Malam yang Alya lalui kembali menjadi suram. Sesuram dengan hati dan perasaan yang menyayat dalam dirinya. Perilaku yang dilakukan oleh Evan, suaminya itu sama sekali tidak berperi kemanusiaan. Dan setiap lirih yang Alya lakukan, sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun belas kasih dari suaminya. Bahkan pergerakan yang Evan lakukan begitu brutal. Sama sekali tidak menunjukkan kelembutan atas hubungan suami istri pada umumnya. Seharusnya Evan bisa meminta hak sebagai seorang suami dengan lebih baik kepada Alya. Bukan maksud Alya menolak permintaan Evan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Melainkan, area vital diantara kedua paha yang Alya rasakan masih terasa perih akibat hujaman yang tidak berbelanja kasih yang dilakukan oleh Evan untuknya pertama kalinya. Dan kini, bukan hanya luka fisik di bagian intim yang kembali Alya terima. Melainkan Evan yang tersedia memukul dan menampar Alya yang entah sudah beberapa kali suaminya itu melakukannya. Dan kini, pria yang sudah puas deng
Evan setelah berkata seperti itu pada Alya, dengan begitu saja berlalu dari hadapan Alya. Dengan langkahnya yang meragu. Alya melangkah pelan, membiarkan Evan beralalu lebih dulu dari hadapannya. Alya tidak ingin berada dalam satu lift bersama dengan Evan. Maka melangkah pelan, adalah jalan yang ia ambil agar Evan bisa pergi lebih dulu darinya. Alya bisa melihat, jika ponsel pria yang sedang melangkah di depannya itu sedang berdering. Dan Dia pun dapat melihat pergerakan tangan Evan yang mengambil ponsel dan menempelkan tepat di samping telinganya.“Sudah aku bilang. Aku tidak mau berurusan lagi denganmu. Jangan pernah hubungi aku lagi,” kata Evan dengan begitu tegas. Tanpa menunggu lama, pria itu mematikan panggilan yang diterimanya itu dengan sepihak. Kemudian berlalu cepat menuju lift yang terbuka setelah Evan memencetnya. Bukan kata yang menyapa pada kedua insan yang terikat oleh pernikahan Siri tersebut. Melainkan tatapan mata penuh kebencian yang Evan lakukan terhadap Alya,
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat karyawan pabrik melakukan absensi kehadiran itu pun menoleh ke sumber suara yang tidak begitu asing baginya itu. Mendapati anak pemilik pabrik tempat mereka bekerja dengan tatapan mata tajam ke arah mereka itu pun berhasil membuat beberapa orang yang sedang membantu Alya itu menjadi bungkam. Selain belum mengenal dekat pada Evan mereka hanya tahu dari kabar yang beredar jika Evan adalah pria yang tidak ingin dibantah dan tidak menerima tolerir sedikitpun dengan alasan apapun.“Eh, Pak Evan.” Salah satu pria yang baru saja hendak membantu rekannya untuk mengangkat tubuh Alya itu membuka suara. Dia menoleh kepada Alya yang pingsan, dan beralih kembali pada pria yang berdiri beberapa jarak dengan mereka itu. “Ini ada karyawan desain pingsan, Pak,” kata pria itu pada Evan yang menatap tajam padanya itu. “Jadi kami akan bawa dia ke klinik,” sambung salah satu pria yang sedang menyangga tubuh Alya yang tengah pingsan itu. Jika dibilang Alya
“Saya sudah menghubungi divisi bagian tempatmu bekerja. Jadi, kamu tidak perlu cemas dan khawatir jika atasanmu akan marah denganmu,” kata dokter Retno pada Alya. Alya yang mendengar kabar jika sang dokter sudah menghubungi bagian divisi tempatnya bekerja itu menautkan kedua alisnya. Bagaimana bisa dokter itu tahu, bagian divisi tempatnya bekerja. “Dokter tahu, saya di bagian apa?” tanya Alya dengan rasa penasaran yang terjadi padanya kali ini.Dokter Retno mengulas senyum tipisnya, dia juga memberikan anggukan pada Alya yang terkejut atas kabar yang baru saja ia berikan itu. “Ya, saya tahu. Tadi karyawan yang bantu bawa kamu ke sini bilang, jika kamu adalah anak desain. Jadi saya tadi menghubungi atasan kamu untuk memberitahukan jika ada anak buahnya sedang dapat perawatan dan harus istirahat di sini,” jelas Dokter Retno menyampaikan pada Alya. Alya terdiam, dia mengangguk mendengar setiap kata yang disampaikan oleh Dokter wanita yang berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu
