Nicholas menghela napas saat mobil yang ia kendarai berhenti di halaman depan rumahnya. Ia menatap rumah megah yang berdiri kokoh di depan matanya tersebut. Nicholas sudah terbiasa dengan adanya kehangatan dan kehidupan di dalam rumahnya. Dan di saat dua hal itu menghilang, kini rumahnya kembali lagi terlihat gelap dan sunyi. Meski dulu keadaan itu adalah hal yang biasa bagi Nicholas. Tapi tidak untuk beberapa bulan terakhir ini.
Menunduk sejenak sebelum kemudian Nicholas melangkah keluar mobil. Melangkah pelan memasuki rumahnya. Dan lagi-lagi setiap kali Nicholas menginjakkan kaki di rumahnya, ingatan akan Aleeta pasti akan langsung kembali menyeruak.Nicholas terus melangkah menuju ke dalam kamar. Satu-satunya ruangan yang selama ini ia tempati bersama dengan Aleeta. Namun, beberapa waktu belakangan ini hanya tinggal Nicholas sendiri yang menempati kamar itu, karena kini Aleeta sudah pergi dan Nicholas tidak tahu ia kemana. Lukas membawa Aleeta pNicholas menatap jalanan kota yang sudah empat tahun lamanya tidak pernah ia lihat lagi. Padahal dulu setiap hari Nicholas pasti selalu melewati jalan tersebut. Setiap berangkat maupun pergi ke kantor. Atau setiap ia hendak pergi berkunjung ke rumah orang tuanya. Nicholas tersenyum tipis seraya bersandar di jendela kaca mobil yang ia tumpangi. Sementara Mark—anak buahnya tengah fokus mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang.Ternyata sudah ada banyak sekali hal yang berubah selama Nicholas tidak tinggal di sini. Bangunan-bangunan baru, taman dan beberapa hal lainnya yang semuanya tampak asing di mata Nicholas.Pria itu lalu menghela napas, dan memilih untuk memejamkan mata di sisa perjalanan menuju rumahnya.Ya, Nicholas memang memilih untuk mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Ia sengaja tidak memberitahu keluarganya soal kepulangannya ini. Ck! Lagipula untuk apa Nicholas memberitahu keluarganya? Mereka pasti juga tidak akan memed
Empat tahun kemudian …..Alarm berbunyi, Nicholas melenguh dengan mata terpejam. Ia meraba nakas lalu mematikan alarm, membuka mata dan berbaring tengkurap, memeluk bantal lebih erat.Sial. Rasanya ia baru tertidur selama dua jam. Ia menenggelamkan wajah di bantal. Dan beberapa saat kemudian Nicholas mendengar ponselnya berbunyi.Ah, sial!Ia meraba nakas dan memicing, menatap nama Emily yang melakukan panggilan video call.“Hm.” Nicholas menjawab seraya berbaring tengkurap di ranjang, kepalanya berbaring miring, sebelah wajahnya tenggelam di atas bantal.“Kamu masih tidur, kak?”“Menurut kamu?”Emily langsung tertawa. “Di sana sudah jam sembilan, kan?”“Entahlah,” jawab Nicholas sekenanya.“Kak Nicholas akan pulang untuk ulang tahun Freyya dan Arcelio, kan?” “Hm, nanti akan aku pikirkan.”
