"Selamat sore, Damian. Apa kabar?"
Tania, wanita yang pernah menjadi kekasih Damian datang dengan wajah tak tahu malunya. Walaupun aksesnya ditutup, ia tetap nekat menerobos masuk di saat semua penjaga sedang berganti shift.Wanita itu duduk sambil menumpukan satu kakinya. Matanya melirik tajam pada Carol yang tengah mencebik bibirnya. Ia malas berdebat dengan wanita berkulit pucat dengan riasan tebal itu. Sungguh menggelikan, pikirnya.'Dia tampak seperti badut kota.'"Kau belum kuperkenankan masuk ke mansion ku. Sebelum aku bertindak, lebih baik kau pergi." Damian mengusir Tania seperti sedang mengusir pengemis di pasar. Tangan besarnya menarik lengan wanita itu hingga hampir terjatuh. Sangat kasar, tapi Carol begitu menikmati pemandangan ini."Kau kasar sekali, Damian. Aku ini wanita." Tania menghempas tangan Damian dengan kasar. "Jangan hanya demi wanita jalang ini, kau membuat dirimu terlihat bodoh di depannya." Tania melayangkaNyonya Carmen masuk ke dalam ruangan yang ditunjukkan oleh resepsionis Esley. Ruangan yang cukup besar dengan interior minimalis. Ia duduk menyilang dengan kursi menghadap kaca besar ke arah jalanan kota Amberfest. Pemandangan dari atas gedung ini cukup nyaman, pikirnya. Karena terlalu nyaman, ia tak sadar ada seseorang masuk ke dalam ruangan itu. "Selamat pagi nyonya Carmen." suara besar itu membuyarkan lamunan wanita paruh baya yang tengah menikmati pemandangan kota. Ia menggeser kursinya. Senyumannya pun merekah begitu melihat sosok Damian yang kata rumor di luar sana sangatlah tampan dan gagah. Ternyata benar, pria itu lebih dari sekedar tampan. Ia juga berkharisma dan berwibawa. Persis seperti ayahnya. "Apa kabar Damian? Lama tidak bertemu." nyonya Carmen mengulurkan tangannya mengajak Damian bersalaman. "Kantormu besar juga ya." "Ada sesuatu yang tidak kuketahui sebelumnya?" Damian duduk sambil menyilangkan kakinya. Tak lama kemudian, Ke
Carol berteriak dari kamarnya. "Damian, kau di mana?" Damian yang tengah mengoles rotinya dengan selai terkejut mendengar suara keras istrinya. Carol akhir-akhir ini sering bertingkah aneh. Terkadang berteriak, terkadang merengek tapi sering kali setelahnya ia malah menangis. Damian pun membalasnya dengan teriakan. "Aku di sini sayang." Tak lama kemudian terdengar suara gemuruh kaki menuruni anak tangga. Carol berlarian menuju dapur tak menyadari ada orang berjalan di sampingnya. Erik sampai melangkah mundur ke belakang menghindari kakaknya yang datang seperti panglima perang yang akan mengangkat senjatanya. "Wow," serunya. "Damian, aku ingin ke salon. Lihat rambutku!" rengek Carol sambil menunjuk kepalanya. Rambutnya mekar seperti surai singa. Sangat kacau, tajam dan tampak berbahaya jika disentuh. "I-itu kenapa?" Damian takut-takut menyentuh ujung rambut Carol. Istrinya malah mencebik, rasanya ingin sekali menangis jika m