“Wa’alaikum salam.” Suara jawaban salam dari dalam sudah begitu sangat Alya rindukan beberapa hari ini. Tanpa terasa cairan bening dari balik kelopak matanya itu tiba-tiba mengalir begitu saja. Dengan cepat Alay mengusapnya, karena tidak ingin Safa melihat saat adiknya tersebut membuka pintu rumah kontrakannya. “Mbak,” kata Safa.Gadis yang baru akan lulus SMA itu nampak terkejut saat mendapati Kakaknya sudah berdiri di hadapannya. Bagaimana Safa tidak akan terkejut? Karena tahu jika waktu siang hari yang seharusnya Alya masih berada di tempat kerjanya dan saat ini sang Kakak sudah berdiri tepat di hadapannya. “Dek. Ibu ada?” tanya Alya.Orang pertama yang dia cari adalah ibunya. Orang yang begitu berarti dan menjadi sumber semangat untuknya mencari uang. “Ada Mbak. Mbak nggak kerja? Bukankah seharusnya jam segini Mbak masih berada di tempat kerja?”Safa yang sedang bingung itu pun tidak berhenti bertanya. Dia melebarkan daun pintu rumah kontrakannya, mempersilahkan Alya masuk
“Sholat dulu. Tadi juga handphone-mu bunyi terus. Ibu angkat, eh, nggak ada suara,” “Ibu bangunkan kamu, apii nggak bangun-bangun. Ya sudah, ibu angkat saja.”Sang ibu juga menyampaikan kabar pada Alya jika saat Alya terlelap dalam mimpinya itu dering ponsel terus berdering dan Alya yang tak kunjung membuka matanya. Alya yang baru saja bangkitt dari atas kasurr sederhana, yang tentu tidak senyaman kasur yang ada di apartemen Evan itu menghentikan langkahnya. Menatap penuh tanya lewat sorot mata pada sang ibu, sebelum akhirnya dia membuka suara. “Telepon?” tanya Alay memastikan setelah beberapa detik terdiam. “Iya. Pak Evan, kalau tidak salah, nama di kontaknya.”Nafas yang semula bisa keluar masuk dengan begitu bebas, kembali tercekat. Debaran di jantung semakin berdetak tak karuan. Buka sedang jatuh cinta. Lebih tepatnya pikiran Alya yang ke mana-mana. Sebab apa yang membuat Evan menghubunginya. “Teman kerja kamu mungkin, Nak.”“Eh, iya Buk. Mungkin ada sesuatu yang mau ditanya
Langkah Evan terhenti, kemarahannya pun masih meluap-luap seiring dengan merahnya senja yang menghias di ujung Cakrawala dunia.Dia terdiam sesaat, ketika mendapati sang istri sudah berada tepat di depan pintu apartemennya. Memang pria itu sebelumnya mencari informasi tentang keadaan yang terjadi pada diri Alya saat di kantor. Dan yang dia dapatkan dari sang dokter jika Alya sudah kembali ke rumah untuk beristirahat atas perintah yang diberikan dokter perusahaan. Ana, kekasih Evan yang mendapati kehadiran wanita yang tak asing baginya itu pun memicingkan mata kepada Evan, sang kekasih.Melihat keberadaan wanita lain tepat di depan Apartemen kekasihnya itu membuat wanita yang sedang berusaha membujuk Evan untuk menerimanya kembali itu seolah mendapatkan celah.“Hon, buat apa dia ke sini?” tanya Alya dengan ekor mata memicing curiga ke arah Evan.“Bukan siapa-siapa. Kamu keluarlah dari sini! Tak ada lagi yang harus dibicarakan di antara kita. Dan aku tegaskan lagi kepadamu bahwa kita
Jantung Alya berdegup dengan begitu kencang. Bukan karena dia sedang jatuh cinta atau apapun itu. Melainkan karena Alya yang sedang cemas dengan apa yang hendak Alya lakukan. Meski berat untuk melangkah, tetapi Alya terus berusaha melanjutkan langkah kaki menuju di mana Evan menghilang dari pandangannya. Begitu pelan, bahkan saat lengan mungilnya itu memutar handle pintu kamar tidur Evan. Alya semakin merasakan debar jantungnya itu berpacu dengan begitu kencang. Meski ragu dia tetap melanjutkan langkah membuka lebar dan masuk ke dalam kamar suaminya. Alya dapat melihat punggung tegap yang berdiri itu menghadap jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota yang ada di sana. Alya sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Evann yang ada di sana. Langkah kakinya lebih memilih menuju di mana kamar mandi berada. Alya menyiapkan segala keperluan yang Evan pinta padanya tadi. Setelah semuanya siap, dia pun keluar berganti untuk menyiapkan pakaian ganti pria itu. Setelah sem