“Apa kamu lupa dengan perintahku tadi?!”Aleeta tersentak kaget dan bangkit duduk. Pintu kamarnya terbuka secara kasar, dan tubuh Nicholas berdiri di sana. Mata pria itu menatapnya tajam.Wanita itu tidak mampu menjawab. Bukanya Aleeta lupa dengan perintah Nicholas, hanya saja selesai mandi tadi, Aleeta merasa sedikit kelelahan. Ia baru sampai di rumah Nicholas sekitar jam setengah dua belas malam, butuh hampir satu jam perjalanan dari Cafe Thomas ke rumah Nicholas. Cukup lama memang. Karena rumah Nicholas berada di pusat kota.Lagipula untuk apa sih pria itu meminta Aleeta untuk datang ke kamarnya segala?“Maaf, aku hanya—“Aleeta kembali mengerjap ketika Nicholas menendang pintu kamarnya hingga tertutup.“Apa yang kamu lakukan?” Tanya Aleeta panik.Nicholas menyeringai, berjalan perlahan mendekati ranjang tempat tidur Aleeta. “Setelah aku pikir-pikir, memang sebaiknya kamu jangan pernah menginjakkan kaki
“Tuhan ... Aku sudah nggak sanggup lagi.” Aleeta merintih dengan suara penuh luka.Ketika tidak ada lagi air mata yang tersisa untuk di keluarkan, saat itulah seseorang memilih untuk menyerah karena tidak mampu lagi bertahan. Apa yang akan kamu lakukan jika kamu lelah dengan keadaan, tetapi kamu di tuntut untuk tetap bertahan?Tidak ada. Sudah saatnya ia berhenti berjuang. Saat perjuangannya pun tidak pernah di hargai oleh orang lain. Sudah saatnya Aleeta menyerah. Jika hidup sudah terasa begitu berat baginya, maka lebih baik ia mengakhirinya saja.Aleeta beranjak duduk, ia mengusap sisa cairan Nicholas yang tadi sempat menetes keluar dari mulutnya dengan gerakan kasar. Ia segera melangkah dengan tatapan kosong menuju dapur. Tidak ada siapa-siapa di luar. Mungkin Nicholas sudah kembali ke kamarnya setelah puas menuntaskan nafsunya tadi.Aleeta berdiri di dapur, menatap sebilah pisau yang ada di sana. Apalagi yang ia harapkan? Berharap Nicholas akan muncul dan mencegahnya? Aleeta ra
Aleeta berjalan keluar dari kamar inap itu seraya mengancing jaket hingga ke leher. Ia lalu menaikkan tudung jaket hingga menutupi kepalanya. Dengan bertelanjang kaki, ia melangkah tergesa dengan kepala tertunduk. Menyusuri koridor rumah sakit untuk mencari jalan keluar. Wanita itu mendesah ketika sudah berhasil keluar dari gedung rumah sakit. Rupanya hari masih sangat pagi. Ia segera berlari menyusuri jalan raya tanpa alas kaki. Aleeta mengenali jalanan ini. Jalan yang searah dengan rumah Nicholas. Aleeta ingat karena kemarin ia lewat jalan ini ketika Nicholas membawanya pulang. Gawat.Jika rumah sakit ini dekat dengan rumah Nicholas, maka pria itu bisa saja menemukannya di sini. Aleeta menggeleng, lalu semakin berlari cepat, tidak berhenti meski hanya sekedar untuk menoleh. Aleeta harus pergi menjauh dari tempat ini.Ia meringis ketika kakinya beberapa kali menginjak kerikil kecil yang ada di pinggir jalan. Aleeta memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Ia terdiam saat mer
