Share

7. Tiket Bulan Madu

Dalam penderitaan teruji kesabaran. Dalam perjuangan teruji keikhlasan.

(Nirina – Cinta yang Tergadaikan)

***

Nirina menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Mulai dari menyiapkan keperluan Haziq. Meskipun ia tahu sang suami tidak akan menghargainya.

Saat keluar dari kamar mandi, ia melihat laptopnya dalam keadaan tertutup. Seketika ia langsung marah pada Nirina yang masih sibuk membereskan tempat tidur.

"Berani-beraninya kamu menyentuh laptopku. Kamu tau aku sudah mengerjakan pekerjaan itu sejak tadi malam, dan file itu belum aku simpan, dengan ceroboh kamu langsung menutupnya," ucapnya geram. Membuat Nirina takut, bahkan gadis itu tidak berani mengangkat kepala.

"Kamu itu udah miskin, ceroboh, bodoh. Aku enggak habis pikir kenapa Mama memilih wanita rendahan kayak kamu."

Degg!

Seketika tubuh Nirina bergetar, air matanya langsung menetes. Ia sangat ketakutan. Baru kali ini ada orang yang mengatainya demikian, dan orang itu adalah suaminya.

"Kenapa nangis? Makanya jangan ceroboh dan jangan berani sentuh barang-barangku." ucap Haziq dingin. "Kamu pikir mudah membuat laporan untuk persentase dengan klien,” ucapnya menggerutu.

Tiba-tiba pintu kamar diketok. Nirina segera membuka pintu itu.

"Mbk Nirina dan Aden disuruh Nyonya dan Yuan untuk sarapan," ucap Bik Jum.

"I-iya, Bik. Kami segera turun."

“Mama dan Papa sudah menunggu, sebaiknya Mas sarapan dulu,”

"Kalau kamu mau makan silakan, aku nggak nafsu," ucap Haziq ketus.

"Ma-maafkan aku ... aku janji enggak akan pegang barang Mas lagi."

"Mudah banget minta maaf, semuanya tidak bisa diselesaikan dengan cuma minta maaf."

"Cepat keluar, melihatmu hanya merusak moodku saja!”  usirnya.

"Di mana suamimu, Nak?" tanya Bambang saat melihat Nirina berjalan sendirian.

"Mas Haziq masih menyelesaikan tugas presentasinya. Habis ini pasti turun," ucapnya sopan.

Haziq baru bergabung setelah semuanya hampir selesai sarapan.

"Makan dulu, Sayang!" ajak Cynthia.

"Enggak usah, Ma. Minum saja, udah telat ... Semua yang aku kerjakan sejak tadi malam hancur gara-gara dia,” ucapnya dengan menunjuk ke arah Nirina yang sejak tadi menunduk.

"Maksud kamu apa, Sayang?" tanya Bambang lembut pada putra semata wayangnya.

"Papa tanya aja sama menantu papa, Aku pergi dulu."

"Ceritakan pada kami, ada apa dengan suamimu? Kenapa semarah itu?" tanya Bambang dengan lembut.

"Emangnya kamu berbuat apa hingga Haziq marah-marah di pagi hari?" tanya Cynthia dengan ketus.

"Ma, kalau tanya nggak usah dibarengi emosi, lihat Nirina jadi ketakutan."

"Ma-maafkan saya, Ma, Pa. Tadi saya tidak sengaja menutup laptop Mas Haziq saat merapikan kamar tidur,"  ucapnya takut.

"Ya jelas Haziq marah, kadang Haziq lupa tidak mengaktifkan tombol save secara otomatis. Jadi kalau ditutup langsung hilang semua."

"Ya sudah, Haziq pasti bisa nyelesaiin, Ma. Haziq 'kan anak yang pintar dalam menangani presentasi kayak gini. Ya sudah Papa mau berangkat kerja sekarang."

Cynthia segera menyalami suaminya. Nirina merapikan meja makan lalu mencuci piring bekas sarapan dan peralatan dapur yang digunakan memasak tadi. Bik Jum sedang belanja ke pasar bersama Mang Darman. Tukang kebun di rumah ini.

Nirina hampir saja mengetuk pintu kamar Cynthia. Namun, Cynthia sudah keluar dari kamar duluan, Cynthia bersiap pergi ke toko.

"Ma-maaf, Ma. Sa-saya mau minta izin untuk melihat kondisi Dewa."

"Panggil aku Bu Cynthia bila sedang di luar rumah. Kalau ada suamiku kamu panggil aku Mama," ucap Cynthia dingin.

"I-iya."

"Aku ngizinin kamu, tapi untuk terakhir kalinya, setelah hari ini aku enggak mau kamu menemui mantan calon suamimu itu."

"Ba-baiklah, ta-tapi apa saya masih boleh bekerja di toko kembali."

"Enggak boleh, nanti kamu malah cerita-cerita ke teman-teman kamu kalau kamu jadi menantuku, aku enggak mau malu."

"Sa-saya berjanji tidak akan cerita pada teman-teman, Bu."

"Saya bilang tidak usah kerja lagi ya enggak usah. Kamu cukup bantuin Bik Jum aja beres-beres rumah."

Mau tidak mau ia harus menuruti kemauan Cynthia.

Setelah Cynthia pergi ia segera bersiap-siap.

Nirina sampai di rumah sakit, ia segera menanyakan ruang rawat inap Dewa pada suster jaga. Ia berusaha menerima apa yang sudah menjadi takdirnya, tidak ada air mata, ia harus ikhlas supaya pengorbanannya tidak sia-sia. Nirina harus rela menganggap Dewa sahabat. Meskipun rasa cinta itu tetap ada. Nirina hanya berharap akan mendapatkan kebahagiaan, meskipun tidak dengan Dewa. Begitu juga dengan Dewa, semoga laki-laki itu bahagia meskipun tidak dengannya.

