Share

Bab 7. Mabuk

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2023-06-16 07:57:33

Kabar tentang Akarsana yang akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita yang baru saja datang menjenguk putranya. Wanita itu merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Dia sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. 

Prita seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tentu saja wanita itu sangat senang. Dia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. 

Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. 

"Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. 

Setelah dokter pergi, Prita duduk di samping tempat tidur.

"Pasti kamu sangat senang, bukan?"

Akarsana mengangguk. "Iya. Akhirnya aku memiliki harapan hidup lagi dan aku sangat bersyukur ada orang baik yang mau menolongku, meskipun aku tidak tahu siapa dia. Dokter tidak mau memberitahuku tadi."

Prita mengelus-elus tangan putranya. "Ya sudah tidak apa-apa yang penting kamu sudah mendapatkan donor."

Akarsana mengangguk. Sekarang perasaannya lega dan bisa memulai lagi kehidupannya secara normal dan mencari keberadaan Naomi.

"Mama pulang dulu untuk menyampaikan kabar gembira ini secara langsung pada saudara-saudaramu," ujar Prita yang masih nampak begitu bahagia.

Akarsana mengangguk dan menatap punggung ibunya sampai menghilang dibalik pintu.

***

Di rumah keluarga Maheswara, Prita berpapasan dengan Kayla. Tentu saja Prita segera mengatakan kabar gembira tersebut kepada saudara kembarnya. Kayla ikut merasa senang mendengarnya. 

"Selamat, Prita! Aku ikut senang mendengarnya. Semoga operasinya berjalan dengan lancar dan Akarsana bisa hidup dengan normal." 

Prita menyipitkan matanya. Entah kenapa Prita merasa tersinggung dengan kata-kata saudara kembarnya. 

"Maksud kamu Akarsana bukan orang normal selama ini, Kayla?!" Prita tiba-tiba marah. "Anakku dari dulu normal! Dia tidak idiot," maki Prita. 

Kayla diam karena bingung. Ada yang salah dengan kata-katanya? Kayla mengucapkan doa baik dengan perasaan yang tulus. Tidak berniat membuat saudara kembarnya tersinggung. 

"Aku tahu, selama ini kamu berharap Akarsana tidak selamat, lalu mati, kan? Itu keinginan kamu selama ini? Kamu pikir aku tidak tahu isi kepalamu!" tunjuk Prita penuh amarah.

Perdebatan, pertengkaran antara kedua saudara itu sering terjadi di rumah itu.  Selama ini Kayla tidak pernah ambil pusing mengenai sikap Prita padanya. 

"Prita, kamu ini kenapa sebenarnya? Aku tulus mendoakan kesembuhan Akarsana. Salahku di mana? Kenapa kamu malah marah-marah?" Kayla jengah juga lama-lama. "Sekali pun aku tidak pernah menginginkan Akarsana meninggal seperti yang kamu ucapkan. Aku juga menyayangi Akarsana seperti anakku sendiri." 

"Halah! Tidak usah pura-pura lagi! Aku tahu sebusuk apa hatimu, Kayla!" Prita tetap pada pendiriannya. Di matanya, Kayla itu nenek sihir. 

"Terserah kamulah, Prita! Aku lelah menghadapi sifat burukmu ini. Kamu selalu beranggapan bahwa aku berniat buruk kepadamu dan anak-anakmu." 

"Karena kenyataannya memang begitu!" sembur Prita semakin menjadi-jadi. 

Sofia yang baru saja datang melihat kembali pertengkaran ibu dan tantenya. Gadis itu berusaha melerai.

"Sudah kalian jangan bertengkar lagi. Tidak enak di dengar tetangga, meskipun Sofia tahu tetangga tidak akan bisa mendengarnya, karena jarak rumah tetangga dan rumah tantenya berjarak ditambah lagi rumah mereka yang besar.

Pertengkaran mereka berakhir. Setelah semuanya tenang kembali, Prita memberitahu Sofia tentang kabar baik Kakaknya.

"Benarkah itu, Ma?" seru Sofia kegirangan.

Prita mengangguk.

"Syukurlah Kak Akarsana akan segera sembuh."

*** 

Sedari tadi Diana melirik arloji di tangan kirinya. Tidak hentinya gadis itu uring-uringan, karena angkutan umum yang ia tunggu sejak tadi tidak kunjung muncul. Kaki Diana sudah pegal sekali ingin segera pulang dan beristirahat di kamar, namun angkutan umum yang ditunggunya tidak kunjung muncul juga. 

