Hujan turun perlahan di luar jendela rumah sakit, mengetuk kaca seolah ikut merasakan duka yang menggantung di ruangan itu. Langit kelabu, seperti perasaan Alya yang merambat hancur sejak semalam. Aroma antiseptik memenuhi udara, menyatu dengan ketegangan yang menyesakkan dada.Alya duduk di tepi ranjang rumah sakit, menggenggam erat tangan keriput ibunya yang masih terbaring lemah. Selang infus menusuk nadi tua itu, dan alat bantu pernapasan berdesis pelan, menandai detak kehidupan yang rapuh. Sorot mata Alya sayu, sembab, dan tak ada lagi sisa senyum yang biasanya menghiasi wajahnya. Yang tertinggal hanya kepiluan.Pintu diketuk pelan. Hanya dalam diam antara dirinya dan Safa, adiknya. Saling merenungi kejadian mendadak yang menimpa ibu mereka. Alya tak menoleh. Tapi langkah cepat dan ringan itu terlalu familiar untuk diabaikan."Al," suara lembut itu memanggil.Vira.Alya menahan napas sejenak, lalu menoleh. Matanya bertemu dengan sahabatnya yang berdiri di ambang pintu, mengenak
Hujan baru saja reda ketika mobil sedan hitam itu melaju pelan di jalanan yang masih licin oleh sisa air. Jarum jam digital di dashboard menunjuk pukul 22.00 tepat. Evan menghembuskan napas panjang saat mobilnya akhirnya memasuki area kompleks perumahan. Wajahnya letih, namun matanya menyiratkan keresahan yang lebih dalam dari sekadar kelelahan kerja.Kemacetan yang dia alami tadi benar-benar menguji kesabarannya. Kecelakaan beruntun di jalan tol membuatnya terjebak selama hampir satu jam lebih. Padahal, dia sudah mempercepat langkahnya sejak menerima kabar dari asistennya tentang sesuatu yang menyangkut Alya dan Maya—kabar yang membuat dadanya sesak dan pikirannya melayang-layang.Begitu mesin mobil dimatikan, Evan segera keluar tanpa sempat membawa jas kerjanya yang tergeletak di kursi belakang. Ia membuka pintu depan rumahnya yang tidak dikunci, dan langsung disambut suara tawa kecil dari ruang keluarga."Cale...!"Anak laki-laki berusia lima tahun itu menoleh cepat, matanya langs
Langit Jakarta mulai menggelap ketika suara dering telepon membelah kesunyian di ruang kerja Evan. Ia baru saja selesai memeriksa laporan kerja sama dengan perusahaan Jepang ketika nama Tomi muncul di layar ponselnya.Pria yang memutuskan untuk tidur di rumahnya semalam itu memilih untuk pulang terlambat, sebab sedang memberi jarak pada Alya yang masih marah kepadanya. "Halo, Tomi. Ada apa?" suara Evan terdengar datar, namun tegas seperti biasanya.Tomi sedang berada di luar kantor untuk mengurus pekerjaan Evan, seba pria itu tak bisa meninggalkan pekerjaannya yang lain. “Tuan... Anda harus lihat ini.”“Video apa maksudmu?” tanya Evan penasaran. “Ini tentang Non Alya dan Maya,” jawab Tomi sedikit keraguan saat menyampaikan pesan pada atasannya itu. “Bicara yang jelas. Aku tak suka berbelit,” tuntut Evan agar Tomi segera menyampaikan. “Video yang baru saja viral. Maya—dia... dia mempermalukan Alya di depan umum, dan—di depan Tuan Muda Cale. Itu semua terekam dan tersebar di media
Pukul dua siang.Langit sudah berganti menjadi biru terang, matahari menyorot lebih tajam dari pagi tadi. Alya menghentikan mobilnya di depan rumah. Susan, pengasuh Cale, sudah menunggu dengan bocah itu yang langsung berlari menghampiri begitu melihat ibunya keluar dari mobil."Mama! Jadi ke playground?" tanya Cale dengan mata berbinar.Alya tersenyum lebar, menyambut anak itu dalam pelukannya. "Janji Mama tetap berlaku. Ayo kita pergi."Playground yang dituju terletak di dalam sebuah taman kota yang bersih dan rindang, tak terlalu jauh dari rumah. Tempat itu ramai oleh tawa anak-anak, ayunan yang berderit, dan teriakan kecil penuh keceriaan. Udara sore cukup bersahabat, dengan angin sepoi-sepoi mengusap dedaunan.Cale langsung melesat ke arah perosotan, diikuti oleh Susan yang sigap mengawasi. Alya memilih duduk di bangku taman, membiarkan dirinya menikmati kebebasan langka dari rutinitas.Namun, pikirannya tetap belum tenang. Di balik senyum Cale yang kini bahagia, ada bayang-bayang
Mentari pagi menyusup masuk lewat celah-celah tirai tipis di ruang makan rumah besar yang kini terasa sunyi. Aroma roti panggang dan telur dadar menyebar di udara, namun tak cukup menghidupkan suasana. Alya duduk di kursi makan, mengenakan blouse sederhana warna gading dan celana panjang hitam. Pasmina yang ia kenakan sudah membalut indah di atas kepalanya. Di hadapannya, duduk seorang bocah laki-laki berusia empat tahun yang sejak tadi hanya memandangi piringnya tanpa banyak bicara.Cale.Anak itu biasanya cerewet, penuh semangat menceritakan mimpi semalam atau rencana hari ini. Tapi pagi ini, ia hanya menggoyangkan sendoknya di atas piring, sesekali melirik ke arah kursi kosong di ujung meja."Mommy," katanya lirih, “Ayah Evan nggak sarapan sama kita ya?"Alya menegakkan punggungnya, mencoba tersenyum meski hanya seujung bibir. Ia memotong roti di piring Cale, lalu menjawab datar, "Om Evan sudah berangkat kerja sejak pagi,” kata sang ibu menjawab pertanyaan Cale yang sudah terlalu