Nirina mengetuk pintu ruang rawat inap Dewa. Rika yang sedang menunggu membukakan pintu itu. Melihat kondisi Dewa yang belum sadar, Nirina merasa kasihan.

"Bagaimana keadaannya? apa yang dikatakan dokter? Maaf aku baru bisa jenguk Dewa hari ini," tanyanya bertubi.

"Kak Dewa masih belum safar, Kak. Kemarin operasi pemasangan pen ditangan dan kakinya. Nanti hasil X-ray akan diumumkan. Enggak apa, Kak. Aku tau kak Nirina sudah tidak bebas lagi. Terima kasih atas segala  pengorbanan Kakak, maafkan aku kami hanya jadi bebanmu," ucap Rika sambil sesenggukan.

Nirina mencoba tegar dan tidak menangis. "Sudahlah Rika, aku sudah ikhlas, yang penting saat ini adalah kesembuhan Dewa. O iya maafkan aku ini hari terakhirku menjenguk Dewa karena Bu Cynthia tidak mengizinkan aku untuk berhubungan lagi dengan Dewa. Maafkan aku."

"Iya, Kak aku paham. Maafkan kami, gara-gara kami hidup Kakak terbelenggu."

"Jangan pernah bilang seperti itu, aku yang memutuskan ini jadi kamu jangan pernah merasa bersalah."

"Rik, kalau Dewa sadar dan mencariku, cari alasan untuk berbohong dulu, katakan kejujuran itu secara pelan-pelan jangan langsung bilang semuanya secara langsung, aku tidak mau kondisi Dewa memburuk gara-gara ini. Biarkan Dewa sembuh dulu, katakan sejujurnya, tapi perlahan setelah Dewa benar-benar sembuh dan kuat menerima kenyataan ini."

"Baiklah, Kak. Aku ngerti."

"O iya, aku mau pulang dulu, udah waktunya memasak untuk makan siang, enggak enak kalau aku tidak segera pulang," pamit Nirina.

"Iya, Kak. Terima kasih. Sekali lagi maafkan kami." Nirina mengusap bahu Rika lalu memeluknya.

Pukul 11.00, Nirina baru sampai rumah, dilihatnya Bik Jum sedang sibuk memasak. Nirina segera menghampiri dan membantunya. Kebiasaan Cynthia, selalu pulang untuk makan siang di rumah, itu pun kalau tidak dalam keadaan bertemu klien atau pelanggan.

"Maaf, Bik. Aku telat."

"Tidak apa Mbak Nirina, santai saja, Bibi sudah biasa ngerjain sendiri."

Nirina tersenyum. “Mulai sekarang Bik Jum nggak akan ngerjain sendiri, aku akan bantu memasak dan membereskan rumah."

"Terima kasih, Mbak. Sebenarnya Bibi merasa tidak enak, Mbak Nirina kan menantu di rumah ini, tapi gimana lagi Nyonya Cynthia yang menyuruh," ucapnya.

"Enggak apa, Bik. Sebagai menantu yang baik sudah seharusnya enggak malas-malasan, betul apa betul, Bik," ucapnya mencoba melucu.

"Mbak Nirina sangat baik, semoga Mbak Nirina selalu bahagia."

"Aamiin ... makasih, Bik. Semoga dikabulkan Allah."

"Aamiin ...."

Sebelum selesai menyiapkan makanan di meja makan, Cynthia sudah datang dan menghampiri Nirina. "Jadi tadi pergi ke rumah sakitnya? Gimana keadaan mantan calon suamimu itu?"

"Iya, Bu. Keadaannya Sudah mulai membaik, tapi belum sadar."

"Ya sudah, tapi ini terakhir kalinya. Aku enggak mau kamu ke sana lagi untuk menjenguknya."

"Iya, Bu. Saya mengerti."

"Baguslah kalau kamu sudah mengerti, aku tidak usah mengatakannya lagi!"

"Silakan makan, makanannya sudah siap!"

Setelah makan siang Cynthia kembali lagi ke tokonya. Pukul 18.00 Haziq dan Bambang baru pulang dari kantor. Kantor mereka berbeda, Bambang bekerja di kantor pusat sedangkan Haziq di kantor cabang. Nirina dan Bik Jum sudah menyiapkan makan malam.

Cynthia menyambut kedatangan putra dan suaminya dengan hangat. Cynthia adalah sosok wanita karir penyayang keluarga. Namun, egois dan suka memaksakan kehendaknya. Apapun yang sudah menjadi keinginannya harus dicapai meskipun harus mengorbankan orang lain untuk mencapainya.

“Ini tiket buat kalian berdua, hadiah pernikahan kalian dari Papa," ucap Bambang pada Haziq saat mereka masih berada di ruang makan.

"Aku tidak butuh itu, Pa. Kami tidak akan pergi bulan madu."

"Kenapa emangnya? Bulan madu itu impian semua pasangan yang baru menikah, Nak.”

Cynthia melotot pada Haziq berusaha mengkode untuk menerima tiket itu. "I-iya, Pa, ta-tapi aku masih sibuk. Lain kali aja aku bulan madunya," tolak Haziq.

"Enggak bisa gitu dong, Sayang. Kalian perlu bulan madu, Mama tidak sabar menimang cucu," ucap Cynthia menimpali.

"Ma, meskipun enggak bulan madu aku akan ngasih cucu buat Mama," tantang Haziq, Nirina terkejut dengan ucapan Haziq.

"Ya sudah, terserah kalian yang penting papa udah ngasih hadiah bulan madu ke Lombok. Kapan kalian berangkat terserah kalian saja," ucap Bambang sambil meninggalkan meja makan.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status