Share

Menandatangani surat cerai

Aisyah mengucapkan basmalah dan salam saat melangkahkan kakinya memasuki bangunan megah keluarga Atmadja yang bisa dengan jelas dilihatnya segala bentuk kemewahan yang ada di dalam Mansion yang akan menjadi tempat tinggalnya tersebut.

Lantai marmer mengkilat berwarna abu-abu yang dipijaknya itu seolah menunjukkan bahwa lantai itu setiap hari dibersihkan oleh banyaknya pelayan yang telah menjawab salamnya saat berbaris rapi di depannya.

Aisyah sibuk mengamati segala furniture yang menghiasi ruang tamu yang bahkan berukuran 10 kali lipat dari ruangan kamarnya. Sofa empuk berwarna merah hati dengan beberapa lemari kaca yang menampilkan banyaknya benda-benda antik di dalamnya, serta ada beberapa guci berukuran cukup besar yang berada di sudut ruangan, menambah kesan glamor di ruangan tamu tersebut.

Tentu saja melihat semua kemewahan yang dilihatnya, membuatnya mulai mengerti kenapa pria yang menikahinya itu menuduhnya adalah seorang wanita yang materialistis.

'Subhanalllah ... ternyata keluarga suamiku memang benar-benar seorang konglomerat. Pantas saja suamiku menghinaku habis-habisan tadi, ternyata dia memang tidak salah. Karena semua laki-laki pasti akan berpikir sepertinya saat melihat seorang wanita yang setuju menikah saat belum pernah bertemu dengan calon suaminya. Jadi, aku tidak boleh menyalahkannya, atau pun mengambil hati perkataan dari suamiku. Dia tidak bersalah, tapi akulah yang memang bersalah dalam hal ini,' gumam Aisyah.

Aisyah tersadar dari lamunannya saat mertuanya menepuk pundaknya.

"Aisyah, kamu langsung saja ke kamar! Biar Bik Inah yang mengantarkanmu ke sana! Kamu pasti sangat capek dan butuh waktu beristirahat. Nanti, pelayan akan mengantarkan makanan ke kamar. Jadi, kamu makan bersama dengan suamimu di kamar. Karena selama ini, suamimu tidak pernah makan malam di rumah. Dia selalu pulang larut malam dan langsung tidur," ucap Laila Atmadja.

Aisyah langsung menganggukkan kepalanya dan menjawab perkataan dari mertuanya. "Baik Ma, Aisyah ke atas dulu." Kemudian ia mulai mengikuti langkah kaki wanita paruh baya yang sudah mengajaknya untuk masuk ke dalam lift.

"Bik Inah, apakah untuk naik ke lantai atas harus memakai lift? Sebenarnya saya tidak keberatan naik tangga."

"Tuan besar sangat melarang jika keluarganya memakai tangga, Nona muda. Karena dulu Nyonya besar pernah hampir jatuh saat menuruni tangga, tapi Alhamdulillah hanya lecet-lecet sedikit. Karena itulah Tuan Atmadja langsung menyuruh orang untuk membuat lift," ucap Bik Inah yang sudah melangkah keluar, begitu pintu lift terbuka dan sampai di lantai atas.

Sedangkan Aisyah yang mulai mengerti dengan penjelasan dari wanita paruh baya yang sudah berhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu berwarna kuning keemasan itu, mulai mengeluarkan suaranya.

"Baiklah Bik, aku mengerti. Jadi, ini adalah ruangan Tuan muda?"

"Iya Nona muda, dan semua barang-barang Anda sudah berada di dalam. Akan tetapi, belum dirapikan di dalam lemari. Karena Tuan muda tidak suka jika ada yang masuk ke ruangan pribadinya saat sedang berada di dalam. Jadi, mohon maafkan kami!" ucap Bik Inah dengan membungkukkan badannya.

"Tidak perlu meminta maaf Bik, aku bisa merapikannya sendiri nanti. Ya sudah, aku masuk ke dalam dulu Bik," ucap Aisyah yang sudah mengetuk pintu dan mengucapkan salam terlebih dahulu. Kemudian ia membuka kenop pintu dan melangkah masuk ke dalam dengan perasaan yang berdebar-debar.

Dan disaat yang bersamaan, manik bening miliknya bersitatap dengan netra pekat pria yang baru saja keluar dari ruangan kamar mandi dengan memakai handuk sebatas pinggang, dan menampilkan bagian atas yang terekspose dengan jelas menampilkan tubuh sixpack dengan otot-otot perut yang membuatnya merasa malu saat melihatnya.

Aisyah refleks memalingkan wajahnya agar tidak melihat tubuh kekar pria yang berstatus sebagai suaminya tersebut. "Maaf Mas, aku tidak tahu kalau Mas baru selesai mandi. Kalau begitu saya keluar dulu!"

Adyaksa refleks memijat pelipisnya dan mulai mengeluarkan suara baritonnya. "Berhenti!"

Aisyah yang sudah berbalik dan berniat untuk membuka kenop pintu, seketika terdiam membisu saat suaminya menyuruhnya berhenti.

