa, Mas?" tanyaku sambil tersenyum, padahal sebenarnya aku mulai merasa jijik jika membayangkan laki-laki itu benar berselingkuh dibelakangku.
"Tidak!" jawabnya singkat, kemudian menyambar ponsel dengan cepat, sebelum akhirnya pergi kembali.
Aku yakin, sepertinya Mas Ardi pasti menyembunyikan sesuatu di dalam ponselnya. Buktinya dia begitu terobsesi, hingga tidak bisa lepas begitu saja.
Aku kembali terdiam cukup lama, hingga tiba-tiba perutku berbunyi dengan nyaring, sepertinya sudah saatnya untuk diisi kembali. Namun, saat aku melewati kamar tamu, secara tidak sengaja menangkap suara seseorang yang sedang berbicara.
Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Mas Ardi sedang berbicara dengan seseorang melalui Vidio call. Tapi, aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa, karena memakai earphone.
Mas Ardi tersenyum lebar, hingga sebuah kecupan diakhir telepon membuat hatiku memanas. Aku tidak habis pikir dengan apa yang dia lakukan.
Lagipula tidak mungkin Mas Ardi berbicara dengan rekan kerjanya sampai seperti itu. Tapi, bisa jadi itu memang rekan kerjanya. Namun, bukan rekan di kantor, melainkan di ranjang.
"Sayang, sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanyanya dengan raut wajah panik. Tentu saja panik, dia pasti takut aku mengetahui perbuatanya barusan. Tapi, sayangnya aku sudah tahu.
"Baru saja keluar. Mas, aku ijin beli ketoprak dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku segera masuk kamar dan mengambil kunci mobil miliknya. "Aku pergi dulu, Mas."
"Sah?!""Sah ...."Suara para saksi serta orang-orang yang hadir di pernikahanku turut menggema. Bersamaan dengan itu, setetes demi tetes air mana turun membasahi pipi, tak kusangka setelah perjalanan panjang yang aku lalui, akhirnya Rehan menjadi pemberhentian terakhirku kali ini.Aku berharap, Rehan memang orang terakhir di hidupku, menjagaku sampai maut yang memisahkan. Sekali lagi aku berharap, jika apa yang terjadi terakhir kali padaku, takkan pernah terjadi lagi. Cukup kali itu saja, aku merasakan sebuah pengkhianatan yang amat sangat melukai hati, batin serta mentalku."Sayang, ada apa?"Sebuah bisikan lembut di ujung telinga, mampu menyadarkan aku dari lamunan panjang. Sontak, aku menoleh, menatap kedua sorot mata Rehan yang tampak begitu indah.Detik berikutnya kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membuat lengkungan atas matamu ikut tertarik membentuk sebuah bulan sabit.Perlahan aku menggeleng pelan, kemudian menggenggam tangan Rehan dengan lembut."Tidak apa-apa, Sayang. A
"Hai, Mbak. Apa kabar?" Sontak, aku langsung menurunkan gelas yang sedang aku pegang, kemudian menoleh ke sumber suara.Tepat di hadapanku, seorang laki-laki tengah berdiri sambil menyunggingkan senyuman.Sejauh ini, tidak ada yang berubah darinya, hanya saja bulu-bulu halus yang biasa dia cukur rapih di area rahang, sepertinya kali ini dia biarkan tumbuh, membuatnya terlihat semakin dewasa."Baik, Rehan. Apa kabarmu? Sudah lama tidak bertemu," ucapku setelah sosok laki-laki tersebut duduk di hadapanku.Setelah memikirkan ulang perkataan Sandi, akhirnya kuputuskan untuk bertemu dengan Rehan di sebuah kafe yang jaraknya memang cukup jauh dari tempat tinggalku yang sekarang."Baik, juga."Tidak ada percakapan lain diantara kami, mungkin karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing."Mbak, kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu s
