Kastara tiba-tiba merasa hawa tubuhnya menjadi panas dan gairah di dalam tubuhnya perlahan naik hingga tak tertahankan. Dia menjadi bergerak gelisah sendiri, sementara Shena sudah terduduk diam di kursinya dengan mata nyalang memandang pada Kastara yang ada di sampingnya. Tanpa buang waktu, dia langsung menarik Kastara dan menciumi bibir tipis Kastara tanpa jeda. Rasanya ada sesuatu yang liar di dalam tubuh dan ingin segera dilampiaskanya.
Shinta dan Jessie segera memanggil helper yang ada di lorong untuk mengantarkan Kastara dan Shena ke kamar yang sudah mereka pesan setelah sebelumnya mengantar Deni dan Lisa ke kamar mereka.
“Pasti seru!” tukas Jessie tertawa liar.
“Kau tahu, ayahnya yang kaya itu sudah mengancamanya bahwa dia tidak boleh tidur dengan pengawalnya sendiri. (Shinta tertawa lebar) Aku ingin lihat apa yang akan dilakukan Paman Iwan saat tahu anak keasayangan itu tidur dengan pengawalnya sendiri!” kekeh Shinta bahagia, berhasil menghancurkan sepupu emasnya itu.
Jessie ikut tertawa mendengar ucapan Shinta.
“Kita tunggu dan lihat saja nanti.”
Mereka tertawa lagi sebelum akhirnya keluar menuju kamar yang sudah mereka sewa untuk malam ini, tepat di samping kamar Kastara dan Shena.
***
Kastara tehenyak saat bangun karena udara dingin menerpa tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Matanya semakin membulat saat melihat siapa yang ada di samping memeluk erat dirinya yang juga polos. Dia berusaha bangkit dan melepaskan pelukan erat di pinggangnya, tetapi gadis itu sepertinya masih dalam pengaruh obat dan tidur dengan nyenyak.
“Sialan! Apa yang mereka masukkan ke dalam minumanku!” seru Kastara marah. Kalau hanya satu dua botol minuman keras dalam botol itu dia tidak akan tumbang begitu saja.
Tiba-tiba matanya melihat ada benda bulat bergerak mengikuti gerakannya! Astaga! Itu CCTV yang menggunakan sensor panas dan mengikuti gerakan.
Kastara menyugar rambutnya dengan gusar, kali ini dia pasti terlibat dalam masalah besar! Tuan Iwan Duarte tidak akan memaafkan dirinya kali ini. Lelaki paruh baya yang gendut dan bertubuh tambun itu bahkan sudah mengingatkan bahwa dia tidak ingin anak gadisnya terlibat masalah ranjang. Karena itu dia selalu mengingatkan Kastara untuk selalu waspada.
“Nona … ayo bangun, Nona! Kita dalam masalah besar!” panggil Kastara sambil menggoyangkan tubuh gadis itu yang tampak menggiurkan itu membuat gairahnya bangkit kembali.
‘Sialan! Obat itu tampaknya masih belum habis di tubuhku!’ gerutu Kastara kesal. Dia hampir tidak pernah merasakan begitu bergairah hanya karena melihat seorang gadis tanpa busana seperti ini.
‘Arghh … aku harus ke kamar mandi!’ seru Kastara dalam hati. Akhirnya dia mendorong tubuh Shena agar dia bisa segera bangkit dan meninggalkan ranjang untuk ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi dibukanya shower sebesar-besarnya dan terduduk dibawah shower itu. Guyuran air dingin itu segera meredakan hasrat yang berkecamuk di dalam tubuhnya.
‘Ya Tuhan, siapa yang melakukan ini semua! Aku pasti akan membalas semuanya!’ Kastara berjanji dalam hati. Dia tidak suka cara seperti ini, terlalu pengecut!
Selang satu jam kemudian, akhirnya Kastara keluar dari kamar mandi dan mengenakan kembali pakaiannya.
“Arghh!” tiba-tiba dia dikejutkan suara pekikan Shena yang baru sadar bahwa dia sudah kehilangan keperawanannya semalam.
“Ka-kau yang me-melakukannya?!” seru Shena antara bertanya bingung dan marah.
“Kita dijebak, Nona. Segeralah bangun dan bersihkan tubuhmu,” perintah Kastara datar.
Shena yang masih bingung tidak langsung bergerak, dia menatap pada Kastara.
