Share

Bab 2 Menjatuhkan Mental Si Miskin

Nirina sampai di rumah sedikit malam, karena Dewa mengajak makan malam di warung langganannya.

 Kebetulan hari ini Dewa gajian. Ia berusaha memanjakan sang kekasih dengan mengajak makan. Hal yang  jarang ia berikan pada Nirina karena keterbatasan ekonomi. Namun, setiap satu bulan setelah gajian ia menyisihkan gaji untuk mengajak Nirina jalan-jalan atau pun makan. Ya, meskipun tidak di restoran mahal hanya di warung lesehan, itu sudah membuat mereka berdua bahagia. 

"Makasih ya sudah ngajak aku makan," ucap Nirina berbinar. 

"Maaf, hanya bisa  mengajak makan di warung."

"Meskipun di warung dengan sepiring berdua aku pun mau, asalkan bersama kamu," ucap Nirina sambil tersenyum tulus. 

"Makasih sudah mau nerima dan mencintaiku apa adanya," ucap Dewa. Ia merasa belum bisa membahagiakan gadis yang sangat ia cintai itu.

"Sama-sama, selalu ... Aku akan selalu ada untukmu dan selalu mencintaimu."

"Ya sudah, ini sudah malam kamu masuk! istirahat ya biar besok makin semangat kerja," ucap Dewa pamit. 

"Ya udah aku masuk, kamu hati-hati ya di jalan."

"Iya ...."

Setelah mengerjakan sholat isya' Nirina segera tidur, tadi pas ia masuk ke rumah sang ibu dan sang  bapak sudah tidur. Nirina tidak mau membangunkan mereka, karena ia sudah membawa kunci rumah, jadi tidak perlu gedor-gedor pintu. 

***

Pagi ini Nirina begitu semangat. Seperti biasa ia membantu sang ibu memasak di dapur. 

"Semalam pulang jam berapa, Nak?"

"Pukul setengah sembilan, Bu."

"Emang dari mana kok malam pulangnya?"

"Dewa mengajak makan karena gajian, Bu."

"Bilang sama Nak Dewa supaya lebih bijak membelanjakan uang, tidak perlu menghamburkannya. Masih banyak keperluan untuk masa depan kalian dan untuk adiknya Dewa juga. Ibu ngomong gini karena ibu peduli, ibu enggak mau kalau tabungan Dewa habis hanya untuk mengajakmu makan dan jalan-jalan. alangkah baiknya uang itu ditabung."

"Iya, Bu. Terima kasih nasihatnya, tapi jarang-jarang Dewa juga ingin menyenangkan Nirina, Bu. Itu pun  cuma sebulan sekali, Nirina merasa tidak enak kalau harus menolak," ucap Nirina sambil menundukkan kepala.

"Ya sudah, tapi jangan mau ya kalau sering-sering, kasihan Nak Dewa. Karena Nak Dewa harus bantu ayahnya menyekolahkan adiknya, jadi perlu untuk berhemat."

"Iya, Bu. Kan sudah Nirina bilang jarang-jarang. Nirina mandi dulu ya, habis sarapan langsung berangkat."

"Iya, Nak."

Setelah sarapan, Nirina segera pamit pada sang ibu dan sang bapak. Pak Rahmat, sang bapak menawarkan untuk mengantar, tapi Nirina menolak. Karena tidak se arah, takut sang bapak telat kalau harus mengantarnya dulu.

Seperti biasa Nirina menunggu Dewa di depan gang masuk rumahnya. 

Sampai di toko Nirina berpapasan dengan Arisa. Mereka berdua masuk ke dalam toko bersamaan. Di dalam sudah berdiri dengan angkuh pemilik toko itu. Ya, Cynthia sudah berdiri di depan ruangannya. Arisa dan Nirina menyapa sekedar basa-basi dengan bos sombongnya itu. 

"Arisa gadis yang baik juga rajin, tapi sedikit ceroboh, meskipun tidak terlalu cantik, tapi Arisa gadis yang suka nyinyir dan suka membantah. Kalau Nirina ... juga baik, cerdas, cekatan, rajin, cantiknya biasa aja, tapi juga lumayan manis daripada Arisa. Nirina juga pendiam dan nggak banyak tingkah, tapi aku lihat Nirina sering diantar jemput laki-laki, apa mungkin laki-laki itu pacarnya?" batin Cynthia membandingkan dua karyawan yang menyapa tadi. 

Setelah sepuluh karyawannya sudah datang, Cynthia menghampiri mereka. 