“Mira, hari ini aku pinjam bajumu terlebih dahulu, ya. Besok janji akan aku kembalikan.” Kata Aleeta ketika ia keluar dari ruang ganti bersama Mira.Pagi tadi Aleeta sempat meminjam ponsel Thomas untuk menghubungi Mira supaya wanita itu membawakan pakaian ganti untuknya. Aleeta tahu jika ukuran bajunya dan Mira hampir sama. Jadi ia memutuskan untuk meminjam saja kepada Mira, daripada ia harus keluar ke jalanan dengan menggunakan pakaian rumah sakit lagi. “Santai saja, Aleeta. Aku masih punya banyak baju di rumah,” bisik Mira seraya terkekeh, dan Aleeta pun juga ikut terkekeh.“Hei, kalian. Cepatlah! Aku ingin segera pulang,” keluh Johan ketika melihat Mira dan Aleeta yang tengah berjalan ke arahnya.“Ck! Sabar kenapa, sih? Aku heran deh, Jo. Jangan-jangan alasan kenapa nggak ada wanita yang ingin jadi kekasihmu itu karena kamu orangnya nggak sabaran,” cibir Mira.Johan mendengus. “Jangan sok tahu!”“Sudah. Jangan ber
Keesokan harinya ketika Nicholas ingin sarapan. Ia melihat Aleeta yang sedang berdiri di bawah rangkaian anak tangga. Nicholas mengernyit. Apa yang di lakukan wanita itu? Apa dia sedang menunggunya?“Kembalikan ponselku.”Nicholas hanya melirik dengan sebelah alis terangkat ketika Aleeta mengatakan hal tersebut.“Kamu nggak dengar, ya. Aku bilang kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawa ponselku, kan?” Aleeta mengejar Nicholas yang tidak menanggapi ucapannya. Pria itu justru memilih untuk tetap berjalan ke arah ruang makan.“Nicho kembalikan—““Jangan panggil aku seperti itu!” Ketus Nicholas.Pria itu berhenti secara tiba-tiba hingga membuat Aleeta yang berjalan di belakangnya hampir saja menabraknya. Aleeta langsung bernapas lega karena gerak refleksnya bisa berfungsi cepat kali ini.“Baiklah, Tuan Nicholas. Tolong sekarang juga kembalikan ponselku. Aku tahu kamu yang membawanya,” ujar Aleeta dengan
“Emily? Tumben sekali kamu datang ke sini?” Nicholas mengernyit ke arah Emily yang baru saja datang ke kantornya. Selama ini, adiknya itu jarang sekali berkunjung jika tidak ada urusan yang penting. Karena Emily sendiripun juga memiliki pekerjaan, sebagai pemilik butik ternama di pusat kota. “Hm.” Wanita berwajah datar itu hanya bergumam seraya mendudukkan dirinya di sofa yang ada di dalam ruangan kerja kakaknya. Menyilangkan kaki, seraya mengamati kuku jarinya yang lentik. Nicholas mendengus. “Kalau nggak ada hal yang penting lebih baik kamu pulang saja. Aku punya banyak—“ “Bagaimana keadaan istrimu, Kak?” Emily menyela cepat. Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Untuk apa kamu menanyakan hal itu?” “Memangnya kenapa? Nggak ada salahnya kan kalau aku ingin tahu keadaan Kakak iparku,” sahut Emily seraya merebahkan punggung di sandaran sofa. “Keadaannya bukanlah urusanmu,” u
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” Aleeta segera beranjak dari tempat duduknya. “Nicholas.”Tubuh Aleeta seketika terasa begitu kaku. Bagaimana bisa Nicholas sampai di tempat ini? Bagaimana bisa pria itu begitu nekat mencarinya hingga ke Cafe Thomas? Aleeta lalu melirik ke arah Mira dan Johan. Mereka berdua tampak begitu kaget dan juga bingung dengan kehadiran Nicholas.“Nicho—““Tutup mulutmu dan ikut aku sekarang!” Nicholas segera mendekati Aleeta, hendak menyeret lengan wanita itu.“Nggak. Aku masih harus bekerja, Nicho.” Aleeta berhasil menghindar.Nicholas tersenyum sinis. “Jadi kamu benar-benar berani melawan perintahku, ya?”“Aku nggak melawanmu,” balas Aleeta cepat. Sementara Mira dan Johan masih diam mematung di tempat mereka.Semua yang terjadi saat ini sangatlah di luar dugaan. Siapa yang tidak mengenal Nicholas Axel Frederick? Mira dan Johan pun juga tahu kalau keluarga pria itu adalah orang ter
