Evan setelah berkata seperti itu pada Alya, dengan begitu saja berlalu dari hadapan Alya. Dengan langkahnya yang meragu. Alya melangkah pelan, membiarkan Evan beralalu lebih dulu dari hadapannya. Alya tidak ingin berada dalam satu lift bersama dengan Evan. Maka melangkah pelan, adalah jalan yang ia ambil agar Evan bisa pergi lebih dulu darinya. Alya bisa melihat, jika ponsel pria yang sedang melangkah di depannya itu sedang berdering. Dan Dia pun dapat melihat pergerakan tangan Evan yang mengambil ponsel dan menempelkan tepat di samping telinganya.“Sudah aku bilang. Aku tidak mau berurusan lagi denganmu. Jangan pernah hubungi aku lagi,” kata Evan dengan begitu tegas. Tanpa menunggu lama, pria itu mematikan panggilan yang diterimanya itu dengan sepihak. Kemudian berlalu cepat menuju lift yang terbuka setelah Evan memencetnya. Bukan kata yang menyapa pada kedua insan yang terikat oleh pernikahan Siri tersebut. Melainkan tatapan mata penuh kebencian yang Evan lakukan terhadap Alya,
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat karyawan pabrik melakukan absensi kehadiran itu pun menoleh ke sumber suara yang tidak begitu asing baginya itu. Mendapati anak pemilik pabrik tempat mereka bekerja dengan tatapan mata tajam ke arah mereka itu pun berhasil membuat beberapa orang yang sedang membantu Alya itu menjadi bungkam. Selain belum mengenal dekat pada Evan mereka hanya tahu dari kabar yang beredar jika Evan adalah pria yang tidak ingin dibantah dan tidak menerima tolerir sedikitpun dengan alasan apapun.“Eh, Pak Evan.” Salah satu pria yang baru saja hendak membantu rekannya untuk mengangkat tubuh Alya itu membuka suara. Dia menoleh kepada Alya yang pingsan, dan beralih kembali pada pria yang berdiri beberapa jarak dengan mereka itu. “Ini ada karyawan desain pingsan, Pak,” kata pria itu pada Evan yang menatap tajam padanya itu. “Jadi kami akan bawa dia ke klinik,” sambung salah satu pria yang sedang menyangga tubuh Alya yang tengah pingsan itu. Jika dibilang Alya
“Saya sudah menghubungi divisi bagian tempatmu bekerja. Jadi, kamu tidak perlu cemas dan khawatir jika atasanmu akan marah denganmu,” kata dokter Retno pada Alya. Alya yang mendengar kabar jika sang dokter sudah menghubungi bagian divisi tempatnya bekerja itu menautkan kedua alisnya. Bagaimana bisa dokter itu tahu, bagian divisi tempatnya bekerja. “Dokter tahu, saya di bagian apa?” tanya Alya dengan rasa penasaran yang terjadi padanya kali ini.Dokter Retno mengulas senyum tipisnya, dia juga memberikan anggukan pada Alya yang terkejut atas kabar yang baru saja ia berikan itu. “Ya, saya tahu. Tadi karyawan yang bantu bawa kamu ke sini bilang, jika kamu adalah anak desain. Jadi saya tadi menghubungi atasan kamu untuk memberitahukan jika ada anak buahnya sedang dapat perawatan dan harus istirahat di sini,” jelas Dokter Retno menyampaikan pada Alya. Alya terdiam, dia mengangguk mendengar setiap kata yang disampaikan oleh Dokter wanita yang berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu
