Home / Romansa / Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO / Bab 6. Siapakah pendonor itu?

Share

Bab 6. Siapakah pendonor itu?

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2023-06-05 23:11:15

Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. 

Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? 

Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. 

Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. 

"Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. 

Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientakkan kedua kakinya layak anak kecil yang tidak dibelikan permen kapan oleh orang tuanya. 

"Aku benci karena kita miskin!" umpat adik perempuan Pelangi. 

Gadis itu sungguhan geram dengan kondisi finansial keluarganya. Kenapa ia harus dilahirkan dari keluarga miskin seperti ini? Ia tidak bisa seperti teman-temannya yang setiap hari gonta-ganti baju bagus, mengendarai kendaraan mahal dan mempunyai ponsel dengan harga puluhan juta.

"Kenapa kamu bicara seperti itu, Dik?" tanya Pelangi masih berusaha sabar. 

"Karena aku sudah muak!" Gadis itu mengentakkan kakinya sekali lagi. "Kakak pikir aku bisa hidup kayak Kakak? Aku malu. Di kampus, aku selalu diejek miskin sama teman-temanku. Kakak harusnya mikir dong, bagaimana caranya supaya kita terbebas dari kemiskinan seperti ini!" 

Pelangi mengatupkan bibirnya. Terkejut mendengar kata-kata adik perempuannya. Pelangi tidak menyangka adiknya akan mengatakan hal barusan. 

Siapa yang mau hidup miskin memangnya? Tidak ada. Jika Pelangi diberi pilihan mau terlahir dari keluarga miskin atau kaya, tentu saja Pelangi akan memilih lahir dari keluarga kaya, namun, tidak ada manusia yang bisa memilih takdir yang mereka mau. Tuhan telah menentukan hidup mereka dan satu-satunya acara hanyalah menikmati hidup yang telah diberi Tuhan. Marah-marah pun percuma tidak akan mengubah takdir yang mereka dapatkan. 

"Aku pengin seperti teman-temanku di kampus. Beli baju baru, sepatu dan tas. Dan ini ....," Gadis itu menyambar ponsel yang ia buang ke atas kursi tadi. " HP aku sudah jelek dan waktunya ganti! Tapi apa? Sampai hari ini aku masih memakai Hp jelek  ini! Buat mengeluarkan benda ini saat berkumpul sama temanku, aku aja malu banget!" oceh gadis itu panjang lebar. 

"Diana" panggil Pelangi berusaha menangkan sang Adik. "Apa yang kita miliki kita sekarang harus kita syukuri. Jangan melihat teman kamu yang dari keluarga berada. Kita bisa makan dan tidak kelaparan itu sudah bagus." 

Gadis itu mendengus. Tersenyum sinis ke arah kakaknya. "Apa yang harus disyukuri, Kak? Apa?" Pelangi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa hidup seperti Kakak! Aku muak menjadi orang miskin!" bentaknya tepat di depan wajah Pelangi, lalu pergi ke dalam kamar.

***

"Ayo makan dulu. Kamu tidak lapar? Kakak sudah memasak untuk makan malam kita." 

Pelangi menempelkan setengah wajahnya di pintu kamar sang Adik. Pelangi mengetuk pintu sekali lagi dengan harapan adiknya itu akan membukanya dan menyerah dengan tidak marah lagi. 

"Makan sendiri saja, sana!" bentak adik perempuan Pelangi dari dalam kamar dan membanting sesuatu ke pintu.

Pelangi tersentak secara otomatis kedua kakinya melangkah mundur. Entah apa yang dibanting ke pintu oleh gadis itu. Pelangi sampai terkejut lalu menghela napas panjang. 

Terpaksa Pelangi makan malam bersama Hadyan, adik laki-lakinya tanpa Diana. Pelangi  tidak tahu harus dengan cara apa membujuk adiknya supaya tidak marah lagi? Pelangi telah memberi pengertian kepada gadis itu. Namun, agaknya sang Adik tidak mau mengerti dan terus menyalahkan kenapa mereka harus hidup miskin. 

Dia tidak berselera makan lagi. Pelangi dihantam dengan banyak masalah yang tidak berhenti menguras tenaga dan isi kepalanya dan sekarang ditambah lagi adiknya marah-marah sepulang dari kuliah. 

Perempuan itu akhirnya sama-sama tidak makan malam. Jika adiknya sedang mogok makan karena marah, Pelangi mana bisa makan dalam keadaan seperti ini. Tidak bisakah adiknya memahami Pelangi? Gadis itu malah mencak-mencak dan membanting semua barangnya di dalam kamar. Pelangi mendengar suara berisik seperti barang yang dibanting dari luar. 

Entah rasanya Pelangi ingin menyerah saja. Adiknya terlalu keras kepala dan ia tidak sanggup mengatasi gadis itu lagi.  

