Share

Misterius

Penulis: Iyustine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-25 21:19:39

“Bu, kalau nanti perlu istirahat lagi, bilang ya?” kata Melati lembut. Mereka baru saja masuk ke dalam mobil, setelah istirahat yang ketiga.

Dewi tersenyum. Tangannya meraih wajah sang menantu. Dia belai dengan kelembutan beberapa jenak.

“Kamu jangan terlalu kuatir, Mel. Ibu sudah benar-benar sehat. Lagi pula Ibu kan juga cuma duduk.”

“Ya, tetap aja yang namanya dalam perjalanan pasti capek, Bu. Beda dong duduk-duduk santai di rumah dan duduk di mobil. Apalagi ini perjalanan jauh,” timpal Melati.

Istri dari Biyan itu sungguh-sungguh kuatir dengan kondisi mertuanya. Dia baru keluar dari rumah sakit, tetapi terus memaksa ikut serta dalam mencari Aneta. Padahal kampung yang dituju cukup jauh, hampir empat ratus kilometer dari kota tempat mereka menetap.

“Alhamdulillah, gerbang kabupatennya udah keliatan.” Biyan menunjuk gapura besar yang terbuat dari semen kokoh. Di situ tertulis jelas: Selamat Datang Di Kabupaten Kami.

“Alhamdulillah,” desis Dewi.

“Kita sudah sampai?” Entah mengapa Melati menjawab dengan nada antusias.

“Masih satu jam lagi untuk mencapai ke desanya, Mel. Menurutku lebih baik kita cari penginapan di sini, besok pagi kita baru ke sana untuk mencari Aneta,” usul Biyan.

Melati langsung mengiyakan. Lima menit lalu dia baru melihat jam tangannya. Jam sembilan lebih dua puluh menit. Memang sudah terlalu larut untuk melakukan pencarian. Orang-orang pun pasti sudah beranjak tidur di jam segini.

Biyan membawa mobil ke hotel bintang tiga, hotel yang paling bagus di kota itu. Sesampainya di hotel mereka langsung pergi tidur.

Keesokan harinya, Melati yang terlebih dahulu bangun. Dia sengaja membuka balkon hotel, udara yang sejuk segera menerpa seluruh indera tubuhnya. Mungkin karena kota kecil ini letaknya di kaki pegunungan sehingga udara betul-betul terasa bersih dan adem.

Melati melempar pandangannya jauh ke depan, kalau bukan karena mencari Aneta, mungkin dia tidak pernah sampai di sini. Kampung masa kecil suaminya, yang selama ini tidak pernah dia tahu. Biyan dan Dewi tidak pernah bercerita tentang asal usul mereka.

Jam delapan pagi ketiganya turun untuk makan, kemudian melakukan check out. Sekira satu jam kemudian, mobil yang dikemudikan Biyan sudah membelah jalan kampung.

“Apa Mas Biyan masih ingat rumahnya?” tanya Melati.

“Insyaalloh masih, Mel.”

Pada sebuah rumah bambu yang di kanan kirinya kebun singkong, mobil berhenti. Melati menyangka itu rumah Aneta, ternyata bukan. Biyan membawa langkah mereka untuk menyusuri jalan setapak di samping rumah itu. Melewati kebun kelapa dan kolam ikan.

Biyan berhenti di depan rumah gubuk tua yang hampir roboh. Terlihat tidak terawat dan menguar aroma kemistisan.

“Kayak rumah kosong,” ceplos Melati.

“Iya,” jawab Dewi cepat. Reflek saja kedua perempuan itu bergandengan tangan, lalu terpekik ketika melihat seekor tikus yang sangat besar keluar dari pintu yang keropos.

Biyan mengitari rumah sembari memberi salam, memanggil nama si empunya rumah. Namun hingga dia berputar dua kali, rumah itu tetap bisu.

“Kayaknya bener kosong, Bi. Coba kita tanya rumah yang di depan tadi, yuk!” Dewi melangkah duluan. Tetap dengan menggandeng Melati. Biyan mengikuti dari belakang. Mereka menuju rumah yang dimaksud Dewi.

“Aneta siapa?” tanya si empunya rumah bingung. “Rumah di belakang sudah kosong dari lama. Enggak tau kemana orangnya.”

Orang itu tetap bersikeras tidak tahu tentang Aneta dan ibunya. Dia bahkan sedikit jengkel ketika Biyan terlihat mencecarnya dengan pertanyaan yang hampir sama.

“Kita coba susuri jalan, terus tanya sama orang yang kita temui, gimana?” usul Biyan.

