Persiapan sudah hampir 70℅. Nirina sangat bahagia. Hari-hari Nirina lalui dengan penuh semangat dan suka cita.
Ia juga belum mengambil cuti kerja. Nirina masih bekerja seperti biasa, begitu juga Dewa. Aktivitasnya tetap sama bekerja, diantar jemput Dewa. Untuk cuti Nirina dan Dewa memutuskan cuti satu hari sebelum ijab qobul dan 3 hari setelah ijab qobul. Hari ini dengan senyum yang mengembang Nirina membagikan undangan pernikahan yang sangat sederhana pada semua teman yang ada di toko. Bu cynthia yang melihat Nirina sedang membagikan sesuatu merasa penasaran. "Sedang membagikan apa sih kok semua pada kumpul," batin Cynthia."Ngapain ngumpul disitu semua? Ayo bubar, kembali kerja!" teriak Cynthia. Semua karyawan lari berhamburan mengerjakan tugasnya masing-masing. "Apa yang kamu pegang Nirina?" tanyanya mendekati Nirina. "Ma-maaf, Bu. Ini undangan pernikahan saya, silakan ibu datang menghadiri! kedatangan ibu sangat berarti bagi saya," ucapnya tulus. "Mana lihat!" ucapnya merebut undangannya. Nirina membiarkan undangan itu direbut Cynthia. "Kamu mengundangku? Percaya diri sekali ... yakin aku mau datang?" tanyanya angkuh. "Suatu kehormatan bagi saya kalau ibu berkenan hadir memberikan doa restu," ucap Nirina sopan. "Baiklah, saya usahakan ... sebenarnya aku malas sih pasti tamumu kebanyakan orang-orang susah," ucap Cynthia meremehkan sambil berlalu meninggalkan Nirina. "O iya, cepat kembali bekerja lagi atau mau aku potong gaji kamu?" ucapnya pada Nirina. "I-iya, Bu ....""Ihh, dasar bos songong kalau nggak butuh kerja udah aku ujek-ujek tuh orang," ucap Santi ikut kesal dengan perlakuan Cynthia. "Udah, ada CCTV nanti orange lihat lo, nambah masalah aja," ucap Nirina. ***Kebetulan hari ini adalah hari Minggu. Nirina dan Dewa sedang libur kerja, mereka memutuskan melakukan foto pra wedding. Meskipun tidak mewah, dengan bantuan sahabat Dewa yang ahli dalam foto memfoto yang bersedia jadi fotografer dadakan buat mereka. Nirina dan Dewa memutuskan foto di kota tua Jakarta. Dengan antusias keduanya menjalankan sesi foto. Setelah selesai foto Dewa mengantarkan Nirina pulang. "Besok kita ambil suvenir ya, tadi sudah dikabari kalau suvenir sudah jadi," ucap Dewa. "Iya kita ambil besok sepulang kerja ya Dew.""Oke ...."Di tengah jalan Nirina bertemu Rika, adik Dewa. Rika sedang berjalan bersama teman-temannya. "Habis dari mana, Rik?" tanya Nirina. "Habis dari jenguk teman yang sakit, Kak. Kak Nirina dan Kak Dewa sendiri darimana?" tanya Rika. "Habis foto pra wedding, Dek.""Widiiih asyik itu, kenapa nggak ngajak aku sih.""Kakak kan naik sepeda motor, kalau kamu ngikut naik apa?""Ya naik angkot lah kita bertiga.""Telat ... kamu sendiri punya acara gitu sama teman-temanmu.""Iya sih," ucap Rika nyengir. "Habis ini kamu mau kemana lagi, Dek?""Aku di rumah Airin, nanti habis antar Kak Nirina jemput aku ya, Kak.""Siap, Bu bos."Sampailah mereka berdua. Di mulut gang Dewa dan Nirina turun dari sepeda. Dewa menuntun sepeda karena gang sempit yang mereka lalui menuju rumah Nirina. Di sana banyak tetangga yang sedang duduk santai sore hari ini. Dengan sopan mereka mengucapkan permisi pada tetangga yang lalu lalang di jalan yang mereka lewati."Ternyata ramai juga ya kalau sore, jadi risih deh," lirih Dewa