“Tuan Raka,” sapa Zayyan dengan nada sopan, berdiri di depan rumah yang diselimuti cahaya senja. Di sisinya berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan senyum lembut yang belum luntur oleh usia.
Raka mengangguk, memberikan isyarat halus agar mereka masuk. Pintu rumah membuka pada suasana yang hangat namun sedikit kacau—tanda bahwa kehidupan sedang bergulir di dalamnya.
Aroma masakan sore masih samar menggantung di udara, bercampur wangi kayu furnitur dan sedikit aroma antiseptik dari kotak P3K yang belum sempat dibereskan.
Wanita itu—yang kemudian diketahui bernama Bu Lisa—langsung bergerak begitu melewati ambang pintu.
Seolah sudah hafal ritme rumah, ia menyingsingkan lengan dan mulai membersihkan dapur dengan gerakan lincah yang penuh pengalaman.
Tangannya cekatan, namun tidak tergesa; seperti seseorang yang telah lama akrab dengan urusan rumah tangga.
Anak-anak, yang awalnya duduk murung di sudut ruang keluarga, kini t
Begitu ucapannya menggantung di udara, suasana seakan ikut terhenti. Bara sempat melirik ke arah Raka, tatapannya menyiratkan lebih dari sekadar tanya—ada beban di sana, semacam harap yang menggantung tanpa bentuk.Namun Raka tetap tak bergeming, wajahnya datar, seolah uap dari kopi pun tak mampu menghangatkan raut dingin itu.Ia menolak bicara, bahkan dengan mata.Bara menghela napas pelan. Satu-satunya yang terlihat memikul kesalahpahaman itu kini hanya dirinya sendiri.Kirana menyambut keheningan itu dengan senyum tipis, nyaris tak terlihat, lebih menyerupai bayangan senyum.“Saya tidak keberatan,” katanya dengan nada pelan namun mantap. “Kebetulan tadi saya bertemu Lukman, sudah lama tidak bertukar kabar.”Lalu, setelah jeda pendek yang disengaja, ia menambahkan dengan halus namun mengiris, “Tapi saya menghargai niat baik Anda. Hanya saja, tak perlu repot-repot menghibur saya.”Kata-katany
Sinar lampu gantung kristal memantulkan kilau halus di permukaan meja-meja makan, menciptakan suasana hangat namun penuh gengsi di ruangan itu.Musik lembut mengalun dari sudut aula, mengiringi denting gelas dan gumam obrolan para tamu. Tapi bagi Raka, semua itu hanya latar yang memburam.Fokusnya hanya satu: Kirana. Lebih tepatnya, Kirana dan Lukman.Raka tak bicara sepatah kata pun, namun sorot matanya tak pernah lepas dari mereka. Setiap kali tawa Kirana pecah karena celetukan Lukman, otot rahangnya mengencang, seperti berusaha menahan sesuatu yang hendak meledak.Bara, yang sedari tadi berdiri di dekatnya, menyadari perubahan halus itu. Ia melangkah sedikit lebih dekat, seolah hanya ingin melihat pemandangan di seberang, padahal matanya mencuri pandang pada ekspresi Raka.“Raka, kamu kenal dekat sama Dokter Alesha, ya?” tanyanya dengan nada ringan, nyaris seperti basa-basi.Butuh beberapa detik sebelum Raka menjawab. “K
Si pria berkemeja batik mahal itu sempat terdiam, mungkin menyadari bahwa senyum dan gayanya tak cukup menembus benteng tenang yang dipancarkan Kirana.Namun ia cepat-cepat menarik kembali senyum ramahnya, seperti mencoba menyelamatkan suasana.“Wah, saya kira Anda dari keluarga bangsawan,” katanya dengan tawa kecil yang diselipi harapan. “Melihat dari sikap dan penampilan Anda... anggun sekali. Apa saya boleh berkenalan? Mungkin kita bisa jadi teman.”Kirana mengangkat wajah sedikit, tersenyum lembut. Ada nada halus tapi tegas dalam suaranya saat menjawab, “Maaf ya, akhir-akhir ini aku memang sedang tidak terlalu mood untuk hal-hal seperti itu.”Senyumnya tak memudar, tapi ia menjaga jarak dengan elegan. Meski penolakan itu dibungkus dengan sopan santun, pria itu tetap tampak kecewa.Bahunya turun sedikit saat ia mengangguk pelan, lalu berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya berat namun tertahan.Tak ad