Evan pun tak mau kalah dengan keinginan Alya sepihak. “Ya, aku tahu itu. Tapi akan lebih baik, jika Cale hanya menganggap kamu orang yang menjelma baik dan menerima dirinya menjadi ayah, bukan?” Alya tak mau kalah dengan Evan. Evan berusaha menahan diri atas kekeras kepalaan Alya. “Aku punya hak, begitu juga Cale. Dia berhak tahu.” “Sekarang kau bicara soal hak?” Nada suaranya naik. “Kenapa kau bicara hak, setelah perlaku__” Alya tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya. Ini bukan salah Evan. Tapi memang dirinya yang semula menyetujui perjanjian yang Evan buat demi ibunya. “Maaf, bukan kamu yang salah. Aku yang salah. Aku yang setuju terlibat kehidupan denganmu. Maka, aku pula yang ingin bertanggung jawab atas akibat yang terjadi padaku.”Alya menahan gemuruh di dada, kala mengingat waktu kelam yang membuat dirinya berada di kehidupan Evan. Alya menatap penuh permohonan pada Evan. “Tolong … biarkan Aku dan Cale hidup seperti semula. Itu akan lebih baik.”Lagi-lagi, Alya ingin seka
Rahasia yang Hampir TerbongkarMalam itu hujan turun dengan deras, membasahi jendela rumah mewah Evan hingga membentuk garis-garis bening yang mengalir pelan. Namun suara hujan tak mampu meredam ketegangan yang membungkus udara di antara Alya dan Evan saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah besar yang menjadi tempat tujuan Alya dan Cale pulang malam ini. Setelah makan malam yang jauh dari kata menyenangkan.Langkah Alya cepat. Tumit sepatunya mengetuk lantai dengan irama tergesa, menggambarkan amarah yang telah tertahan sejak duduk di meja makan bersama orang tua Evan. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, dan matanya... mata itu tak menoleh sekalipun ke arah Evan yang mengikuti di belakangnya dengan wajah muram.“Jangan mulai di depan Cale, Alya,” kata Evan perlahan, nadanya seperti permohonan, namun tetap terbungkus ketegangan. “Dia masih bangun.”Evan tak ingin melihat sang putra, melihat dirinya dan Alya melempar kata kasar yang akan berakhir sang anak mendengar kata yang tid
Alya berdiri kaku di depan rumah megah berarsitektur klasik Eropa yang menjulang tinggi di hadapannya. Pilar-pilar besar berwarna putih gading menjulang angkuh di sisi kanan-kiri bangunan. Lampu gantung kristal tampak menggantung di balik pintu kaca besar, memantulkan cahaya temaram yang memberi kesan hangat tapi juga intimidatif. Ia menggenggam tangan mungil Cale, seolah mencari pegangan yang justru kini mulai bergetar tak tenang.“Alya,” suara Evan terdengar lembut namun tegas, “ayo masuk. Mereka sudah menunggu.”Langkah Evan sempat terhenti saat Alya tetap berdiri mematung. Perempuan itu menunduk, menghindari tatapan pria yang kini menunggunya dua langkah di depan.“Aku nggak yakin ini ide yang baik,” gumam Alya, nyaris seperti bisikan. Jujur ia sama sekali tidak tahu niat yang Evan lakukan untuk mengajaknya makan malam bersama keluarganya. Evan menghela napas. Ia berbalik, menatap Alya dengan sorot yang sulit diartikan. Campuran antara harap, ragu, dan keyakinan yang nyaris mele
Di waktu yang sama, Evan memarkir mobilnya di depan rumahnya. Ia keluar dengan kemeja hitam elegan dan jaket panjang. Langkahnya mantap saat menghampiri pintu yang langsung terbuka untuk menyambut kehadirannya. “Tuan Muda sedang bersiap di kamar bersama pengasuhnya, Tuan Evan,” ujar ART yang baru saja menyambut kedatangan Evan dari kantor. Evan mengangguk, langkah lebarnya segera mengayun ke kamar di mana sang putra berada. Ia tak sabar untuk berjumpa dengan Cale yang sudah seharian ini dirinya tak berjumpa. Susan membuka pintu, mengangguk sopan pada Evan. Evan tersenyum begitu melihat Cale berlari ke arahnya, mengenakan setelan kecil yang dikirim sebelumnya."Kau tampan sekali malam ini, Boy," ujar Evan sambil mengangkat Cale dan memeluknya erat."Ayah yang kirim pakaian ini?" tanya Cale polos.Evan mengangguk. "Kau harus tampil keren malam ini. Kita akan makan malam bersama Mommy.”“Mommy juga ikut?” tanya Cale polos.“Tentu. Apa kamu sudah siap?” tanya Evan. Cale mengangguk se