yang masih bisa didengar Nirina. "Makanya aku selalu suruh kamu turunin di mulut gang aja, mereka itu suka nyinyir, aku sendiri risih sama mereka.""Kalau tidak butuh ngomong sama ibu dan bapak kamu, aku nggak mau deh masuk kesini sebelum kita menikah.""Yaudah kalau gitu, sabar aja. Aku juga nggak pernah menghiraukan ucapan mereka yang penting kita tidak melakukan kesalahan.""Bener banget ... selama kita tidak salah kita benar ngapain harus dengerin mereka.""Assalamualaikum ..." ucap Dewa dan Nirina saat sampai di depan pintu rumah. "Wa'alaikumussalam ..." jawab Bu Retno membukakan pintu. "Nak Dewa, silakan masuk dan silahkan duduk! sudah berapa persen persiapannya, Nak?" tanya Retno sambil menyuruh Dewa duduk. Nirina segera masuk dan membuatkan minum untuk Dewa. "Alhamdulillah sudah 80℅, Bu ... Insyaallah sudah siap semua, besok saya dan Nirina akan mengambil souvenir sepulang kerja.""Alhamdulillah ... terima kasih, Nak. Mohon maaf bapak dan ibu hanya bisa membantu sedikit untuk pernikahan kalian dan semuanya kalian yang atur. Maaf, uang tabunganmu dan Nirina habis untuk acara ini," ucap Retno sedih. Nirina keluar dengan membawakan minuman untuk Dewa. Nirina mempersilakan Dewa untuk minum dulu. "Tidak apa, Bu. Ini sudah kewajiban saya. Kalau saya mampu saya tidak akan membebankan sedikit pun biaya pada ibu, bapak dan Nirina. Saya akan menanggung semua. Namun, apa boleh buat seperti inilah saya. Terima kasih kalian sudah mau menerima saya.""Iya, Nak. Enggak apa, kita sebentar lagi adalah keluarga. Alangkah baiknya kita saling bahu membahu. Nirina sangat mencintai Nak Dewa, dan menjatuhkan pilihan pada Nak Dewa. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kalian.""Terima kasih banyak, Bu. Baiklah kalau begitu saya permisi dulu, saya hanya mau mengabari sudah berapa persen persiapan, Assalamualaikum ...""Wa'alaikumussalam. Hati-hati ya, Nak."Dewa mengangguk dan tersenyum. Nirina dan Bu Retno membalas dengan senyuman juga. ***Satu hari sebelum hari pernikahan, Dewa menghubungi Nirina yang sudah mengambil cuti. Dewa mengabarkan kalau saat ini ia sedang ada di Lembang menjemput sang uwak. [Assalamualaikum, Nirina aku sekarang ada di Lembang, jemput uwak.][Wa'alaikumussalam, Hati-hati ya, Dew.][Iya ini barusan berangkat, tadi bawa mobil pak Ahmad, tetanggaku. Ini lagi berhenti, di sini hujan lebat banget.][Ya Allah, di sana hujan ya. Jalan di sana rawan, Dew. Kamu hati-hati ya, jangan ngebut.][Iya, Sayang. Doakan ya, moga pulang pergi selamat][Pasti aku doakan. Hati-hati jangan ngebut ya][Iya, ya sudah aku tutup ya, Assalamualaikum][Wa'alaikumussalam]"Ya Allah hatiku kok tidak tenang setelah mendapat kabar saat ini Dewa ada di Lembang,” gumamnya."Ya Allah lindungilah Dewa, semoga tidak terjadi apa-apa, Aamiin ..." lirihnya. Di rumah Nirina sudah banyak kerabat yang membantu untuk menyukseskan acara besok. Sudah 4 jam Nirina menunggu telpon dari Dewa, apakah sudah sampai atau belum. Nirina semakin gelisah. Melihat sang Putri gelisah sejak tadi, Retno mendekat dan bertanya."Kamu kenapa, Nak? Dari tadi ibu lihat kamu gelisah sendiri?""Ibu, saat ini Dewa sedang ada di Lembang, sedangkan di sana sedang hujan lebat. Sudah empat jam aku menunggu telepon darinya, dan mencoba menelepon, tapi