“Wa’alaikum salam.” Suara jawaban salam dari dalam sudah begitu sangat Alya rindukan beberapa hari ini. Tanpa terasa cairan bening dari balik kelopak matanya itu tiba-tiba mengalir begitu saja. Dengan cepat Alay mengusapnya, karena tidak ingin Safa melihat saat adiknya tersebut membuka pintu rumah kontrakannya. “Mbak,” kata Safa.Gadis yang baru akan lulus SMA itu nampak terkejut saat mendapati Kakaknya sudah berdiri di hadapannya. Bagaimana Safa tidak akan terkejut? Karena tahu jika waktu siang hari yang seharusnya Alya masih berada di tempat kerjanya dan saat ini sang Kakak sudah berdiri tepat di hadapannya. “Dek. Ibu ada?” tanya Alya.Orang pertama yang dia cari adalah ibunya. Orang yang begitu berarti dan menjadi sumber semangat untuknya mencari uang. “Ada Mbak. Mbak nggak kerja? Bukankah seharusnya jam segini Mbak masih berada di tempat kerja?”Safa yang sedang bingung itu pun tidak berhenti bertanya. Dia melebarkan daun pintu rumah kontrakannya, mempersilahkan Alya masuk
“Sholat dulu. Tadi juga handphone-mu bunyi terus. Ibu angkat, eh, nggak ada suara,” “Ibu bangunkan kamu, apii nggak bangun-bangun. Ya sudah, ibu angkat saja.”Sang ibu juga menyampaikan kabar pada Alya jika saat Alya terlelap dalam mimpinya itu dering ponsel terus berdering dan Alya yang tak kunjung membuka matanya. Alya yang baru saja bangkitt dari atas kasurr sederhana, yang tentu tidak senyaman kasur yang ada di apartemen Evan itu menghentikan langkahnya. Menatap penuh tanya lewat sorot mata pada sang ibu, sebelum akhirnya dia membuka suara. “Telepon?” tanya Alay memastikan setelah beberapa detik terdiam. “Iya. Pak Evan, kalau tidak salah, nama di kontaknya.”Nafas yang semula bisa keluar masuk dengan begitu bebas, kembali tercekat. Debaran di jantung semakin berdetak tak karuan. Buka sedang jatuh cinta. Lebih tepatnya pikiran Alya yang ke mana-mana. Sebab apa yang membuat Evan menghubunginya. “Teman kerja kamu mungkin, Nak.”“Eh, iya Buk. Mungkin ada sesuatu yang mau ditanya
Langkah Evan terhenti, kemarahannya pun masih meluap-luap seiring dengan merahnya senja yang menghias di ujung Cakrawala dunia.Dia terdiam sesaat, ketika mendapati sang istri sudah berada tepat di depan pintu apartemennya. Memang pria itu sebelumnya mencari informasi tentang keadaan yang terjadi pada diri Alya saat di kantor. Dan yang dia dapatkan dari sang dokter jika Alya sudah kembali ke rumah untuk beristirahat atas perintah yang diberikan dokter perusahaan. Ana, kekasih Evan yang mendapati kehadiran wanita yang tak asing baginya itu pun memicingkan mata kepada Evan, sang kekasih.Melihat keberadaan wanita lain tepat di depan Apartemen kekasihnya itu membuat wanita yang sedang berusaha membujuk Evan untuk menerimanya kembali itu seolah mendapatkan celah.“Hon, buat apa dia ke sini?” tanya Alya dengan ekor mata memicing curiga ke arah Evan.“Bukan siapa-siapa. Kamu keluarlah dari sini! Tak ada lagi yang harus dibicarakan di antara kita. Dan aku tegaskan lagi kepadamu bahwa kita
Jantung Alya berdegup dengan begitu kencang. Bukan karena dia sedang jatuh cinta atau apapun itu. Melainkan karena Alya yang sedang cemas dengan apa yang hendak Alya lakukan. Meski berat untuk melangkah, tetapi Alya terus berusaha melanjutkan langkah kaki menuju di mana Evan menghilang dari pandangannya. Begitu pelan, bahkan saat lengan mungilnya itu memutar handle pintu kamar tidur Evan. Alya semakin merasakan debar jantungnya itu berpacu dengan begitu kencang. Meski ragu dia tetap melanjutkan langkah membuka lebar dan masuk ke dalam kamar suaminya. Alya dapat melihat punggung tegap yang berdiri itu menghadap jendela besar yang menunjukkan pemandangan kota yang ada di sana. Alya sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun pada Evann yang ada di sana. Langkah kakinya lebih memilih menuju di mana kamar mandi berada. Alya menyiapkan segala keperluan yang Evan pinta padanya tadi. Setelah semuanya siap, dia pun keluar berganti untuk menyiapkan pakaian ganti pria itu. Setelah sem