"Mbak, ini gadis yang mau aku perkenalkan padamu."Seketika aku langsung menoleh, tepat di hadapanku seorang gadis berbaju putih yang dipadukan dengan rok kotak-kotak berwarna hitam tengah berdiri.Kepala menunduk, tapi sekilas aku dapat melihat wajahnya begitu cantik dan imut jika dilihat secara langsung, jari tangannya saling bertautan satu sama lain.Baru saja aku akan berkata, tiba-tiba sebuah teriakan dari arah belakang mengagetkanku."Mamah ... Kak Andlew jahat." Seorang anak berusia tiga tahun setengah berlari ke pangkuanku, tangannya mengusap sudut mata yang berair."Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil mengecup puncak kepalanya."Kak Andlew, jahat! Dia rebut boneka beluang Lea," ucapnya disela-sela isak tangis. Pengucapannya yang masih sedikit cadel, membuatku semakin gemas."Udah, jangan nangis. Malu tuh sama Tante yang ada di
Entah berapa lama, aku tidak menginjakkan kaki keluar rumah, kadang rasa bosan selalu mendera. Hanya saja, aku memang tidak bisa dengan leluasa pergi ke manapun.Sampai detik ini, ayah melarangku untuk keluar jauh dari rumah. Alasannya tetap sama, dia memang kadang mengijinkanku pergi, hanya saja ketika ada keperluan mendadak saja, itupun ayah lebih sering menyuruh orang. Ayah masih saja takut terjadi hal buruk padaku.Tidak terasa, baby Andrew dan Andrea sudah bisa merangkak. Perkembangan mereka begitu cepat, rasanya baru kemarin aku mendengar suara tangisan keduanya untuk yang pertama kalinya."Wah, pinter banget anak, Ibu," ucapku kegirangan kala melihat Andrew dan Andrea merangkak, berlomba-lomba mengambil bola kecil yang sengaja aku simpan sedikit jauh di depan keduanya."Wih, om bangga sama kalian," ucap Sandi tiba-tiba. Dia langsung meraih Andrew dan membawanya keluar kamar, tentu saja itu mem
Kubuka resleting dompet yang sengaja aku simpan di pangkuan. Benar saja, benda persegi berwarna putih yang dari tadi aku cari ada di sana, berdampingan dengan beberapa benda lainnya.Sandi berdecak, dia menatap kesal ke arahku yang sedang tersenyum kecut."Makanya jangan panik dulu, tapi cari yang bener.""Iya, siap Pak boss," ucapku sambil memperagakan gerakan hormat.Ingin rasanya kutempeleng kepalanya, saat mendengar Sandi tertawa terbahak-bahak. Walaupun yang dia katakan memang benar juga. Tapi, aku tetap saja kesal.Kutatap Sandi sinis, tangan kanan meraih ponsel dengan cepat dan segera menghubungi nomor Bi Wati."Bi, bagaimana keadaan Andrew dan Andrea?""Baik-baik saja, Bu. Barusan habis minum susu dan sekarang sedang bermain bersama bibi."Aku mengangguk pelan ketika mendengar ucapan Bi
Perlahan, aku mulai melangkah, menghampiri seseorang yang masih menunduk dalam. Baju kaos berwarna putih kumal, celana panjang hitamnya pun sama, bahkan ada beberapa tambalan di sana.Aku tidak tahu karung berisi apa yang sengaja dia sembunyikan di belakang tubuh. Walaupun Sandi sudah berusaha menahan, tapi hal itu tidak mengurungkan niatku untuk mendekat ke arahnya."Apa yang kamu lakukan di sini?" Akhirnya, mulutku mampu melontarkan kalimat sesaat setelah beberapa detik membisu.Orang itu terdiam, rambutnya terlihat begitu acak-acakan, peluh mengucur membasahi kening hingga pakaian yang dia kenakan."Maaf, mungkin salah orang. Saya permisi."Mesti sudah lama tidak bertemu, tapi aku tidak akan pernah lupa dengan wajahnya dan suaranya. Walaupun, memang banyak yang sedikit berubah."Tidak!" Kucekal lengannya dengan cukup kasar. "Kutanya, apa