"Kerja yang benar, jangan suka menggosip dan selalu ramah pada pembeli. Utamakan kepuasan untuk para pelanggan dan pembeli," ucap Cynthia tegas. 

" Baik, Bu..." ucap mereka bersamaan. 

Setelah mengucapkan itu Cynthia kembali masuk ke ruangan. 

"Menyuruh kita ramah sama pembeli, tapi ia sendiri tidak ramah pada karyawan, dasar majikan songong," ucap Rani menggerutu. 

"Hush ... kamu jangan ngomong gitu nanti bos songong denger kamu bisa kena pecat lo," ucap Santi mengingatkan. 

"Huh ... kalau aku tidak butuh pekerjaan aku udah keluar dari toko ini," lirih Arisa sambil menghela napas. 

"Ya ini memang sudah nasib kita, kita jalani aja," ucap Fitri. 

"Sudah, ayo kita kerja nanti Bu Cynthia tau, ‘kan ada CCTV di setiap sudut ruangan," ucap Nirina mengingatkan teman-temannya. 

"Untung di ruang ganti ini nggak ada CCTV," ucap Rani. 

"Tapi kita harus hati-hati juga kali, Ran," ucap Fitri. 

Mereka mulai bekerja sesuai tugas yang sudah di jadwal masing-masing yang sudah diatur oleh Cynthia. 

***

Seperti biasa Dewa menjemput Nirina, bahkan ia datang lebih awal karena ia sudah pulang lebih awal. Dewa menunggu Nirina di tempat parkir, ia mencoba untuk menelepon Nirina,  tapi tidak diangkat.

Dari arah pintu keluar toko, Dewa melihat Bu Cynthia. Pemilik toko itu sudah keluar dengan menenteng tas mahal. Cynthia melewati Dewa dengan angkuh menuju mobilnya. 

Saat ingin membuka pintu mobil Cynthia melihat ke arah Dewa sambil berpikir. 

"Itu kan cowok yang suka mengantar jemput Nirina, apa perlu aku bertanya apa hubungannya dengan Nirina," batin Cynthia. 

"Hai, kamu teman Nirina ya?" tanyanya masih dengan nada tegas dan sombong. 

Dewa merasa canggung. Bagaimana tidak? Nirina selalu menceritakan tentang kesombongan sang bos pada Dewa.

"I-iya, Bu. Ke-kenapa ya?" tanyanya terbata.

"Apa hubunganmu dengan Nirina?" tanyanya lagi dengan angkuh. 

"Ni-Nirina adalah tunangan saya, Bu," ucapnya masih terbata. 

"Ngapain sih nih orang pakai nanya-nanya hubungan aku dengan Nirina. Ngapain juga ngurusin urusan karyawan, nggak biasanya bos songong Nirina ini mau nyapa, apalagi dengan orang kecil kayak aku," batin Dewa. 

"Oo, kamu tunangannya? kerja apa sudah berani memutuskan menikah?" tanya Cynthia merendahkan sambil meneliti penampilan Dewa dari ujung kepala hingga ujung rambut. 

"Ngapain lagi nih orang lihat aku sampai segitunya bikin risih aja, emang ada yang salah dengan penampilanku? Ngapain juga nanyain tentang kerjaanku, emang menikah harus nunggu mapan semapan-mapannya, bukannya harta bisa dicari dan lebih barokah bila kita sudah menikah, dan bisa bertanggungjawab terhadap istri kita? Lagian aku nggak mau lama-lama berpacaran dengan Nirina takut khilaf," batin Dewa.

"Iya saya tunangannya dan kami akan segera menikah, meskipun pekerjaan saya hanya sebagai office boy yang penting halal dan saya akan berusaha membahagiakan Nirina, kenapa harus nunggu mapan? Setelah menikah kami bisa berjuang bersama-sama," ucap Dewa. Seketika membuat Cynthia terdiam dan mengangguk sambil tersenyum meremehkan. 

"Dasar ya, mental orang miskin. Miskin ya tetap miskin. Kalau kami orang kaya lebih mengedepankan kemapanan dalam pernikahan dan pekerjaan pasangan itu nomer satu."

"Maaf, maksud ibu ngomong gitu sejak tadi ada apa ya? Emang masalah buat ibu kalau saya menikah dengan Nirina? Saya tegaskan ya, Bu. Menikah itu niatnya ibadah bukan niat ajang pamer kekayaan dan jabatan. Dalam rumah tangga itu kita dituntut bertanggung jawab pada pasangan, pekerjaan itu juga penting, tapi untuk menunggu sampai mapan buat kami yang memang benar kata ibu kami miskin, harus berapa lama lagi kami akan menikah kalau nunggu mapan, yang penting saya sudah punya pekerjaan yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarga," ucapnya jengah dengan semua sindiran Cynthia padanya. 