Alya membiarkan Jerry membawa Evan masuk ke dalam kamar pria yang sedang mabuk tak berdaya tersebut. Sedang Alay mengikuti langkah mereka dari belakang tubuh pria yang sama-sama gagah itu. Hanya saja, Jerry terlihat lebih kurus dari sang suami tapi Alya sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mengirinng kedua pria itu. Sepertinya, Jerry yang mengaku sebagai teman Evan itu sudah sangat tahu dimana kamar suaminya itu berada. Sebab, tanpa Alya kasih tahu pun pria itu sudah melangkah menuju ke kamar sang suami. “Biar aku buka pintunya dulu,” kata Alya, dia mempercepat langkahnya demi bisa membukakan pintu kamar Evan dan memudahkan teman suaminya itu membawa tubuh besar Evan masuk ke dalam.Jerry menunggu sejenak, sebelum akhirnya pria itu benar-benar membawa masuk Evan ke dalam menuju ke ranjang pria tersebut.“Bangke, berat banget sih badan lo. Sialan!” Umpat pria itu setelah berhasil melempar tubuh kekar sang teman.Alya terdiam, dia sama sekali tidak menanggapi umpatan yan
Langit Tokyo sore itu mendung. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang belum siap jatuh. Di dalam gedung kaca berlantai dua puluh satu itu, Alya duduk di balik meja kantornya yang minimalis. Di balik jendela besar, kota terlihat seperti lukisan yang buram. Tapi bukan cuaca yang membuat dadanya sesak sore itu—melainkan nama yang tertera dalam proposal kerja sama yang baru saja dikirimkan tim marketingnya."Evan Sanders."Dua kata yang langsung membuat darahnya surut ke ujung kaki. Dunia seolah berhenti berputar beberapa detik. Jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Bukan karena gugup menghadapi kerja sama baru, tapi karena sosok Evan adalah masa lalu yang tak pernah ingin ia temui lagi—apalagi sekarang.Tangannya bergetar saat membuka slide presentasi yang dikirimkan perusahaan Evan. Ia membaca cepat, dan tak bisa membohongi dirinya sendiri: proyek ini sangat menjanjikan. Tapi yang lebih mengejutkan, ternyata Evan sendiri yang meminta untuk bertemu langsung dengannya.
Tomi tersenyum tipis. “Mereka akan hadir dalam Tokyo Global Textile Forum, tiga hari lagi. Delegasi Kazuki akan menjadi salah satu pembicara utama. Jika Anda datang langsung... kita bisa melewati birokrasi.”Evan mengangguk mantap. “Siapkan penerbangan. Dan pastikan kita dapat akses VIP.”Hari-H, Tokyo dipenuhi aroma musim semi. Gedung kaca tempat forum itu diselenggarakan menjulang elegan. Di dalamnya, para pebisnis, inovator, dan jurnalis dunia industri berkumpul. Evan berjalan masuk bersama Tomi, mengenakan jas abu arang dan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak mendarat.“Mereka di lantai tiga, ruang konferensi C,” kata Tomi sambil membaca jadwal acara.Mereka bergegas menaiki lift. Hati Evan berdegup kencang. Lebih dari sekadar urusan bisnis, ada emosi pribadi yang menyelinap di balik motivasinya. Ia ingin jawaban. Kenapa Alya pergi? Kenapa menghilang tanpa pamit? Dan... kenapa kembali dengan nama baru?Saat pintu konferensi terbuka, ruangan dipenuhi peserta. Di panggung,