tidak bisa," ucap Nirina sedih. "Kamu yang tenang, Nak. Kata kamu di sana hujan, mungkin signal di sana sangat buruk, makanya Nak Dewa tidak bisa dihubungi ataupun menghubungi," ucap Retno mencoba menenangkan Nirina. "Iya, Bu. Mungkin saja.""Ya udah jangan pikir macam-macam ya, berdoa untuk keselamatan Dewa.""Kamu belum sholat Zuhur ‘kan? Sekarang sholat lah biar hatimu lebih tenang dan doakan Nak Dewa.""Iya, Bu."Nirina segera beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu dan mengerjakan kewajiban.Saat ini Arash berada di stasiun untuk mengantarkan Zayyan dan Azzura. Ya, hari ini mereka berdua akan ke rumah Bik Jum dengan menggunakan kereta. Tentu saja semua itu permintaan dari Azzura yang tidak bisa diganggu gugat.“Kurang dua puluh menit lagi pemberangkatannya, Sayang. Lebih baik kamu duduk santai,” ujar Zayyan yang sejak tadi melihat sang istri mondar-mandir ke sana kemari. Baru kali ini, wanita cantik yang saat ini perutnya sudah mulai terlihat membuncit itu naik kereta.“Sayang sekali Filzah enggak ikut. Kalau dia ikut antar kami, pasti juga sangat senang karena belum pernah juga naik kereta,” sahut Azzura.“Arfi sedikit rewel, kayaknya mau tumbuh gigi, makanya Filzah enggak jadi ikut antar,” jawab Arash.“Kamu sudah menjadi suami siaga buat Filzah dan Arfi, bahkan di sela kesibukanmu kamu tahu setiap perkembangan Arfi, makasih, ya, Rash. Kamu benar-benar membuktikan ucapanmu untuk bahagiakan Filzah,” ucap Zayyan senang.“Tidak usah berterima kasih, Zay. Aku melakukan sem
Azzura terlihat berbinar saat Zayyan mengeluarkan motor sportnya dan menyuruhnya untuk duduk di belakangnya. “Jangan lupa pegangan yang erat seperti yang kamu katakan tadi,” ucap Zayyan saat memasangkan helm untuk Azzura.Azzura mencebik. “Dasar modus,” ucapnya memukul dada sang suami.“Modus, tapi untuk kebaikanmu juga, Sayang,” jawab Zayyan menaik turunkan alisnya menggoda.“Lho, Den Zayyan dan Non Azzura mau ke mana malam-malam naik motor?” tanya Pak Heru satpam yang berjaga di gerbang utama kediaman keluarga Priambudi.Zayyan dan Azzura menyengir sebelum menjawab pertanyaan satpam yang sudah bekerja di rumah ini belasan tahun yang lalu itu.“Mau cari nasi goreng seafood permintaan bumil yang sedang ngidam ini, Pak,” jawab Zayyan sopan. Ya, meskipun pada bawahan Haziq dan Nirina selalu mengajarkan pada anak-anaknya untuk menghormati yang lebih tua tanpa merendahkannya.“Owalah, tapi kenapa pakai motor, Den? Udah malam, lho. Apa tidak takut masuk angin Non Azzura?” ucap Pak Heru me
Lima belas hari berlalu, setelah kepulangan Filzah dari rumah sakit. Saat ini, bayi tampan yang diberi nama Arfi Putra Elmani gabungan dari nama Arash dan Filzah itu sedang dikhitan. Permintaan Nirina dan Haziq untuk mengkhitan sang cucu saat bayi pun disanggupi Arash, begitu pun dengan Filzah yang menyetujuinya, meskipun masih terbesit tidak tega. Namun, dia yakin semua akan baik-baik saja.Pagi ini, seperti biasanya Arfi dimandikan Bik Ulil karena Filzah masih takut untuk memandikannya sendiri. Nirina dan Nirmala yang sengaja menginap di rumah Arash dan Filzah pun segera mengambil alih Arfi. Sudah biasa mereka akan berebut untuk menggendong Arfi yang ujungnya Nirina harus mengalah.Usai sarapan bersama, Dokter Dony membawa teman seprofesinya yang diminta untuk mengkhitan Arfi. Haziq dan Habibi mempersilakan dokter itu untuk segera mengkhitan sang cucu. Arash dan Filzah pun sudah menyiapkan tempatnya.“Sayang, kalau kamu enggak tega lihatnya, sebaiknya kamu ke kamar. Kata orang tua