"Duh! Lama banget, sih! Kaki aku sampai pegal karena berdiri dari tadi." Diana mendumel sambil menggerakkan kakinya untuk mengurangi rasa pegal. 

Lagi-lagi Diana mengkhayal bagaimana seandainya Diana terlahir dari keluarga kaya raya. Ia tidak perlu menunggu angkutan umum sampai lelah begini. Ke mana-mana pergi mengendarai mobil. Tidak khawatir takut telat masuk kampus. Namun sayangnya, itu cuma khayalan Diana saja, karena fakta yang sebenarnya, Diana terlahir dari keluarga miskin! Diana membenci fakta itu. 

Diana mengentakkan kakinya sangat kesal. Kapan ada keajaiban datang dalam kehidupannya? Jujur saja dia sudah muak hidup sebagai orang miskin! 

Sepasang mata Diana nenyipit saat sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat di depannya. Diana menundukkan punggung, menatap si pengendara. Tadinya Diana pikir pemilik mobil itu ingin menanyakan sebuah alamat padanya. 

"Hai, boleh kenalan? Mau ke mana, cantik?" 

Diana terpana untuk sesaat. Selain mobil yang dikendarai lelaki itu kelihatan mahal dan baru, pemilik mobilnya juga sangat tampan. Diana melirik mobil di depannya sekali lagi. 

Dalam hati gadis itu berkata  "Kesempatan yang bagus. Kapan lagi dapat gebetan dari keluarga kaya?" 

Salah satu keinginan Diana yang dianggap bisa mengeluarkannya dari kemiskinan dengan cara memacari lelaki kaya raya dan kesempatan yang baru saja datang padanya tidak boleh ia sia-siakan. 

Dengan sukarela gadis itu menghampiri mobil lelaki itu. Tanpa basa-basi Diana mengatakan bahwa ia hendak pulang. 

"Jangan langsung pulang, deh. Bagaimana kalau kamu ikut denganku dulu? Kita bisa senang-senang." Lelaki itu menaik turunkan alisnya. 

Diana mengulum senyum penuh arti. Gadis itu dipersilakan masuk ke dalam mobil. Ia mengambil duduk di samping kursi kemudi. Walau Diana belum tahu akan diajak ke mana, Diana mengiyakan saja. Asal setelah ini ia dan lelaki itu memiliki hubungan yang lebih dekat. 

Pengendara sedan mewah itu mengenalkan dirinya sebagai Renjana. Mereka akhirnya saling menyebutkan nama satu sama lain. 

"Ayo, minum lagi!" teriak Renjana di dekat telinga Diana. 

Renjana membawa Diana ke sebuah kelab malam. Lebih dari satu jam mereka menghabiskan waktu di meja bar. Renjana mengajak Diana minum. Mulanya Diana menolak, tampak sangat ragu sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk meminumnya. 

"Jangan bilang, kamu belum pernah minum?" Ditanya begitu Diana menjadi gugup. 

Dia tidak boleh kelihatan seperti orang yang belum pernah pergi kelab dan minum alkohol. Jelas saja Diana tidak ingin kehilangan lelaki kaya di depannya. 

"Tidak mungkin." Diana mengibaskan tangan ke udara. "Tentu saja aku sudah terbiasa." 

Jadilah Diana mabuk sekarang. Dia takut ketahuan belum pernah ke kelab, lalu akan kehilangan kesempatan menggaet seorang lelaki kaya. Maka dari itu Diana akan melakukan apa saja. 

Renjana turun dari kursinya, lalu menghampiri Diana di kursinya. Ia menepuk Diana yang kini tidak sadarkan diri karena terlalu banyak minum. 

Setelah membayar minumannya kepada bartender, lelaki itu membawa Diana pergi dari sana. Tujuan utama Renjana sekarang adalah membawa gadis itu ke sebuah ranjang dan menghangatkannya. 

Sampai di sebuah kamar yang telah ia sewa, Renjana merebahkan Diana ke atas ranjang besar. Lelaki itu tidak berhenti menyeringai dan membuka satu per satu kancing kemejanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 121. Janji di bawah cahaya bintang. TAMAT.

    Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 120. Kepingan kenyataan

    Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 119. Langkah pertama menuju kedamaian

    Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 118. Tatapan yang saling bertaut

    Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 117. Kebimbangan di hati Diana

    Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima

  • Penjual Bunga itu Ternyata Istri CEO   Bab 116. Hati yang terikat

    "Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status