Share

6. Pernikahan

Satu di antara penghargaan terhadap diri adalah dengan menghargai hidup orang lain.

(Nirina Amirul Haqqon)

***

Dewa segera mendapatkan perawat, setelah Nirina menyelesaikan administrasi. Kini Dewa sedang menjalani serangkaian prosedur

pemeriksaan X-ray.

Kedua orang tua Nirina pamit pulang untuk meminta maaf pada tetangga dan undangan yang mungkin sudah hadir hari ini ke rumah mereka. Dengan berat hati Retno dan Rahmat membatalkan pernikahan. Banyak kerabat dan tetangga yang bersimpati. Namun, ada juga tetangga yang nyinyir tak berperasaan menyudutkan dengan menjelekkan Nirina.

Saat ini Nirina berada di masjid rumah sakit. Ia menumpahkan kesedihan dengan menangis. Besok adalah hari kebebasannya akan direnggut. Cintanya sudah tergadaikan. Ia harus siap dibenci Dewa nantinya.

Nirina hanya bisa berkeluh kesah pada Sang Pencipta, meluruhkan tangis dan meluapkan apa yang mengimpit di dadanya.

Rika tahu saat ini yang begitu sakit adalah Nirina. Sakit yang dirasakan kakaknya saat ini, yang terbaring di atas brankar pesakitan bisa saja sembuh. Namun, hati Nirina dan pengorbanannya selepas ini akan lebih terasa menyakitkan. Luka di tubuh akan cepat terobati, tapi tidak dengan luka di hati.

***

Pagi ini Nirina, Rika, dan kedua orang tuanya bersiap ke rumah Cynthia, untuk menepati janji.

Di sana mereka disambut Cynthia dengan senyum meremehkan.

Sedangkan Haziq sebelumnya sudah diberitahu tentang perjanjian yang sudah ditandatangani Nirina tersebut.  Ia pun setuju.

Yang tidak tahu menahu tentang perjanjian itu hanya Bambang Priambudi, sang papa.

Hari ini Bambang baru diberitahu Cynthia, sang putra akan menikah dengan pegawai tokonya. Awalnya Bambang heran, karena ia tau Haziq sudah mempunyai kekasih bernama Clara. Namun, bukan Cynthia yang bermulut manis menceritakan kebohongan untuk menutupi perjanjian itu. Bambang pun percaya selama itu baik untuk sang putra. Bambang tidak pernah memandang rendah seseorang, tidak memilih harus dari kalangan atas atau bawah menantunya. Yang terpenting menurutnya perempuan itu dari keluarga baik-baik, jelas asal usulnya.

Nirina dibawa ke sebuah kamar yang sangat luas dan mewah untuk dirias. Cynthia juga sudah menyiapkan kebaya untuk Nirina. Kamar itu sepertinya kamar seorang lelaki. Dilihat dari pemilihan warna dan parfum yang tercium di ruangan itu.

Kedua orang tua Nirina merasa canggung duduk di samping Pak RT dan Bu RT kompleks perumahan mewah tersebut. Mereka diundang Cynthia untuk  menjadi saksi pernikahan. Beberapa tetangga kompleks perumahan pun turut diundang. Meskipun pernikahan ini tidak dipublikasi secara umum, tapi tetap saja Cynthia mengundang para tetangga untuk mencegah fitnah. Ia tidak mau nama baik keluarganya tercemar dan merusak pencitraannya. Apalagi ia tidak mau Bambang curiga.

Pukul setengah sembilan sudah siap semua. Nirina dituntun Rika dan MUA yang meriasnya duduk di samping Haziq yang sudah menunggu. Haziq sempat melirik ke arah gadis manis yang didandani natural itu. Sedikit terpesona melihat wajah gadis manis dengan lesung pipi dan gigi bergingsul itu. Namun, Haziq segera memalingkan wajah menghadap penghulu yang akan menikahkannya. Haziq bersiap menyalami Rahmat yang akan menjadi wali nikah.

Suasana berjalan khidmat. Hingga terdengar suara 'sah' dari para saksi. Air mata Nirina luruh, Seharusnya kemarin janji suci itu diucapkan Dewa. Namun kini bukan Dewa yang mengucapkan ijab qobul di hadapan sang bapak, tetapi laki-laki lain yang tidak ia cintai dan tidak mencintainya.

Penghulu menyuruh mereka menandatangani buku nikah dan menyuruh pengantin untuk saling tukar cincin, selanjutnya Nirina mencium punggung tangan Haziq. Lalu dengan terpaksa atas perintah sang mama Haziq mencium kening Nirina. Sesuai arahan Penghulu Haziq pun diminta mengusap pucuk  rambut Nirina yang disanggul rapi, sambil berdoa.

Acara selesai tidak ada pesta resepsi atau pun pesta kecil lainnya. Kedua orang tua Nirina langsung pamit pulang. Meskipun Bambang menyuruh keduanya untuk tidak buru-buru pulang.

Sesuai permintaan Cynthia barang-barang Nirina yang berisi pakaian juga sudah dibawa Nirina.

Sore hari Nirina memutuskan membantu Bik Jum memasak untuk makan malam. Ia senang, Bik Jum memperlakukannya dengan baik. Meskipun Cynthia sejak tadi dingin.

Nirina membantu menyiapkan makanan di meja makan, sesuai arahan Bik Jum.

“Tolong panggil mertuanya, Non. Semua sudah siap!” perintah Bik Jum.

"Bu, Tu-tuan ... makan malam sudah siap," ucap  Nirina.

"Tunggu, Nak Nirina tadi panggil aku apa?" tanya Bambang heran.