“Nicholas, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Karina begitu melihat putranya yang tengah duduk di depan ruang operasi.Tadi Nicholas terpaksa memberitahu kabar tentang kecelakaan Aleeta, karena Emily terus saja menghubunginya. Alhasil, saat ini Mama, Papa dan adiknya menyusul ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Aleeta.“Aku nggak tahu, Ma,” jawab Nicholas pelan.Karina menggeleng. “Jangan bilang kalau kejadian ini kamu yang sengaja melakukannya.”Nicholas segera mendongak, menatap ibunya yang sedang menatap marah padanya. “Demi Tuhan, aku nggak melakukan apapun, Ma.”“Jangan berbohong, Nicholas!” Karina menjerit seraya memegangi dadanya. “Ma, tenanglah.” Emily segera mendudukkan ibunya di kursi tunggu. Sementara Karina mulai menangis.“Mama tahu kamu membenci Aleeta, Nicholas. Sejak awal Mama sudah bilang, supaya kamu jangan menikahinya. Karena pernikahanmu pasti hanya akan membuat Aleeta terluka,” uj
Aleeta sampai di rumah saat jam hampir menunjuk di angka sebelas malam. Sepi dan sunyi. Aleeta baru sadar kalau ternyata rumah yang selama beberapa bulan ini ia tempati suasananya jauh terasa lebih sepi di saat malam hari seperti ini. Ia lalu menatap sekeliling rumah yang sudah tampak gelap. Itu karena mungkin Mary sudah tidur dan mematikan semua lampu yang ada di rumah. Seraya mendesah lelah, Aleeta memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke arah tangga. Namun, belum sempat kakinya menginjak tangga. Tiba-tiba Aleeta mendengar suara perutnya berbunyi.“Sial. Padahal aku tadi sudah makan. Tapi kenapa aku lapar lagi?” Gumam Aleeta seorang diri.Akhirnya, dengan terpaksa Aleeta mengurungkan niat untuk masuk ke kamar. Dan memilih untuk berjalan menuju dapur. “Mari kita lihat. Apa yang bisa aku makan di sini,” ujar Aleeta pelan.Pasalnya saat ia menghubungi Mary tadi. Aleeta sudah terlanjur mengatakan supaya Mary tidak perlu menyiapk
Lukas masih terdiam. Wajahnya hanya datar tanpa ekspresi apapun. Ia lalu menatap Aleeta yang sudah kembali menunduk, mengaduk-aduk makanannya tanpa minat. Lukas jelas bisa melihat sorot kesedihan dari wajah Aleeta.Ternyata itu alasan Nicholas pulang ke apartemen kemarin. Pikir Lukas.Dari awal Lukas memang sudah menduga kalau Nicholas pasti tengah ada masalah dengan Aleeta. Tapi Lukas tidak menyangka kalau masalah itu bisa membuat Nicholas sampai memutuskan untuk pergi dari rumah. Memangnya masalah apa lagi kali ini? Perasaan mereka sudah tampak baik-baik saja beberapa waktu belakangan ini. Lukas lalu mendesah. Sebenarnya ia tidak ingin ikut campur ke dalam masalah Nicholas dan Aleeta. Tapi kalau melihat wajah Aleeta yang sedih seperti itu Lukas menjadi tidak tega.“Aleeta ...,” Lukas memanggil Aleeta pelan.“Hm.” Aleeta hanya bergumam, masih dengan menunduk. Menatap makanannya.Lagi-lagi Lukas kembali mendesah. Ia meletakkan s