“Kau yang melakukannya? Jawab aku Kastara,” seru Shena memaksa.
“Kita dijebak, Nona …. Iya, aku yang melakukannya karena aku juga dalam pengaruh obat yang aku tidak tahu siapa pelakunya !” seru Kastara dengan emosi yang meningkat.
“Kenapa kau marah? Aku yang harusnya marah! Aku sudah kehilangan keperawananku! Kau mengerti tidak! keperawanan itu bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang! Sekarang Papa pasti akan marah besar dan Stevan tidak akan mau menikahiku lagi! Dan … dan … aku akan ditertawakan seluruh penghuni kantor!” seru Shena dengan mimik yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Dia terkejut, takut, malu, tetapi juga marah!
Kastara melemparkan tubuhnya ke atas sofa lelah.
“Kita harus segera pergi dari sini, Nona. Entah siapa yang melakukan ini tetapi mereka memasang CCTV di kamar ini dan kurasa mereka merekam apa yang kita lakukan semalam. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu, Nona, tetapi itulah yang kuketahui sejauh ini,” jawab Kastara sedikit panik.
“Dan aku rasa saat ini Tuan Duarte pasti mencari keberadaanmu karena kau tidak pulang semalam,” lanjut Kastara lagi, tepat saat itu bunyi ponsel di atas meja terdengar nyaring.
Tanpa melihat layar, Shena sudah tahu siapa yang meneleponnya.
“Pa ….”
“Kau di mana Shena? Apa yang terjadi semalam? Di mana penjagamu?” tanya Iwan Duarte dengan suara lantang.
“Aku – aku di ho-hotel, Pa,” jawab Shena terbata.
“APA!! CEPAT PULANG SEKARANG!” seru Iwan Duarte memekakkan telinga, wajah lelaki setengah baya itu merah padam.
Shena terdiam. Dari suara ayahnya jelas sekali lelaki kesayangannya itu marah besar.
“Bagaimana ini, Kastara. Papa marah besar! Tetapi ini bukan kemauanku dan juga bukan salahku! Aku harus menjelaskan pada Papa bahwa kita dijebak,” seru Shena cemas. Ayahnya tidak mungkin marah kalau dia menjelaskan semuanya dengan detail bahwa dia dan Kastara hanyalah dua orang yang tidak bersalah sama sekali.
Dia yakin ayahnya akan mengerti.
Kastara tersenyum pasrah. Ini bukan masalah dia menabrak atau menghancurkan kendaraan yang dibawanya, tetapi ini masalah masa depan gadis ini yang telah dihancurkannya! Arrghh .. Kastara menyugar kepalanya dengan acak.
“Ayo kita pulang, Nona …. Maaf, aku tidak bisa menjaga Nona dengan baik,” ucap Kastara dengan senyum tipis.
Shena terdiam. Tetapi … perutnya lapar … krucuk … krucuk ….
“Kita makan dulu. Aku lapar, Kastara …,” ucap Shena dengan senyuman lebar yang dipaksakan.
Kastara terdiam, dalam hati dia sempat memaki gadis ini … bagaimana mungkin di saat tegang seperti ini dia malah merasa lapar? Dunia memang sudah gila! Tapi perut yang lapar jelas harus diisi biar mampu menghadapi segala tantangan.
“Pesan dan minta diantar ke kamar,” usul Kastara cepat.
“Ahya, kau benar,” jawab Shena menyetujui usul lelaki itu. Dia melangkah ke telepon yang ada di dekat kepala ranjang dan menekan nomor restoran.
Tidak sampai setengah jam sarapan pagi sudah diantar.
***
“Pa …,” sapa Shena pada Iwan Duarte yang ternyata menunggu kepulangan gadis itu di kursi depan rumahnya.
“Benahi pakaianmu dan pergi dari rumah ini! Aku tidak mau melihat mukamu lagi, dan jangan gunakan namaku lagi. Hubungan kita sudah putus. Mulai saat ini aku tidak memiliki anak bernama Shena. Kau mengerti!” seru Iwan Duarte keras tetapi datar tanpa ekspresi.
Shena terduduk lemas mendengar titah ayahnya.
Kastara terdiam.
