Hari masih subuh ketika Rey dan rekan-rekannya dan beberapa keluarga dari korban terlihat sibuk. Rey membantu mengangkat dua korban yang terluka, bersama seorang rekannya. Hanya menggunakan tandu yang dibuat dari kayu. Seadaanya, karena logistik dan barang yang dibutuhkan lainnya belum bisa diantar terkait medan yang tidak memungkinkan saat hujan, untuk alternatif udara juga tidak bisa karena tidak ada tempat datar yang bisa dijadikan helipad untuk helikopter mendarat. Lokasi itu berada dalam radius enam km di titik rawan yang berdekatan dengan basis para pemberontak. Tempat di mana pasukan Rey mendarat pertama kalinya untuk datang ke lokasi tugas mereka sekarang, butuh persiapan yang matang tentunya, jika mereka mau menggunakan alternatif udara.Mereka memilih menggunakan trek daripada mobil belakang terbuka, trek lebih menjamin keselamatan setidaknya lebih terlindungi jika mereka memang harus bentrok dengan pemberontak.Mereka bergerak cepat sebelum fajar menyising dua korban
Sambil tiarap Rey mundur dengan kecepatan maximal, sebelum para pemberontak menemukannya. Dia tidak bisa menghadang musuh lagi. Mereka menjadi lebih liar dan anarkis setelah salah seorang dari mereka merenggang nyawa. Hentakan kaki yang serempak, serta suara teriakkan bersahutan dengan bahasa yang tak di mengerti oleh Rey, meluapkan amarah mereka. Suasana terlihat dan terdengar begitu mencekam saat suara mereka memantul dan menggema, di hutan belantara itu. Rey berguling menuju jurang curam, hanya itu satu-satunya jalan jika dia ingin lolos dari musuh. Jurang yang cukup dalam, lumayan bisa membuat tubuhnya terluka parah bahkan kehilangan nyawa jika dia membuang diri ke sana.Matanya mengedar mencari alternatif lain, tidak ada! Satu-satunya jalan hanya jurang itu. Rey merayap turun melewati belukar yang bergelantungan. Hanya dia seorang diri di situ, menghadang para musuh agar anak buahnya menuju ke dalam hutan. Dia yang memerintah mereka pergi, untuk secepatnya menolong rekan yang t
Lima bulan berlalu ....Rey baru saja turun dari tempat tugasnya yang berada di balik puncak pegunungan, di tempat tugas keduanya tidak ada signal sehingga hanya sesekali Rey berjalan berkilo meter menuju puncak pegunungan hanya untuk mencari signal, terkadang dengan motor jika memang sedang tidak digunakan, hanya demi melihat wajah istrinya sesekali. Tak lupa selalu meminta foto Lara sebelum mereka mengakhiri VC, hanya foto-foto itu yang mengobati kerinduannya. Rey menatap foto Lara berulang-ulang. Tampak dalam layar itu Lara tampil dengan dress satin pastel pink, kombinasi dengan kain tulle. Menampilkan perutnya yang bulat membesar, tubuhnya tampak lebih berisi, dengan pipi chubby, rambutnya tergerai indah. Rey menggeser layarnya sampai foto berikutnya, sesekali senyum terkembang di bibirnya. Ada beberapa foto exclusive dari ahlinya, dan juga beberapa foto hasil jepretan Lara sendiri. Keningnya mengerut, ada tanya yang hinggap di benaknya, baginya perut Lara terlalu besar, atau h
[Mereka?] ulang Rey.Roman kaget Lara mengendur, tadinya dia memang mau memberitahu kabar itu, tapi menjadi lupa saat melihat wajah Rey. Lara tersenyum. Sengaja menggantung suaminya biar semakin penasaran[Dek!][Ada yang mau aku kasih tau sama, Mas.][Ya, udah kasih tau aja, Dek.][Kasih tau nggak ya?] ucap Lara dengan nada jenaka.[Kok malah gitu sih, Dek?][Kasih tau ... Jangan ... Kasih tau ... Jangan ....] Lara mengerling nakal sambil menghitung jari tangannya[Dek, masa gitu sih, bikin Mas penasaran. Ayo kasih tau.] Rey sudah dapat menebak jawaban Lara tapi masih tidak yakin jika belum mendengar sendiri dari mulut istrinya.[Emang sengaja, biar Mas penasaran,] ledek Lara.[Jangan gitulah, masa ngerjain suami sendiri.][Mas juga suka ngerjain aku kok,] bela Lara, rasanya puas membuat suaminya semakin penasaran.[Yah, memang Mas harus ngerjain kamu, kalo nggak mana bisa perut kamu berisi, Dek.][Nah itu, mulaikan ngerjain aku.]Rey terkekeh, tapi masih menuntut jawaban Lara.