“Lukas? Sedang apa kamu di sini?”Aleeta menatap Lukas yang langsung saja tersenyum ke arahnya. Rasanya sudah lumayan lama Aleeta tidak bertemu dengan Lukas. Sedikit terkejut dan senang juga sebenarnya, karena akhirnya Aleeta bisa kembali bertemu dengan pria yang dulu hampir setiap hari bersedia datang menjenguknya di saat sakit.“Seharusnya kamu nggak bertanya seperti itu,” sahut Lukas datar.Aleeta hanya mendengus. Sudah lama tidak bertemu ternyata sifat Lukas masih saja belum berubah. “Lalu aku harus bagaimana?” Tanya Aleeta seraya duduk di kursinya sendiri.“Ya seharusnya kamu mengatakan perasaan senangmu karena akhirnya bisa bertemu lagi denganku. Bukankah begitu?”Aleeta mengernyit. Sial. Bagaimana Lukas bisa tahu kalau ia tadi sempat merasa senang saat bertemu dengan pria itu?“Ck! Jangan berharap,” cetus Aleeta yang langsung membuat Lukas terkekeh.“Ah, rupanya kamu belum berubah ya, Ale
Hal terburuk yang tidak ingin Aleeta rasakan di pagi ini adalah, ia harus menerima kenyataan bahwa Nicholas benar-benar tidak pulang semalaman. Ia harus terbangun seorang diri tanpa ada Nicholas di sampingnya. Aleeta menatap layar ponselnya dengan matanya yang masih terasa perih. Bahkan puluhan panggilannya yang sejak kemarin pun juga masih tak kunjung juga di balas oleh Nicholas. Tanpa berpikir panjang, Aleeta segera menekan nomor Nicholas. Berharap pagi ini Nicholas mau mengangkat panggilannya. Tapi lagi-lagi Aleeta harus menerima kenyataan pahit saat Nicholas tak kunjung menjawab panggilannya juga. Mendesah putus asa. Aleeta segera beranjak turun dari atas tempat tidur. Berjalan dengan langkah gontai menuju kamar mandinya. Jika biasanya di pagi hari seperti ini Aleeta akan bersemangat pergi ke dapur untuk membantu Mary memasak. Tapi kali ini ia sama sekali tidak bersemangat untuk melakukannya. Salah satu alasan Aleeta bersemangat menginjakkan kaki
“Aku ingin pulang.” Victor berujar sembari menyambar gelas minuman yang ada di depan Lukas “Kenapa terburu-buru sekali? Apa burungmu sudah nggak sabar ingin di lepaskan dari sangkarnya, hm?” Victor segera menggeleng. “Bukan, Luke. Yang benar, burungku sudah nggak sabar ingin bermain-main di dalam guanya,” ujarnya sambil terkekeh.“Kamu yakin gua kali ini bisa membuat burungmu senang?” Tanya Lukas.“Bukan hanya senang, melainkan puas.” Victor lalu mendekati Lukas. “Dia bilang, dia masih perawan,” ujarnya sambil terbahak.“Berengsek!” Nicholas yang mendengar percakapan bodoh dari kedua saudaranya itu hanya mampu mengumpat. Seperti tidak ada percakapan lain saja yang bisa mereka bicarakan. Kenapa juga harus membicarakan burung dan juga gua? Sial. Benar-benar hanya membuat Nicholas jengkel saja.“Dan apa kamu akan percaya begitu saja dengan apa yang wanita itu katakan?” Lukas kembali bertanya.Victor menggeleng. “Nggak juga. Makanya, aku ingin membuktikannya.” Mereka berdua lalu kembal
Nicholas menoleh saat mendengar suara pintu ruangannya di ketuk. Dan saat pintu itu terbuka ternyata ada Ella yang sedang berdiri di sana.“Ada apa?” Nicholas segera bertanya datar.“Begini, Tuan ...,” Ella terlihat canggung di tempatnya. “Apa pekerjaan Tuan Nicholas masih banyak? Jika iya, saya bersedia membantu supaya pekerjaan Tuan bisa segera selesai. Saya—““Kamu pulang saja.”“Ha?”“Aku bilang, kamu pulang saja,” ulang Nicholas datar.Pria itu lalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Hampir tengah malam. Ia tahu kalau Ella sudah tidak memiliki pekerjaan sejak beberapa jam yang lalu. Tapi sekretarisnya itu tetap saja bersikeras untuk menemaninya lembur. “Tuan yakin menyuruh saya pulang? Saya benar-benar bersedia membantu kalau Tuan masih memiliki banyak—““Sudah aku bilang, kamu pulang saja. Kamu ingin aku mengulang kalimat itu sampai berapa kali, ha?” Nicholas menatap tajam pada Ella yang langsung menciut.“M-maaf, Tuan. Saya hanya benar-benar berniat untuk