Saat ini Arash dan Filzah berada di dalam kamar. Arash membantu mengemasi pakaian Filzah dan meletakkannya ke dalam koper. Laki-laki tampan itu terlihat bersemangat membantu Filzah. Sesekali ia mengusap lembut perut sang istri yang masih rata, lalu mencium keningnya.“Bagaimana dengan reaksi mama nanti, Kak? Aku pergi meninggalkan rumah dan Kak Arash begitu saja,” ungkap Filzah resah. Hatinya masih cemas memikirkan sang mama mertua yang tidak menyukainya.“Tidak usah risau memikirkan mama, Sayang. Ini kehidupan kita, rumah tangga kita. Aku akan tetap menjadi anak yang berbakti pada mereka, tapi aku tidak akan tunduk pada perintah mama yang sekiranya menyesatkan. Berbakti pada kedua orang tua tidak harus menyesatkan diri, bila mama salah aku akan menentangnya,” ucap Arash sungguh-sungguh. Dia tidak mau kehilangan Filzah lagi hanya karena sang mama.“Ba-bagaimana kalau Alvisyah hadir lagi dalam kehidupan rumah tangga kita. Tidakkah Kak Arash akan tergoda?” tanya Filzah lagi. Sebenarnya
Kamu adalah kepingan hatiku yang telah hilang, bersamamu aku Bahagia.(Arash Habibi Elmani – Sekeping Hati)Filzah ingin mempercepat langkahnya, rasanya ia ingin segera menjauh dari Mirza. Namun, tanpa sepengetahuan Filzah, Mirza tengah mengikutinya dari belakang. Pemuda manis itu hendak menyusul Filzah, dia tidak mau terjadi sesuatu pada Filzah. Dia ingin memastikan wanita itu sampai di rumah Bik Jum dengan selamat. Dari kejauhan Filzah melihat mobil yang sangat dia kenali. Sebuah mobil mewah berwana hitam metalik dan itu adalah milik ayahnya. Perlahan mobil itu semakin mendekatinya. Dia bingung harus berbuat apa. Filzah pun memutuskan untuk kembali ke masjid. Dia ingin menghindar dari kedua orang tuanya. Namun, saat membalikkan badan, ia tercengang karena mendapati Mirza telah berada di belakangnya. Filzah bimbang, antara kembali ke masjid dan menghadapi Mirza lagi atau bertemu keluarganya. Jujur, Filzah belum siap untuk itu. “Maaf, aku tidak bermaksud menguntitmu. Aku hanya ingi
Cinta itu suatu perasaan yang indah bila dirasa, sakit bila diacuhkan, dan kecewa bila tidak terbalas.(Sekeping Hati)Zayyan masih tidak percaya, Filzah meninggalkan rumah Arash tanpa sepengetahuan dirinya dan keluarga. Rasa khawatir sebagai seorang kakak yang sangat menyayangi adik menyelimuti hatinya. Saat ini hatinya bimbang diterpa kekhawatiran setelah meninggalkan rumah Arash. Beruntung ada Azzura di sampingnya. Wanita cantik itu adalah penawar dari segala gundanya.“Bagaimana kalau bunda tahu? Bunda pasti syok dan menangis seharian. Filzah tidak pernah jauh dari keluarga. Sejak kecil dia selalu berada di samping bunda dan oma. Bahkan untuk bisa kuliah di luar negeri seperti aku pun bunda tidak mengizinkannya,” ucapnya lirih. Saat ini Zayyan dan Azzura dalam perjalanan pulang ke rumah.“Apa rencanamu, Kak?” tanya Azzura memastikan. Azzura sangat tahu, masalah ini sangat sensitif terjadi pada keluarga suaminya. Kasih sayang yang besar membuat keluarga itu saling menjaga dan mera