Lara kaget bangun jam enam pagi, matanya terasa berat dan masih ingin melanjutkan tidurnya. Kemarin setelah Rey mandi mereka bercengkrama hingga jam sembilan malam, itu pun Rey memaksa Lara agar secepatnya tidur. Seharian mereka melepas rindu.Dia meraih ponselnya, tidak ada notif apapun. Rey hari ini sibuk, mungkin besok baru mereka bisa berkabar lagi. Lara kembali berbaring, entah kenapa hari ini dia hanya ingin tidur, badannya terasa berat.Dengan badan yang masih berat, Lara memaksa untuk bangun, harus jalan pagi di sekitar kompleks perumahan mereka. Ditemani oleh bibi Sri mereka jalan santai mengitari komplek. Saat mereka kembali, Alex telah duduk di teras."Dari tadi Lex?" tanya Lara yang langsung duduk di kursi yang kosong, "Barusan. Nih vitaminmu, besok kamu kontrol lagi Kan?""Iya, aku inget kok.""Mami atau aku yang antar?""Kamu aja, Mami katanya ada urusan.""Siap tuan putri, besok pasti aku antar."Ponsel Alex berdering, menatap nama yang tertera di layar lalu cepat men
Lara mengelus perutnya, dari kemarin sejak berbicara dengan Rey kedua janinnya sangat aktif. Dia baru saja selesai makan siang, sudah sangat ingin mendengar suara Rey tapi ditahannya, tidak ingin mengganggu konsentrasi suaminya saat bertugas."Apa kalian kangen mendengar suara Ayah kalian? Bunda juga, selalu merindukan ayah kalian."Lara merasakan hentakan di perutnya. Senyum merekah diiringi ringisan saat gerakan di dalam sana sangat terasa, bahkan tonjolan di kulit perutnya semakin jelas.Raut bahagia terukir jelas, saat mendapat reaksi dari dalam perutnya. Dia menjadi semakin bersemangat untuk berbicara. "Ternyata kalian juga kangen. Kalian tau nggak ayah kalian tu lelaki yang hebat. Kalian pasti akan sangat disayang, sehat-sehat terus ya. Kita sambut ayah kalian begitu pulang, nggak lama lagi kok."Seperti menemukan fakta yang mencengangkan saat kedua janin itu bergerak seperti menanggapi setiap perkataannya. Lara semakin bersemangat."Aoww, jangan nendangnya kuat-kuat sayang, b
Lara membuka matanya perlahan namun kemudian terpejam lagi, indera pendengarannya menangkap suara di sekitarnya, tidak begitu jelas. Kesadarannya belum kembali sepenuhnya, setelah tadi pingsan. Tidak ada yang menyadari jika dia sempat membuka matanya. Dia ingin bersuara memanggil ibunya namun tidak mampu.Lara berusaha membuka matanya perlahan, memindai sekelilingnya.'kenapa aku di rumah sakit?'Mengalihkan pandangannya, tersenyum saat melihat suaminya sedang duduk di sampingnya. Wajahnya samar, tidak jelas dalam pandangan matanya. Namun senyum khas Rey tergambar begitu nyata."Mas," suara Lara lirih terdengar."Lara?"Terdengar bunyi berisik di sekitarnya namun Lara tidak tahu apa yang terjadi, matanya terlalu berat untuk dibuka lebih lama."Mas." "Dedek?"Lara mendengar suara yang memanggilnya, dia tahu itu ibunya, ingin sekali membuka matanya dan mengatakan sesuatu, lagi-lagi tidak bisa.'Ada apa dengan diriku? Kenapa seolah-olah hanya telinga dan mataku yang berfungsi? Mataku
"Mas Rey?!" Lara terpekik, namun kemudian tertawa lalu memukul-mukul kepalanya.Metha memandang dengan gelisah dan kuatir begitu juga dengan Alex dan Agus."Kenapa aku bisa berpikir yang nggak-nggak gini," ujar Lara sambil terkikik."Tadi aku mimpi ya? Kalo Mas Rey datang. Mas nggak mungkin meninggalkan tugas sebelum waktunya. Iya kan Lex, kamu tau sahabatmu itu prajurit sejati. Sampai istrinya yang lagi hamil anak kembarnya pun ditinggal. Tapi aku bangga loh jadi istrinya." Dengan senyum manisnya Lara membanggakan suaminya.Namun wajahnya kembali berubah sedih."Di rumah tadi aku juga mimpi, sedih banget dan sangat menakutkan, seumur-umur aku baru pernah bermimpi gitu Pi, Lex. Amit-amit jangan sampai terjadi." Lara bergidik."Mami tau nggak aku mimpi apa?"Metha menelan ludahnya, menggeleng pelan. Lara mengalihkan pandangannya pada ayahnya lalu kemudian Alex."Tau nggak, aku mimpi Mas Rey tertembak saat lagi nelpon denganku, mata Mas Rey sampai terbuka lebar saking kagetnya, sepert