Jejak yang KembaliPagi di ruang kerja Evan Sanders tak pernah benar-benar sunyi, tapi pagi ini berbeda. Tidak ada suara gaduh para staf, tidak ada diskusi hangat dari para manajer divisi, hanya detak jam dinding dan suara ketukan sepatu yang nyaris tak terdengar.Evan duduk bersandar di kursi kulit hitam favoritnya, tatapannya kosong menembus jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Tangannya memainkan pena di antara jari-jari. Sejak proyek tekstil mereka tersendat karena bahan baku berkualitas rendah, Evan dilanda kebuntuan. Tidak ada ide segar, tidak ada mitra yang bisa diandalkan, dan tak ada kepercayaan yang bisa diberikan begitu saja di dunia bisnis kejam seperti ini.Tiba-tiba, pintu diketuk dua kali. Tidak menunggu jawaban, seseorang masuk dengan langkah cepat dan teratur.“Tuan Evan, saya punya satu nama perusahaan yang mungkin bisa jadi solusi,” kata Tomi, sekretaris pribadi sekaligus asisten kepercayaannya.Evan melirik sekilas. “Berapa banyak nama yang sudah kau sodorka
Malamnya, setelah makan malam dan Cale tertidur, Alya membuka laptopnya. Ia menulis email untuk Fira, yang sejak dulu menjadi satu-satunya tempat curhatnya.Subject: Kepikiran Ibu.Fir… tadi Ibu nelepon. Dia nonton segmen tentang aku di TV. Mukaku kelihatan jelas banget. Aku takut banget Ibu atau Safa bakal curiga soal Cale. Aku tahu nggak selamanya aku bisa nyembunyiin ini. Tapi aku belum siap. Belum siap kalau Ibu kecewa.Aku cuma pengin jadi ibu yang baik buat Cale. Itu aja.Alya menekan tombol kirim dan memandangi layar lama. Dalam hati ia tahu, semakin lama ia menunda, semakin besar ledakan yang akan terjadi ketika rahasianya terungkap.Pagi berikutnya, saat sedang menyuapi Cale yang ogah-ogahan makan roti, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari nomor yang tak dikenal.“Halo?” “Ini Alya?” “Ya, benar. Maaf, ini siapa?” “Ini saya, Kento Sakamura, dari pihak penyelenggara Asian Creative Award. Anda dinominasikan sebagai Innovative Designer of the Year. Kami ingin mengundang
Rahasia Kecil di Negeri SakuraMusim semi baru saja menyapa kota Kyoto ketika aroma sakura mulai menyebar di sepanjang jalan. Kelopak-kelopak merah muda beterbangan ringan, menari-nari dibelai angin yang sejuk. Di tengah hiruk-pikuk pagi, Alya melangkah cepat menyusuri trotoar menuju kantor pusat Nishikawa Textile, perusahaan tempat ia bekerja sebagai lead designer selama hampir lima tahun terakhir.Hari ini adalah hari penting. Presentasi koleksi musim panas yang ia desain sendiri akan ditampilkan di depan direksi dan beberapa investor asing. Tapi bukan itu yang membuat Alya bangun lebih awal dan menyemprotkan parfum favoritnya tiga kali—melainkan karena pagi ini Cale, putra semata wayangnya, berkata sesuatu yang membuat hatinya tersentuh lebih dalam dari biasanya.“Mommy, nanti kalau aku besar, aku juga mau kerja kayak Mommy. Tapi aku nggak mau jauh-jauh dari kamu.”Alya terdiam kala itu, hanya mampu tersenyum sambil mengusap rambut hitam ikal Cale yang masih kusut setelah bangun ti
Jari-jari Evan mencengkeram kertas itu dengan erat. Matanya berulang kali membaca setiap kata, berharap ada sesuatu yang terlewat. Kertas yang semula masih rapi itu sudah tidak berbentuk. Dadanya naik turun, rahangnya mengeras. Sama sekali tidak menyangka jika Alya berani kabur dari dirinya. Sebab, Evan menganggap jika Alya adalah sosok yang penurut baginya. Tapi, yang terjadi jika Alya berani mengelabuinya dan ingkar akan janjinya. “Berani-beraninya dia melakukan ini.” geram Evan sangat tak menyangka. “Aku tak akan melepaskanmu.” Kilatan amarah terlihat jelas dari balik kelopak matanya. Dadanya bergemuruh oleh emosi yang begitu membara. Dengan gerakan cepat, Evan mengambil ponselnya. Mencari nomor Alya, yang entah sejak kapan nomor wanita itu ada pada sematan teratas pada kontak ponsel pentinya. Menekan nomor yang sudah beberapa kali sering ia hubungi. Nada sambung yang cukup lama. Namun sang pemilik nomor tak kunjung mengangkat panggilan yang dia lakukan. Dada Evan semakin ber