Henry duduk termenung di dekat balkon kamarnya. Ditemani cahaya bulan yang sinarnya hanya bisa mengisi satu ruangan kamar. Redup tanpa ada harapan seperti hatinya yang kosong. Sekilas ia melihat sosok istrinya tengah terlelap dalam tidurnya seolah tak ada masalah dalam hidupnya. Henry menghela napas berat. Sejak mengetahui Carol telah menikah dengan Damian, hari-hari Henry yang tenang tak ada lagi. Dirinya gelisah memikirkan apa rencana Damian esok hari yang membuat hidupnya mungkin akan lebih kacau. Layar ponsel Henry berkedip. Dua pesan masuk bersamaan tanpa jeda. Henry dengan malas membuka pesan itu setelah membaca notifikasi yang muncul dari atas layar. Dua pesan dari ibunya. [Besok, temui nyonya Carmen. Ia akan membantumu untuk mendekati pemilik saham terbesar ketiga di Harold Times.][Ini jalan terakhir untukmu. Selanjutnya, jika ini gagal terpaksa kau harus menebalkan muka pada pemegang saham yang tersisa.]Henry mengepalkan tangannya. Harga dirinya seakan dicabik-cabik ole
"Selamat sore, Damian. Apa kabar?" Tania, wanita yang pernah menjadi kekasih Damian datang dengan wajah tak tahu malunya. Walaupun aksesnya ditutup, ia tetap nekat menerobos masuk di saat semua penjaga sedang berganti shift. Wanita itu duduk sambil menumpukan satu kakinya. Matanya melirik tajam pada Carol yang tengah mencebik bibirnya. Ia malas berdebat dengan wanita berkulit pucat dengan riasan tebal itu. Sungguh menggelikan, pikirnya. 'Dia tampak seperti badut kota.' "Kau belum kuperkenankan masuk ke mansion ku. Sebelum aku bertindak, lebih baik kau pergi." Damian mengusir Tania seperti sedang mengusir pengemis di pasar. Tangan besarnya menarik lengan wanita itu hingga hampir terjatuh. Sangat kasar, tapi Carol begitu menikmati pemandangan ini. "Kau kasar sekali, Damian. Aku ini wanita." Tania menghempas tangan Damian dengan kasar. "Jangan hanya demi wanita jalang ini, kau membuat dirimu terlihat bodoh di depannya." Tania melayangka
Hari telah memasuki senja. Damian baru saja menghabiskan setumpuk pekerjaan yang diberikan oleh Ken lima jam lalu. Sangat melelahkan. Ia terperanjat kaget saat melihat jam di atas mejanya menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya untuk pulang. Sejenak ia mengintip ponselnya yang tadi siang sempat dibukanya namun belum dilihatnya. Ada satu pesan dari Tania dan sebuah foto yang diambil secara diam-diam dari kejauhan. Damian mengepalkan tangannya saat melihat pria muda yang waktu itu pernah datang ke rumahnya bersama Mr Zuck. Astaga, apakah aku harus bersaing dengan anak muda? Setelah Henry tersingkir lalu apalagi ini?Damian menghubungi Ken yang berada di luar ruangan. Dalam hitungan menit, pria itu datang masuk ke dalam ruangan miliknya. "Ken, kau mengenal siapa itu Alan?" Ken mengerutkan dahinya. "Alan yang ikut dalam pembahasan projek Mr Zuck beberapa hari lalu di rumahku." Ken mengingatnya. Ia juga ikut dalam rapat itu meskipun terlambat setengah jam. "Bukankah dia adalah asi
Setelah pengumuman pernikahan, Carol dipaksa oleh Damian untuk tinggal di rumah. Ia tak boleh lagi bekerja di kantor. Alasannya, Damian tak ingin melihat Carol lelah memikirkan pekerjaan kantor yang menyita waktu senggangnya. Apalagi jika banyak sekali projek, pastinya Carol akan lupa waktu dan juga lupa dengan dirinya. Merasa bosan di rumah, Carol memutuskan pergi ke pusat perbelanjaan siang ini. Bersama satu bodyguard yang telah disewa oleh Damian, mereka masuk ke dalam sebuah toko perhiasan terbesar di mall terkenal itu. Mata Carol terpana melihat satu set perhiasan bertahtakan berlian berwarna ungu terang. Warnanya cantik dan modelnya tak terlihat norak. Ia menyukainya. "Boleh aku lihat kalung itu?" tunjuk Carol. Petugas yang melayaninya hanya diam saja. Ia menelisik penampilan Carol yang terkesan biasa saja dengan riasan wajah tipis. "Nyonya, harga kalung ini satu juta dollar. Ini koleksi terbaru. Kalau ingin dengan harga yang terjangkau, nyonya bisa memilih yang di sebelahny