Adyaksa melanjutkan perkataannya saat melihat wanita itu diam di tempatnya. "Apakah seperti itu sikap seorang wanita yang sudah menikah? Bahkan jika aku memintamu telanjang sekarang, kamu harus menurutinya! Lalu, apa yang kau lakukan? Hanya melihatku seperti ini saja sudah membuatmu ketakutan."

"Sebenarnya kamu makhluk dari planet mana? Hingga kau seperti jijik padaku saat melihatku hanya memakai handuk, karena itulah kamu tidak ingin melihatnya dan langsung keluar dari sini, begitu?" sarkas Adyaksa dengan tatapan penuh kemurkaan.

Sontak Aisyah langsung berbalik badan dan menatap netra dengan silinder hitam yang menatapnya dengan sangat tajam. "Kamu salah Mas, bukan seperti itu. Aku ...."

"Aku apa? Bukankah sekarang ini aku berhak atas tubuhmu? Bukankah ini adalah malam pertama yang sangat kamu tunggu-tunggu? Bukankah kamu sudah bermimpi aku bercinta denganmu dan membuatmu hamil? Lalu, kamu bisa menggunakan anak yang kamu lahirkan untuk meminta hartaku!"

Mendengar penghinaan yang amat luar biasa dari pria yang menikahinya itu, membuat Aisyah refleks memegangi jantungnya yang berdetak sangat kencang melebihi batas normal. Tentu saja kalimat pedas dari suaminya itu berhasil menghujam langsung ke jantungnya, karena suaminya sendiri benar-benar membencinya dan menuduhnya dengan sangat kejam.

"Mas, aku bukan wanita yang mengincar hartamu. Bahkan meskipun Mas tidak memberikan aku uang sepeser pun, aku tidak akan pernah mengeluh, Mas. Jadi, aku mohon padamu, jangan menuduhku sehina itu. Jika Mas sangat khawatir aku akan meminta harta Mas, aku tidak keberatan jika aku tidak memiliki anak. Apapun perintah dari Mas, aku akan menurutinya!"

Adyaksa langsung bertepuk tangan dan tersenyum smirk. "Bagus, aku suka dengan kata-katamu barusan!"

Setelah mengungkapkan kalimat ambigunya, Adyaksa berjalan ke arah nakas di sebelah ranjangnya. Ia meraih sebuah kertas putih dan bolpoin. Kemudian kembali menghampiri wanita yang masih berdiri di depan pintu. Sekarang kamu tanda tangan di atas kertas ini, cepat!"

Aisyah berjenggit kaget saat mendengar teriakan dari pria yang sudah memberikan kertas dan pulpen ke tangannya dengan sangat kasar. Karena merasa tidak memahami maksud perintah dari pria yang sudah menatapnya dengan tatapan menusuknya, Aisyah mengungkapkan pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

"Tanda tangan untuk apa Mas? Tolong jelaskan padaku, agar aku mengerti apa maksud Mas."

"Kertas itu menandakan bahwa kamu memintaku untuk menceraikanmu," ucap Adyaksa dengan tersenyum menyeringai.

Perkataan dari suaminya itu refleks membuat Aisyah menjatuhkan kertas dan bolpoin yang berada di tangannya. "Astaghfirullah hal'adzim ... aku tidak bisa melakukannya Mas. Meskipun sejatinya aku harus menuruti semua perintah dari suami, tapi itu tidak termasuk perintah yang salah."

"Kamu bilang aku salah? Bukankah di sini yang salah adalah dirimu? Karena kamu menyetujui pernikahan ini? Aku bahkan tidak menyukai wanita membosankan sepertimu, karena aku lebih menyukai wanita yang seksi, liar dan bisa memuaskan aku di atas ranjang. Bukan wanita sepertimu yang melihatku saja kamu takut. Sudahlah, kamu tidak akan pernah mengerti apa yang aku inginkan."

"Aku tidak bisa menuruti permintaanmu Mas, aku tidak akan pernah tanda tangan di atas kertas putih ini. Aku akan berusaha menjadi sosok istri yang seperti kamu inginkan, Mas. Agar kamu bisa menerimaku sebagai istrimu seutuhnya," ucap Aisyah yang berusaha meyakinkan pria yang masih menatapnya dengan kilatan amarah.

Adyaksa refleks tertawa terbahak-bahak dan mengeluarkan umpatannya. "Wah ... sungguh sangat luar biasa, sekarang kamu mulai mengeluarkan sifat aslimu, yaitu tidak rela kehilangan hartaku bukan? Dasar wanita munafik."

Aisyah langsung menggelengkan kepalanya dan berusaha menjelaskan kesalahpahaman itu. "Bukan seperti itu Mas. Aku tidak ingin bercerai karena aku ingin menikah satu kali seumur hidup, karena Allah SWT tidak menyukai sebuah perceraian. Ijinkan aku untuk menjadi istrimu yang melayanimu sepenuhnya, Mas!"

"Apa ini yang kamu harapkan?"

Setelah mengucapkan kalimat ambigunya, Adyaksa melepas kasar hijab yang menutupi rambut wanita di depannya dan mulai meraup bibir tipis Aisyah.

TBC ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status