Mag-log inSemua mata kini beralih ke pria itu.Ardi menegakkan punggung, suaranya tetap tenang walau dadanya berdebar.“Bu Nadine menanyakan laporan mutu proyek, Pak. Saya hanya menjawab pertanyaan beliau. Tidak lebih.”Andra menyandarkan tubuh ke kursi.“Tanpa pendamping? Di luar jam kerja?”Ardi menatapnya tajam, tapi menahan diri. “Itu hanya kebetulan. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.”Andra terkekeh pelan. “Kebetulan yang… cukup sering, tampaknya.”Kata-kata itu menusuk ruangan seperti paku kecil.Beberapa staf menunduk, berpura-pura mencatat, tapi atmosfer sudah rusak.Maya menggenggam pulpen di tangannya lebih erat.Ia tahu Andra sudah melewati batas.Tanpa berpikir, suaranya keluar begitu saja.“Andra, itu tuduhan tidak sopan.”Semua kepala menoleh.Andra terperangah sesaat, tak menyangka Maya akan bicara setegas itu.“Maya, aku cuma menyampaikan kekhawatiran,” katanya datar.“Bukan. Nada kamu jelas-jelas menuduh. Pak Ardi gak pantas diperlakukan seperti itu.”Pak Darto menatap keduany
Di perjalanan menuju hotel, Nadine menatap Ardi dari sisi kursi belakang.“Sudah berapa lama kau di sini, Adrian?”Ardi diam. Sopir di depan menatap lewat kaca spion, menunggu jawaban yang tak pernah datang.Nadine tersenyum kecil. “Jadi, sekarang kau bahkan tak mau mengaku siapa dirimu?”Ardi menarik napas panjang.“Bukan waktunya membicarakan ini di sini.”“Kalau bukan sekarang, kapan?”“Setelah semuanya selesai.”Nadine mencondongkan tubuhnya sedikit.“‘Selesai’? Atau setelah kau benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu?”Tatapan Ardi langsung terangkat.“Apa maksudmu?”“Jangan bodoh, Adrian. Aku lihat caramu menatapnya. Gadis itu — Maya, ya? — dia bukan sekadar rekan kerja bagimu.”Suasana di mobil berubah dingin.Ardi menatap jendela, menahan emosi yang mulai naik ke permukaan.“Ini bukan urusanmu lagi, Nadine.”Nadine tersenyum miring. “Sayangnya, aku belum siap jadi masa lalu yang dihapus semudah itu.”Hening panjang menelan percakapan mereka.Di luar, hujan turun makin deras
Pagi itu matahari belum benar-benar terbit ketika langit Timur memantulkan semburat oranye lembut di antara gedung-gedung proyek. Bau semen basah bercampur udara lembap menjadi aroma khas yang sudah akrab di hidung para pekerja.Risa datang lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan laporan progress yang semalam tertunda karena server lambat. Namun langkahnya terhenti di depan ruang rapat utama.Lewat kaca bening, ia melihat seseorang berdiri di dalam — bukan staf proyek, bukan Pak Darto.Seorang perempuan dengan gaya elegan: blazer putih gading, rambut tersisir sempurna, sepatu hak tinggi yang mencolok di lantai keramik abu.Nadine Wijaya.Dan di hadapannya, berdiri Ardi.Tegak, sopan, tapi wajahnya jelas tidak tenang.Risa tak mendengar percakapan mereka, tapi matanya cukup tajam untuk menangkap satu hal:cara perempuan itu memandang Ardi — tatapan yang tidak mungkin datang dari seseorang yang baru kenal.Itu bukan pandangan profesional, bukan pula sekadar kagum.Itu tatapan m
[Davin]Nadine, kumohon. Jangan katakan apapun ke siapa pun dulu.Adrian sedang menjalankan proyek pribadi yang penting.Ini bukan pengkhianatan. Ini ujian.[Nadine]Ujian? Lucu. Aku tidak ingat pernah ikut dalam ujian itu.Pesan terakhir itu membuat Davin terdiam lama.Ia tahu, dari nada tulisan saja, Nadine sudah melewati batas rasa ingin tahu.Yang tersisa kini hanyalah rasa terluka dan keinginan untuk mengungkap kebenaran — dengan cara apa pun.Sore itu, di cabang Timur, suasana kantor tampak normal.Tapi bagi Maya, semuanya terasa janggal.Ardi terlihat lebih pendiam dari biasanya, nyaris menghindari tatapan siapa pun.Saat rapat kecil selesai, Maya memberanikan diri menghampiri.“Pak Ardi,” panggilnya hati-hati.Ardi menoleh cepat, seolah tersadar dari lamunan.“Oh… Maya. Ada apa?”Maya menggenggam berkas di tangannya.“Ini laporan tambahan untuk evaluasi mingguan.”“Baik. Terima kasih.”Ia mengangguk, tapi tidak segera pergi.“Pak Ardi…”Ardi menatapnya, kali ini lebih lembut.
Malam itu langit terasa terlalu tenang.Di luar jendela kamar kosnya, Maya memandangi lampu jalan yang memantulkan cahaya lembut ke dinding.Namun pikirannya jauh dari damai.Sejak kejadian siang tadi — tatapan antara Bu Nadine dan Pak Ardi — ada sesuatu yang tak bisa ia usir dari kepalanya.Wajah Ardi saat itu… tegang, seperti seseorang yang tengah menahan napas di tepi jurang.Senyumnya memang ada, tapi matanya bercerita lain.Maya memeluk bantal, berguling ke kanan, lalu ke kiri.Ia mencoba menenangkan diri, tapi setiap kali mengingat ekspresi itu, dadanya kembali terasa sesak.Kenapa aku harus peduli sejauh ini? pikirnya.Dia atasan, bukan seseorang yang harus kupikirkan sampai begini.Namun hati selalu lebih cepat daripada logika.Ia bisa membohongi pikirannya, tapi tidak tatapan matanya sendiri saat melihat Ardi tadi — caranya melirik Nadine seolah takut ketahuan sesuatu.Ponselnya bergetar di meja. Pesan dari Risa.[Risa]Masih melek?Maya menarik napas.[Maya]Iya. Gak bisa ti
Sekeliling ruangan tertawa ringan, menganggapnya lelucon.Tapi bagi Ardi, kalimat itu seperti pisau halus yang menyentuh kulitnya.Ia membalas dengan senyum datar, berusaha santai.“Barangkali karena saya sering mendengar nama itu di berita.”Nadine hanya mengangguk.Namun tatapan matanya tidak pergi dari wajah Ardi.Dan Maya, di sisi lain, bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa di antara dua orang itu — sesuatu yang tidak bisa ia sebut, tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar tak menentu.Selepas rapat, semua orang bubar, namun Nadine masih duduk di kursinya.Ia pura-pura sibuk menulis catatan, sementara Ardi membereskan berkasnya dengan hati-hati.Maya keluar lebih dulu, memberi ruang bagi tamu penting itu untuk beristirahat.Namun ketika pintu tertutup, Nadine berbicara tanpa menatap.“Ardi Santoso, ya?”Ardi berhenti. “Ya, Bu.”“Nama yang bagus. Terasa… dibuat.”Ia menoleh perlahan. “Maksud Anda?”Nadine menatapnya — kini tanpa senyum. “Kau mirip sekali dengan seseorang yan