Nicholas menghela napas saat mobil yang ia kendarai berhenti di halaman depan rumahnya. Ia menatap rumah megah yang berdiri kokoh di depan matanya tersebut. Nicholas sudah terbiasa dengan adanya kehangatan dan kehidupan di dalam rumahnya. Dan di saat dua hal itu menghilang, kini rumahnya kembali lagi terlihat gelap dan sunyi. Meski dulu keadaan itu adalah hal yang biasa bagi Nicholas. Tapi tidak untuk beberapa bulan terakhir ini.Menunduk sejenak sebelum kemudian Nicholas melangkah keluar mobil. Melangkah pelan memasuki rumahnya. Dan lagi-lagi setiap kali Nicholas menginjakkan kaki di rumahnya, ingatan akan Aleeta pasti akan langsung kembali menyeruak. Nicholas terus melangkah menuju ke dalam kamar. Satu-satunya ruangan yang selama ini ia tempati bersama dengan Aleeta. Namun, beberapa waktu belakangan ini hanya tinggal Nicholas sendiri yang menempati kamar itu, karena kini Aleeta sudah pergi dan Nicholas tidak tahu ia kemana. Lukas membawa Aleeta p
“Bagaimana kabarmu, Nich?”Nicholas mengerjap, lalu menatap Selena yang saat ini masih berdiri di hadapannya.“Kabarku …,” Buruk, Selena. Sangat buruk. “Baik. Kamu sendiri?” Kata Nicholas menatap Selena.“Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik-baik saja. Oh iya, kamu sedang nggak terburu-buru kan, Nich?”Nicholas menggeleng pelan. “Nggak. Memangnya kenapa?”“Nggak apa-apa, sih. Hanya saja tadi kamu terlihat ingin kembali keluar. Jadi aku pikir kamu sedang terburu-buru ingin pergi.” Kata Selena. Sementara Nicholas hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. “Kalau kamu sedang nggak ingin pergi. Bagaimana kalau kamu duduk terlebih dahulu? Sudah lama sekali kan kamu nggak pernah minum Americano buatanku?” Imbuh Selena yang kali ini langsung membuat Nicholas terkekeh.“Baiklah. Sepertinya idemu cukup menarik. Buatkan satu Americano untukku,” ujar Nicholas kemudian.Selen
Nicholas mengerang pelan entah untuk yang keberapa kalinya. Setiap ia berusaha untuk fokus, pasti selalu gagal. Pekerjaannya yang menumpuk tidak bisa terselesaikan dengan baik. Padahal ada banyak sekali laporan yang harus segera ia selesaikan hari ini. “Sial!” Umpat Nicholas. Pria itu memijat pelipisnya. Berusaha mengendalikan diri agar bisa kembali fokus bekerja. Tapi tetap saja. Nicholas tidak bisa melakukannya. Mata Nicholas lalu beralih pada sofa yang ada di ruang kerjanya. Berpikir sejenak, sebelum kemudian Nicholas berdiri dan berpindah duduk di sofa tersebut. Merebahkan dirinya di sana. Mata Nicholas menatap nyalang pada langit-langit ruang kerjanya. Ia benar-benar lelah dengan keadaan ini. Ia sangat capek dan ingin istirahat. “Ya Tuhan …,” gumam Nicholas seraya mengusap wajahnya kasar. “Bolehkah aku beristirahat sebentar saja?” Dengan perlahan, Nicholas mulai memejamkan m
Nicholas hanya terdiam seraya menatap Karina yang tengah menangis sedih di hadapannya. Meski cerita Karina terdengar begitu meyakinkan. Tapi entah kenapa hati Nicholas terasa enggan untuk menerimanya. Nicholas enggan mempercayainya. “Mama pasti berbohong, kan?” Tanya Nicholas datar. “Mama tidak berbohong, Nich. Semua yang Mama ceritakan adalah kebenaran bahwa anak yang di kandung Sesilia itu bukanlah anak kamu, melainkan anak dari pria lain,” terang Karina menatap putranya lekat. Nicholas menggeleng. “Nggak. Nggak. Nggak mungkin. Mama pasti berbohong.” “Untuk apa Mama berbohong padamu, Nich? Sesilia sendiri yang mengatakan hal itu kepada Mama.” “Aku masih nggak percaya.” Karina menunduk, menangis. “Lalu, kepada siapa kamu akan percaya? Jika tidak ada satu pun kejujuran yang kamu percayai, pada siapa kamu akan percaya?” Nicholas hanya diam