Sekar, yang sudah terbiasa membaca bahasa tubuh anaknya, langsung tahu maksud Raka saat pandangan pemuda itu melayang gelisah ke arah kerumunan.Ia menyentuh lengan putranya dengan kelembutan khas seorang ibu, lalu membisikkan nasihat dalam senyum hangat yang menyiratkan kepastian.“Di sana ada beberapa sesepuh yang selama ini kerja sama sama keluarga kita. Mestinya kamu nyapa mereka.”Raka menoleh ke arah yang ditunjuk ibunya.Di antara gemerlap lampu gantung yang menggantung megah dari langit-langit balai pertemuan, ia melihat beberapa pria dan wanita paruh baya berdiri dalam lingkaran obrolan—tertawa kecil sambil memegang gelas berisi wine merah tua yang terlihat mewah di bawah cahaya hangat ruangan.Ia sempat menarik napas dalam, seolah mempertimbangkan sesuatu. Tatapan matanya ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan, menyerah pada keharusan yang tak bisa ia hindari.Sekar pun menoleh ke belakang, matanya mengarah pada
Arga mengangkat tangannya setengah, seperti gerakan seseorang yang ingin menepis angin, bukan tuduhan.Nada suaranya tetap ringan, namun tak kehilangan ketulusan.“Ah, jangan bilang seperti itu, dong,” ujarnya sambil menatap lembut ke arah Zelina. “Meskipun saya cuma bisa rebahan, saya tahu kok, semua yang kamu lakukan selama ini. Kamu udah berkeliling, cari dokter ke mana-mana demi saya, kan?”Tatapan Arga hangat, seperti cahaya lampu senja yang menyentuh lembut permukaan air. Di balik matanya yang mulai menua, ada penghargaan yang tak bisa ditakar kata.Zelina membalas pandangannya, dan di matanya tampak genangan air yang berkilau tertahan.“Tapi… semuanya nggak berhasil, Paman,” bisiknya pelan, seperti angin malam menyusup lewat celah jendela.Suaranya nyaris tenggelam di antara riuh tamu, namun bagi Arga, kata-kata itu terasa paling lantang.Arga hanya tersenyum, perlahan dan tenang, sepe
Langkah rombongan itu pelan namun mantap, menyusuri halaman luas tempat resepsi digelar. Pijar lampu taman yang temaram menari di permukaan kolam kecil, menciptakan kilau berpendar di wajah-wajah yang datang dengan senyum.Di antara mereka, Sekar berdiri anggun, mengenakan kebaya berwarna senja yang menonjolkan ketegasan sikap sekaligus menyembunyikan pikirannya.Di sisi kirinya, Zelina menunduk sedikit saat menyapa para orang tua, suaranya halus, nyaris berbisik, menciptakan kesan manis yang disengaja.Mata mereka, tanpa aba-aba, serempak beralih ke satu arah: Sekar menatap Kirana.Kirana menyambutnya dengan senyum kecil yang tertahan, seakan menaruh jarak tanpa bersikap tidak sopan.Ia tahu senyum itu bukanlah benteng yang kuat, namun cukup untuk menyamarkan kegugupannya.Zelina mengamati situasi, lalu memilih tetap tenang. Ia hanya berjalan pelan di antara mereka, membiarkan percakapan mengalir tanpa merasa perlu ikut menimpali, tapi sese