Hampir 15 menit Dewa menanggapi Cynthia yang menurutnya menguras emosi. Akhirnya Nirina keluar dari toko dan melambaikan tangan ke arah Dewa. Nirina begitu kaget dan juga heran melihat Cynthia yang berdiri tidak jauh dari Dewa. Melihat Nirina keluar Cynthia segera melangkahkan kaki ke arah mobilnya dengan angkuh. 

Cynthia segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu di depan Dewa juga Nirina. 

"Maaf, udah lama nunggu ya?"

"Iya nggak apa, cuma kurang lebih 15 menit doang."

"Tadi harus nyelesaiin mengepak paket yang harus dikirim lewat kurir, terus kenapa Bu Cynthia kok berdiri di sampingmu. Apa kamu melakukan kesalahan tadi?" tanya Nirina takut. 

"Nggak kok, tadi cuma nanya aku apanya kamu, terus nanya aku kerja apa?" jawab Dewa menjelaskan. Dewa memberikan helm pada Nirina. Setelah siap Dewa langsung tancap gas melajukan montor buntutnya.

"Terus kamu jawab apa?" tanya Nirina saat sudah berada di motor . Nirina masih penasaran dengan yang diobrolkan Dewa dan Cynthia.

"Aku bilang kamu tunanganku, dan aku kerja sebagai OB."

"Oo, cuma gitu?"

"Iya, tadi bos kamu bilang kerja gitu kok udah mau nikah nggak nunggu mapan. Pokoknya bete deh ... bos kamu sok pingin tau aja," ucap Dewa kesal. 

"Yaudah nggak usah diladenin."

Mereka memutuskan obrolan ketika Nirina sudah sampai di mulut gang masuk rumah. Berucap terima kasih pada Dewa dan melangkah meninggalkan Dewa. 

***

Sudah satu bulan Cynthia memberi penawaran pada sang putra. Namun, ia belum menemukan gadis yang mau dijadikan menantu. 

"Susah juga ya, cari gadis yang mau menikah hanya untuk mengandung dan melahirkan saja. Ada sih kalau mau wanita nakal, juga banyak wanita yang matre dan licik. Ah ... aku nggak mau kalau bisa gadis itu polos dan nggak tersentuh. Yang melahirkan keturunan Priambudi harus wanita baik-baik meskipun miskin. Dan mudah dikendalikan tentunya, " gerutu Cynthia. 

Dewa memutuskan untuk menikahi Nirina dua minggu lagi setelah kelulusan sang adik. Berbagai persiapan sudah disiapkan kedua keluarga itu, meskipun semua serba sederhana tetap saja butuh waktu dan uang, karena keterbatasan biaya mereka harus menyiapkan dengan sehemat mungkin.

"Nanti cari kemeja dan kebaya di pasar aja ya, biar murah meriah. Enggak perlu mahal yang penting berkesan," ucap Nirina. 

Sesungguhnya Dewa ingin membelikan kebaya di butik, meskipun bukan butik terkenal dan mahal, tapi kalau ada embel-embel butik kan lebih wah gitu. Namun Nirina menolak dengan halus. Nirina tidak mau Dewa menghamburkan uang hanya untuk kebaya yang digunakan sekali pakai. 

"Yah ... ya udah deh terserah kamu, tapi kalau kamu berubah pikiran mau ke butik juga nggak apa kok," ucap Dewa masih merayu. 

"Kita masih banyak kebutuhan, bukan beli kebaya dan kemeja aja, untuk souvenir dan juga jamuan itu juga butuh uang, jadi nggak usah yang mahal kebayanya," ucap Nirina bijak. 

"Iya-iya calon istriku yang cantik, meskipun pakai kebaya murah Insyaallah tetap cantik kok."

"Iya itu, meskipun barang murah yang penting nyaman, kecantikan alami akan terpancar dengan sendiri."

Nirina tersenyum tulus. Dewa hanya nyengir. 

"Alhamdulillah aku dikaruniai calon istri yang manis, baik hati dan tidak suka menuntut, mengerti keadaan keuanganku, meskipun jauh dari lubuk hatiku ingin sekali membahagiakannya dengan memberi sedikit barang mewah, mewah dalam artian kantong seorang office boy," batin Dewa.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
devvy sylvia dewi
... bagus sih
goodnovel comment avatar
Anggra
sebaik itu dewa...GK Sudi kalau NNTI Nirina hnya dijadikan mesin produksi bayi Ama si haziq
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status