Ide yang bagus, tetapi ternyata gagal juga. Entah sudah berapa puluh orang mereka tanyai tetapi tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Aneta maupun Mbok Yul, ibu Aneta. Bahkan ada yang mengaku baru pernah mendengar nama itu.

“Aneh, yang aku tahu orang desa itu saling mengenal satu sama lain,” celetuk Melati.

“Jaman sudah berganti, Mel. Sekarang desa maupun kota sama-sama individualis,” jawab Biyan.

Benar-benar pencarian yang menemukan jalan buntu. Hingga langit berubah keabuan, sosok Aneta dan Mbok Yul masih belum juga mendapatkan titik terang.

“Ini sudah sore, jujur Ibu udah capek. Apa boleh kita teruskan besok lagi, Mel?” tanya Dewi.

“Ya.”

Dari jawaban Melati yang sangat singkat itu tersirat dia betul-betul kecewa. Mereka sudah lelah mengitari satu desa, menjelajah sudut-sudut kampung. Boro-boro ketemu, bahkan sedikit keterangan tentang Aneta pun tidak mereka dapatkan. Seakan-akan Aneta itu sosok yang misterius.

“Atau kita cari di desa sebelah? Barangkali Aneta langsung pindah waktu itu,” kata Biyan. Mencoba memberi usulan yang lain.

Semangat Melati tumbuh kembali. Dia mengangguk antusias.

Biyan pun melajukan mobil menuju kembali ke arah kota kabupaten, sebab penginapan memang hanya ada di sana. Dia sengaja melalui jalan yang berbeda, kalau-kalau masih ada orang yang bisa dia tanyai.

“Eh, kita akan melewati makam Bapak ya, Bi? Kita tengok sebentar yuk,” ajak Dewi.

“Duh, udah mau mahrib, Bu.” Biyan tampak tidak setuju.

“Sebentar aja kok, lagian makam Bapak kan di pinggir jalan, enggak masuk-masuk ke area makam terlalu dalam.”

Dewi memandang Melati, yang secara kebetulan sedang menoleh kepadanya.

“Boleh ya, Mel? Sebentar saja. Mumpung di sini, Ibu enggak tau bisa kapan lagi ke sini.”

Melati melirik Biyan. Lelaki itu terlihat sangat keberatan dengan keinginan ibunya.

“Enggak ada lima menit, Ibu janji cuma pengen liat nisan bapakmu, Bi,” Dewi sedikit merengek.

“Enggak papa ya, Mas, sebentar aja. Betul kata Ibu, mumpung kita di sini.” Melati akhirnya berkubu dengan ibu mertuanya. Tidak tega melihat raut Dewi yang memelas begitu.

Biyan menarik sudut bibirnya, tanpa menjawab dia luncurkan mobilnya pelan-pelan lalu berhenti tepat di depan area makam.

Dewi segera turun, diikuti oleh Melati. Sedang Biyan masih terlihat merajuk. Dia diam saja, masih mencengkeram kemudi meski mesin mobil sudah dimatikan.

“Ayo ikut, Bi, gimana pun dia bapak kamu,” ucap Dewi, sedikit melirik kepada Melati. Tampak seperti ada yang dirahasiakan di antara mereka.

Melati menatap suaminya. Memang agak aneh sih, kalau Biyan menolak berziarah kepada bapak kandungnya sendiri. Padahal menurut pengakuan Biyan, selama meninggalkan desa tujuh tahun yang lalu mereka belum pernah satu kali pun pulang kampung.

“Mas ….” Akhirnya Melati ikut bersuara.

Biyan bergerak dengan malas, wajahnya kentara sekali jika terpaksa. Namun jika sang istri yang sudah memintanya, dia tidak kuasa untuk menolaknya. Biyan pun bergerak, membuka pintu.

Tiba-tiba lelaki itu berteriak kencang sekali.

“Itu! Itu!” tunjuk Biyan ke dalam area makam.

Spontan Melati dan Dewi menoleh ke arah yang ditunjuk.

Dewi pun melengking lebih tinggi daripada Biyan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penyebab Suamiku Mandul   Waktu Yang Bicara

    Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu

  • Penyebab Suamiku Mandul   Memburu Saksi Pertama

    Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m

  • Penyebab Suamiku Mandul   Si Perencana

    Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.

  • Penyebab Suamiku Mandul   Masih Menjadi Misteri

    “Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati

  • Penyebab Suamiku Mandul   Akan Kuakhiri

    Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.

  • Penyebab Suamiku Mandul   Apa Harus Menyerah

    Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status