*** 

Sebelah tangan Pelangi menggapai meja di samping ranjangnya. Sepasang mata perempuan itu masih memejam. Maklum saja ini masih sangat pagi untuk mengangkat sebuah telepon. 

Tangan Pelangi berhasil menyambar benda persegi di atas meja. Saat benda itu menyala di depan matanya, Pelangi mengarahkan benda itu ke sebelah telinganya dan menyapa si penelpon dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Ya, halo?" sapanya. 

"Kamu bisa datang ke rumah sakit sekarang?" 

"Hm?" gumam Pelangi belum sadar sepenuhnya. 

Si penelpon adalah Ardian. Lelaki itu mengulangi ucapannya. "Hari ini kamu harus pergi ke rumah sakit lagi. Kamu bisa, kan?" tanyanya. 

Pelangi diam sebentar mengatur kesadarannya. Pelangi bergumam. "Hari ini? Oh, baiklah. Aku akan ke sana kalau begitu. Tapi kenapa kamu menyuruhku ke rumah sakit lagi?" Pelangi menunggu selama dua detik. Ardian tidak mengatakan apa-apa selain meminta Pelangi pergi ke rumah sakit lagi pagi ini. Cuma itu saja. 

*** 

Pelangi telah sampai di rumah sakit yang dituju. Ia datang menemui Ardian untuk menanyakan kenapa ia diminta datang kembali. 

Ardian cuma menatap Pelangi beberapa detik. Lelaki itu mengantarkan sepupunya ke ruangan dokter. 

"Dokter mau bertemu sama kamu, Pelangi." Keduanya berjalan beriringan ke ruangan dokter. 

Pelangi melirik Ardian. "Apa ini ada hubungannya sama hasil tes itu?" tanya Pelangi hati-hati. 

Sejujurnya Pelangi sangat takut dengan hasilnya. Bagaimana jika hasilnya tidak cocok? Itu artinya Pelangi tidak bisa mendonorkan hatinya untuk Akarsana. 

Langkah Pelangi agak sedikit tertinggal dengan Ardian. Perempuan itu meremas kesepuluh jarinya. Tatapannya kosong, diam melamun. Hingga akhirnya tersadar saat Ardian menengok ke arahnya lantas menegur Pelangi. 

"Jangan melamun Pelangi! Dokter sudah menunggu kamu di ruangannya!" seru Ardian mengejutkan Pelangi. 

Di sinilah Pelangi sekarang. Duduk berdua saling berhadapan dengan seorang dokter. Pelangi menyapa lelaki itu begitu masuk ke dalam. Ardian bilang, ia akan meninggalkan Pelangi berdua dengan dokter. 

"Saya punya kabar bagus untuk Anda." Dokter lelaki itu menatap perempuan di depannya sambil tersenyum. 

"Tentang apa, dok?" tanya Pelangi. 

Dokter menjawab. "Selamat! Anda adalah pendonor yang cocok," ucapnya mengejutkan Pelangi. 

"Yang benar, dok?" seru Pelangi sangat senang. 

Dokter mengangguk. "Benar. Tolong jaga kesehatan dan pola makan Anda sebelum tiba waktu operasi, ya." 

Pesan dokter pun diangguki oleh Pelangi. Tentu saja ia menjadi sangat senang. Karena hasil tes mengatakan bahwa Pelangi cocok menjadi pendonor Akarsana. 

Sementara itu Akarsana tidak kuasa menahan rasa gembiranya. Dokter mengatakan bahwa mereka telah menemukan pendonor yang tepat. 

"Dokter tidak bohong, kan? Saya mendapatkan donor?" Akarsana sempat linglung sesaat. 

Bagaimana tidak  akhirnya ia mendapatkan donor itu setelah sekian lama. Ini sama seperti Akarsana menemukan keajaiban. 

"Mana mungkin saya berbohong kepada pasien," sahut dokter. "Semoga semuanya berjalan dengan lancar ya. Saya ikut senang akhirnya Anda mendapat pendonor yang tepat," tambahnya. 

Senyum di bibir Akarsana sedikit memudar. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Kalau boleh tahu siapa orang yang menjadi pendonor saya, dok?" 

Akarsana perlu mengetahui siapa orang yang telah berbaik hati mendonorkan salah satu organnya kepada Akarsana, namun dokter justru diam, seolah sengaja bungkam tentang pendonor Akarsana. 

"Dok?" tegur Akarsana. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 121. Janji di bawah cahaya bintang. TAMAT.

    Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 120. Kepingan kenyataan

    Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 119. Langkah pertama menuju kedamaian

    Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 118. Tatapan yang saling bertaut

    Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 117. Kebimbangan di hati Diana

    Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 116. Hati yang terikat

    "Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status