***
“Pergi dari rumah ini, Shena! Aku tidak mau melihat tampangmu masih berada di sini!” seru Iwan Duarte keras.“Papa! Dengarkan aku dulu, Pa. kami dijebak, Pa. kami juga korban, Pa,” seru Shena membela diri dengan linangan air mata.“Aku tidak peduli kau dijebak atau pun tidak, kau sudah mencoreng nama baikku. Kau anak jahanam!” seru Iwan tegas.Air mata mengalir semakin deras saat Shena menyadari ayahnya bahkan mengumpat dirinya dengan tegas. Ya Tuhan, ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan akan menimpa dirinya.“Kau, Kastara! Tidak ada gaji maupun bonus! Kau sudah gagal dalam tugasmu! Pergi jauh-jauh dari sini, aku tidak mau melihat tampangmu juga dia!” seru Iwan mengusir Kastara juga Shena.Kastara hanya diam dan mengangguk. Dia hanya bekerja di sini … tetapi diusir seperti seorang pencuri seperti ini rasanya sakit sekali.Dia menghela napas.“Bawa dia pergi!” hardik Iwan menunjuk Shena yang masih belum bergerak dari posisinya sejak datang tadi.“Nona ….” Kastara men
“Iya, ke kampungku, Shena. Memangnya kau punya berapa banyak uang untuk bertahan di kota metropolitan ini? ini saja kita hanya menginap di motel. Kau tahu berapa hotel-hotel yang biasa kau dan ayahmu menginap satu malam? Anggap saja kau memiliki uang, tahan berapa lama hanya untuk membayar hotel? Belum makan, anggap saja hotel memberikan free breakfast, lalu makan siang dan malam? Jangan kau katakan kau hanya akan makan satu kali dalam sehari,” oceh Kastara panjang lebar.Shena terdiam mendengar ocehan Kastara. Memang masuk akal semua yang dikatakan Kastara, tapi di mana letak kampung itu? Seberapa jauh dari kota?“Di – mana letak – kampungmu, Kastara? Jauh kah dari sini?” tanya Shena pelan. Dia tidak sanggup membayangkan hidup di kampung, yang harus berjalan kaki kemana-mana, jalan berdebu dan tidak di aspal, iuuhh! Baru membayangkannya saja, kakinya langsung terasa lemas. Bagaimana ini?
Untuk pertama kalinya, Shena merasakan enaknya berada di atas kereta api. Selama ini dia hanya pernah naik kereta gantung dan kereta api cepat di luar negeri.“Ternyata enak juga naik kereta api, Kastara. Apa aku bisa tidur di sini?” tanya Shena pada lelaki yang sejak tadi hanya diam menatap pemandangan yang berlari cepat di samping jendela gerbong.Kastara tidak menyahut, dia hanya mengangguk. Shena langsung meraih ransel Kastara untuk dijadikan bantal kepala. Dan lagi-lagi lelaki itu hanya diam seribu kata membiarkan Shena melakukan apa yang ingin dilakukannya.“Kau tidak ingin tidur?” tanya Shena sambil membenahi ransel itu agar terasa agak tak nyaman di kepalanya.“Tidak. Kau tidur saja, aku akan berjaga di sini,” jawab Kastara datar. Shena menatapnya dengan pandangan yang tak dipahaminya sendiri.“Memangnya apa ada penjahat di sini?