"Bibi sudah bertemu dengan tuan Damian?" tanya Rachel begitu nyonya Ferlestin masuk ke dalam rumahnya. Segera mereka menutup jendela dan pintu rapat-rapat karena merasa diikuti oleh penguntit dari belakang. "Kau tidak apa-apa kan?" nyonya Ferlestin memastikan kondisi Rachel baik-baik saja. Rachel hanya mengangguk. Ia takut ada orang yang melukai keponakannya ini. "Dengar aku, jika ada orang ingin melukaimu tolong teriak.""Sebenarnya, ada apa?" tanya Rachel. Suasana hening. Tiba-tiba saja ponsel milik nyonya Ferlestin berdering, hampir saja membuat keduanya terlonjak kaget. Diintipnya nama penelpon di ponselnya, barulah nyonya Ferlestin merasa lega. Itu adalah Ken, asisten Damian. "Ada sesuatu yang ingin dibicarakan tuan Damian?" tanya nyonya Ferlestin tanpa basa-basi. Rachel mengerutkan dahinya bingung. [Tuan Damian telah mengirimkan satu orang bodyguard untuk anda. Dia mungkin tengah berjaga-jaga di luar. Akan ada yang bergantian. Nanti aku kirim foto dan profil mereka pada anda
Nyonya Ferlestin menghubungi Damian kemarin malam melalui asistennya. Ia ingin sekali bertemu dengan Damian untuk membicarakan tentang penawaran kerjasama yang dikatakan oleh Rachel semalam. Damian dengan tangan terbuka menerima kedatangan nyonya Ferlestin. Dirinya telah memprediksi kedatangan wanita itu dalam dua hari ke depan tapi ternyata ini lebih cepat dari perkiraannya. "Silakan duduk nyonya Ferlestin. Tuan Damian sebentar lagi akan datang." Ken mempersilakan nyonya Ferlestin untuk duduk di ruang tunggu perusahaan yang berukuran cukup besar. Ia mengagumi interior itu. Sangat mewah dan terkesan futuristik. Tepat setelah Ken mempersilakan tamunya, Damian masuk dengan wibawanya yang tak luntur sedikitpun. Ia pun duduk berhadapan dengan nyonya Ferlestin yang sedikit salah tingkah saat dipandangi olehnya. "Sungguh kehormatan bagi kami menerima kedatangan nyonya Ferlestin ke sini. Apa kabar nyonya?" Damian mengulum senyum manisnya. Nyonya Ferlestin tersipu, wajahnya memerah. "Apa
"Apa yang kau lakukan?" Henry berteriak keras di dalam mobil setelah menghempas tangan Lucy dengan kasar. Tadi ia terburu-buru menariknya dari dalam ruangan pesta karena malu mendapat tatapan tak suka dari tamu yang datang ke sana. Itu semua karena Lucy. "A-aku tidak sengaja mengumpatinya. Aku tak sengaja karena terpancing tindakannya yang mengacuhkanku," ujar Lucy membela diri. "Tapi bukan berarti kau bisa berbuat seenaknya. Kau tahu, aku hampir kehilangan mukaku lagi di sana. Setelah kasus plagiatmu, aku harus berjuang mengembalikan reputasiku," jelas Henry panjang lebar. Lucy mendengus pasrah. Ia tak lagi melawan suaminya yang mendelik saat menatapnya. Saat tiba di mansion milik keluarga Parker, Henry melepaskan amarahnya. Kebetulan ibunya belum pergi tidur. Ia menceritakan tentang keadaan pesta dan tanggapan Damian padanya. Damian bersikap sinis dan ketus saat berbincang dengannya. "Dia mengacuhkanmu? Apa dia merasa sudah lebih hebat darimu? Ingatlah, keluarga Easton pernah be