“Kamu baik-baik saja, Kak?”Emily bertanya cemas pada Aleeta. Ia akui, sejak tadi ia memang terus memerhatikan gerak-gerik kakar iparnya tersebut yang terlihat sedikit berbeda. Aleeta terlihat tidak fokus, sering melamun, dan memasang raut wajah sedih seharian ini.“Ya.” Aleeta berusaha memberikan sebuah senyuman dari wajahnya yang terlihat pucat.“Kalau kamu sakit, lebih baik istirahat di rumah saja tadi, kak. Nggak usah memaksakan diri untuk berangkat.” “Nggak, Emily. Ini hanya efek datang bulanku saja. Percayalah, aku nggak apa-apa.” Aleeta berujar seraya mengecek gambar yang di berikan oleh Emily. “Lagipula pekerjaan kita sangat banyak hari ini. Jadi, kamu pasti akan membutuhkan bantuanku.”Emily diam sejenak. Ia sudah menduga hal ini sejak pagi tadi. Tapi ia masih ragu untuk menanyakannya. “Kak Aleeta ...,” kakak iparnya itu langsung menoleh ke arahnya. “Apa kamu bertengkar dengan kak Nicholas?”Aleeta langsung
Taksi yang di tumpangi Aleeta berhenti di depan butik Emily tepat saat jam sudah menunjuk di angka sembilan pagi. Aleeta tahu ini memang sudah terlambat dari jam datangnya pada hari-hari biasanya. Tapi tadi Aleeta sudah meminta Mary untuk menghubungi adik iparnya itu untuk mengatakan kalau dirinya memang akan datang terlambat hari ini. Dan Aleeta yakin, Emily pasti tidak akan keberatan.“Pagi.” Aleeta menyapa para karyawan adik iparnya yang sudah mulai bekerja.“Pagi, Nona Aleeta.” Mereka tampak menjawab kompak.“Kak Aleeta!”Aleeta segera menoleh saat mendengar suara Emily memanggilnya. Aleeta berusaha memasang senyumnya saat adik iparnya itu mulai mendekat.“Kak, kenapa kamu lama sekali? Padahal kan aku ...,” tiba-tiba Emily menghentikan kalimatnya. Kedua matanya mengamati wajah Aleeta dengan lekat. “Kamu baik-baik saja kan, Kak?”“Ya. Tentu saja.” Aleeta berusaha menjawab setenang mungkin. Tak lupa ia juga kembali
Aleeta hanya bisa diam membeku di tempatnya. Rasanya ia seperti di tampar oleh kata-kata yang di ucapkan Nicholas barusan. Kenapa Nicholas bisa berkata seperti itu? Kenapa Nicholas bisa kecewa padanya? Meski masih membingungkan, tapi entah kenapa hati Aleeta ikut terasa sakit ketika mendengarnya. “Nicho ...,”“Jangan sentuh aku,” peringat Nicholas ketika Aleeta hendak menyentuh tangannya.Sementara Aleeta hanya bisa menarik kembali tangannya, kemudian meremasnya pelan.“Kenapa kamu bisa mengatakan kalau kamu kecewa padaku, Nicho?” Aleeta bertanya pelan.Nicholas memicing. “Kamu masih bertanya kenapa? Dengar, Aleeta. Aku sudah bilang kalau aku nggak suka orang yang membohongiku. Dan kamu pikir setelah apa yang kamu lakukan aku nggak kecewa padamu, begitu?!”Aleeta menunduk. “Tapi, bukankah aku sudah menjelaskannya. Semua ini untuk kita, Nicho. Supaya nggak ada lagi rasa sakit yang bertambah di antara kita berdua.”