Langit malam Jakarta dipenuhi kilauan lampu dari gedung-gedung tinggi, seolah berpesta dalam keheningan. Di dalam taksi menuju bandara, Alya menatap kosong ke luar jendela. Perasaan lega dan berat berbaur dalam dadanya, seperti ombak yang saling bertabrakan. Vira duduk di sebelahnya, memegang tangan Alya dengan erat.“Yakin, Al? Kalau mau berubah pikiran, sekarang waktunya,” suara Vira lembut tapi tegas.Alya menoleh, mencoba tersenyum meski matanya tampak lelah. "Aku sudah pikirkan ini, Mbak. Berkali-kali. Aku tidak bisa terus begini. Ini bukan hanya untuk aku, tapi untuk kami. Mungkin... jarak ini bisa membuat semuanya lebih baik. Hanya ini jalan satu-satunya untuk kami. Untuk Alya….” Alya meraba perutnya yang masih rata. Lalu melanjutkan kalimatnya, “untuk anak yang tak berdosa ini. Dan untuk kesehatan ibu juga pastinya.”Alya sudah yakin dengan keputusan yang sudah diambilnya. Tidak akan mundur, sebab keputusan bulat sudah ia ambil sebagai langkah masa depan demi kebaikan semua pi
“Al, saudara suamiku mau bantu untuk semua proses izin kamu pergi. Apa kau yakin memutuskan untuk pergi dari Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik kamu?” tanya Vira beruntun setelah dua hari Alya berusaha keras memikirkan rencana untuk dirinya dan terutama untuk anak yang ada dalam kandungan Alya. Alya yang baru duduk di kursi kerjanya itu mendongak, menatap sungguh pada Vira yang tiba-tiba meragukannya. “Aku yakin, Mbak. Ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku tak mungkin untuk berada di Indonesia. Jika ada jalan ke luar negeri dan kerja yang sudah pasti. Lalu, untuk apa aku harus bingung untuk menunda? Bukankah ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula, kesempatan di sana juga sesuai dengan passion Alya kan?” Alya bersungguh dengan rencana yang sudah disiapkan olehnya itu. Tak ingin memanfaatkan kesempatan, maka dia akan menggunakan kesempatan emas itu sebaik-baiknya.“Kamu benar. Memang itu kesempatan yang sangat baik untuk kamu. Tapi, bagaimana dengan ibu dan
Alya membuka matanya perlahan. Kegelapan subuh menyelimuti kamar yang lebih besar dari kamar miliknya. Ditemani sinar lampu kamar yang meremang membuat Alya bangun dari tidurnya dengan perlahan. Alya bangun dengan perlahan, tak ingin mengganggu Evan yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafas Evan yang teratur terdengar di sebelahnya. Dengan hati-hati, Alya bergeser dari tempat tidur, tak ingin membangunkan pria yang tidur nyenyak di sisinya. Dia merapikan selimut Evan sebelum melangkah ke luar kamar dengan sangat berhati-hati. Alya menunaikan dulu kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri siri Evan yang masih terlelap di dalam kamarnya. Dapur minimalis modern, kini sudah menjadi teman akrab Alya yang menemani hari-harinya untuk memasakkan Evan, suami sekaligus anak dari bosnya. Kakinya terasa dingin, sebab ia tak menggunakan alas kaki saat menuju ke dapur itu. Rutinitasnya dimulai—Pagi ini dia memilih untuk membuatkan sarapan na