Selesai makan, Kastara mengajak Shena untuk kembali ke gerbong mereka. Tetapi gadis itu menolak, dia msih ingin berada di gerbong makanan ini karena dari jendela yang ada di gerbong makanan itu mereka bisa mendapatkan pemandangan di luar dengan lebih leluasa. Tidak ada tirai-tirai yang ditutup seperti di gerbong mereka karena cuaca yang panas di luar.Kastara hanya bisa menuruti keinginan gadis muda itu. Tiba-tiba ponsel yang ada di kantong celananya bergetar, dia segera mengangkatnya.“Ada apa?” sapa Kastara pendek tanpa melihat layar lagi, dia sudah tahu siapa yang menghubunginya.Lalu terdengar suara samar-samar dari seberang ponsel. Shena mengernyit, suara wanita … siapa dia? Gadis itu mendekatkan telinganya ke arah Kastara untuk mencoba mendengar. Tetapi sampai ponsel dimatikan dia sama sekali tidak memperoleh info tentang siapa yang menghubungi penjaga-nya itu.“Ayo kit
“Aku tidak menyumpahimu, Nona Shena, hanya mengingatkan agar kau jangan berbicara saat sedang makan. Kau kan tidak tahu apa yang akan kau telan atau tertelan seperri tadi. Lagi pula tersedak makanan itu berbahaya, kau bisa kehilangan nyawa tanpa bermaksud untuk bunuh diri. Kau bisa meihat data berapa banyak orang yang meninggal gara-gara tersedak,” balas Kastara panjang lebar. Lalu dia menarik napas sebelum melanjutkan makannya yang tertunda.Shena mendelik.“Iya—iya … profesor Kastara, aku mengerti,” jawab Shena sewot.Kastara tertawa melihat kelakuan gadis itu yang mendelik dengan mata yang membulat.Selesai makan, Kastara mengambil ranselnya dan mengeluarkan jaket tebal untuk digunakannya sebagai bantal. Dia mengantuk.“Kau mau apa?” tanya Shena melihat ransel yang empuk menjadi kempes.“Aku mau tidur. Karena kau sudah tidur lama, jadi gantian kau yang berjaga, Shena,” jawab Kastara santai sambil menguap lebar.“Haaa?” Shena terkejut ketika Kastara menyurunya untuk berjaga. Belum p
“Masih satu jam lagi. Baiklah ayo kita makan dulu sebelum kereta tiba di stasiun. Nanti akan susah mencari makan jika sudah berkendara,” ajak Kastara sambil berdiri dan merapikan pakaiannya yang lusuh karena tidur tadi.”Shena mengangguk cepat dan langsung mengikuti Kastara yang sudah berjalan lebih dulu darinya.Begitu memasukki gerbong makanan, mereka langsung disambut dengan aroma makanan yang super sedap hingga membuat perut Shena kembali berdendang.“Aku mau nasi goreng kemarin, Kastara,” bisik Shena cepat sambil melirik ke deretan kursi yang penuh dengan penumpang kereta karena sekarang memang jam sarapan pagi.Kastara mengangguk. Dia melihat sambil mencari meja kosong, tetapi sepertinya di jam-jam begini tidak ada meja dan kursi yang kosong.Setelah memesan dua nasi goreng dan dua jus jeruk, Kastara juga mengambil beberapa gorengan dan kue-kue
“Apa maksudmu membawa gadis itu pulang, Kastara!” suara Tuan Bastian Kusuma menggelegar memenuhi seluruh ruang makan menandakan bahwa dia tidak senang dengan keputusan Kastara membawa Shena ke rumah.“Dia diusir dari rumah gara-gara kesalahanku, Pa. Sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab. Bukankah itu yang selalu Papa tegaskan padaku?” jawab Kastara tegas. Bukan berniat membantah ayahnya tetapi dia hanya melakukan apa yang dia anggap sebagai tanggung jawabnya.“Tanggung jawab?!?” Batian tertawa menyindir.“Tanggung jawabmu itu ada pada Alina, Kastara! Kau sudah dijodohkan sejak kalian dalam kandungan! Bukan gadis antah berantah itu! Kalau kau bisa menyentuhnya berarti dia bukanlah gadis baik-baik. Pulangkan dia ke kota. Papa tidak mau dia di sini. Lalu nikahi Alina. Dia dengan sabar menunggumu kembali dari kota, Kastara! Jangan ragukan kesetiaan seorang wanita,” Sent
“Heii … rapatkan mulutmu itu sebelum nyamuk dan lalat masuk ke mulutmu, Shena! Aku tdak terlalu menarik sampai kau melongo seperti itu,” ucap Kastara tertawa melihat gadis itu melongo melihatnya yang baru keluar dari kamar mandi.Shena terkejut dan dengan cepat menutup mulutnya dan tidur dengan selimut menutupi kepalanya. Dia malu. Wajahnya pasti memerah seperti tomat saat ini.‘Ya ampun, Shena! Kau seperti tidak pernah melihat tubuh lelaki saja. Apa kau tidak ingat sudah melakukan intim dengannya?’ seru suara di kepala Shena dengan keras.“Sudah, tidurlah dulu. Kau pasti lelah sekali setelah kemarin tidur di kereta yang berjalan,” ucap Kastara naik ke ranjang dan menarik selimut setelah mengecilkan suhu AC di kamarnya.“Kastara … apa aku membuatmu terlibat dalam masalah serius? Ayahmu marah? Aku mendengar suaranya,” bisik Alana dari balik