"Ma-maaf, Tu-tuan."

"Kamu itu menantuku, jangan panggil aku tuan. Panggil aku papa seperti Haziq memanggilku. Bukankah begitu, Sayang?" tanya Bambang meminta persetujuan sang istri.

"Iya tentu ... panggil kami Mama dan Papa seperti Haziq."

"Ya sudah, sekarang panggil suamimu untuk makan," ucap Bambang tersenyum hangat.

"Ba-baik, Pa."

Nirina segera memanggil Haziq. Sejak tadi pagi hingga saat ini Haziq belum berucap sepatah kata pun pada Nirina.

"M-mas makan malam su-sudah siap, Mama dan Papa sudah menunggu." Ucapan Nirina hanya mendapatkan lirikan pemuda tampan itu.

Haziq melangkahkan kaki keluar kamar tanpa menunggu Nirina.

Setelah makan malam mereka kembali ke kamar masing-masing. Nirina masih membantu Bik Jum untuk membereskan meja makan.

Selesai membantu Bik Jum. Nirina segera menuju kamar Haziq. Di dalam kamar ia  melihat Haziq masih setia dengan laptopnya. Tidak mau mengganggu, ia memutuskan untuk salat Isya terlebih dulu sebelum tidur.

Haziq hanya melirik apa yang dikerjakan Nirina.

Setelah salat, Nirina tidak langsung tidur. Ia duduk di pinggir ranjang menunggu Haziq yang masih setia dengan laptopnya.

"Mo-mohon maaf saya izin tidur dulu."

"Hm ...."

"Cuma berdehem,” gumam Nirina.

Nirina tidur membelakangi Haziq yang ada di sampingnya.

Haziq menaruh guling untuk pembatas mereka tidur.

Setelah pekerjaannya selesai Haziq segera mematikan laptop dan menyusul Nirina yang sudah terlelap. Haziq pun tidur dengan posisi membelakangi Nirina.

Suara azan subuh berkumandang membangunkan jiwa yang terlelap untuk menghadap sang Pencipta mengerjakan kewajiban dua rakaat. Nirina bangun dari tidurnya. Dilihatnya laki-laki di sampinginya, yang masih tertidur pulas. Nirina berusaha untuk membangunkan.

"Ma-mas, bangun sudah subuh."

Haziq hanya menggeliat. "Mas, ayo salat Subuh dulu!”

"Ah, berisik! Emangnya siapa kamu pagi-pagi udah berisik?"

Nirina terkejut, ia hanya mampu menelan salivanya melihat Haziq marah-marah.

"A-aku hanya membangunkan untuk salat Subuh."

“Dengar, ya! Mama dan Papaku tidak pernah menyuruh dan mengajariku salat. Jadi kamu jangan sok. Kamu di sini masih sehari saja sudah ngajak-ngajak aku salat. Kalau kamu mau salat, aku enggak ngelarang, tapi enggak usah ngajak-ngajak aku."

Setelah mengucapkan itu Haziq menarik selimut dan melanjutkan tidurnya. Nirina segera beranjak dan mengerjakan salat sendiri.

“Ya Allah yang maha membolak balikan hati, hamba tau pernikahan ini ada karena sebuah perjanjian. Status hamba saat ini adalah istri yang sah untuk Mas Haziq. Biarkan hamba menjalani kewajiban ini sebagai seorang istri meskipun tanpa cinta dan tak dianggap. Hamba mohon berilah kekuatan untuk menjalani hidup ini, bukalah pintu hidayah untuk suami dan mertua hamba, Aamiin ...” gumam Nirina.

Saat ini Nirina berada di dapur membantu Bik Jum. Bik Jum menyuruhnya mengantar kopi dan teh hangat untuk kedua mertuanya yang saat ini  berada di gazebo depan kolam renang samping rumah. Ia juga diminta Bik Jum memberikan coklat hangat untuk Haziq.

Setelah mengantarkan minuman Nirina kembali membantu Bik Jum. Setelah semua siap, ia kembali memanggil kedua mertuanya untuk sarapan.

"Kayaknya Nirina anak yang baik, rajin, dan sopan,” ucap Bambang setelah Nirina berlalu.

“Biasa saja, Pa. Jangan terlalu dipuji nanti ngelonjak.” Cynthia terlihat tidak suka.

“Kalau Mama enggak suka, kenapa ngizinin Haziq nikah sama Nirina? Bukannya Haziq dulu pacarannya sama Clara?"

"Ya tetap aja, Pa, mama pingin dia tau batasannya kalau terlalu dipuji nanti jadi malas, mental orang miskinkan biasanya gitu. Kalau sudah dikasih enak ngelonjak."

"Mama ... Papa enggak suka Mama beda-bedain orang karena harta. Papa memang bukan laki-laki yang taat beribadah, tapi Papa enggak suka kalau Mama semena-mena dengan orang miskin, di hadapan tuhan kita itu sama. Apalagi harta yang kita miliki itu titipan dari Tuhan. Jangan suka meremehkan, menghina atau merendahkan orang miskin, kalau hidup Mama masih mau mendapatkan keberkahan," ucap Bambang kesal. Bambang meninggalkan Cynthia untuk menuju ruang makan.

"Biasa, deh. Sensinya kambuh kalau bahas orang miskin.  Aku 'kan enggak semena-mena sama mereka, aku hanya tegas. Terus aku juga nggak suka mereka malas-malasan. Mereka juga harus tau ada batasan buat si miskin dan si kaya biar mereka enggak ngelonjak," ucap Cynthia menggerutu sambil menyusul suaminya ke ruang makan.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status