Ia semakin yakin—Kirana sungguh tak tahu bahwa Elina adalah anak kandungnya.
Kalau Kirana tahu... akankah sentuhan hangatnya tetap sama? Ataukah, begitu bayang-bayang masa lalu itu muncul, kehangatan itu justru akan menjelma jarak?
Sepanjang hari itu, Kirana duduk di sisi ranjang, menemani Elina dalam kesunyian kamar rawat beraroma antiseptik yang terletak di sebuah rumah sakit kecil di kawasan Dago Atas.
Jendela kaca besar di sisi timur ruangan terbuka sedikit, membiarkan udara sejuk dari pepohonan pinus yang mengelilingi rumah sakit itu masuk perlahan.
Sinar matahari sore menyelinap malu-malu melalui celah gorden, menari-nari di dinding putih pucat.
Namun, di dalam ruangan itu, waktu seolah berhenti.
Elina tetap diam. Matanya kosong, menatap langit-langit, seakan jiwanya tersesat jauh, menapaki jalan asing yang hanya bisa dilalui sendirian.
Hanya suara detak jarum jam dan gelegar samar angin luar yang menemani mereka. Kirana berusah
Tatapan Zelina yang awalnya membeku dalam ketakutan kini berpendar perlahan—ada sesuatu yang mengendap dari balik pupilnya.Bukan lagi ketakutan mentah seperti sebelumnya, melainkan amarah tipis yang merayap seperti kabut dingin di pagi hari.Seperti air kolam yang keruh di dasar, dendam itu menetap diam-diam, tak menggelegak, tapi nyata.Sialan… Kenapa semuanya jadi seperti ini? gerutu Raka dalam hati, matanya menatap kosong pada dinding yang tak berkata apa-apa.Ia tahu segalanya kini berantakan. Dan penyebabnya? Anak kecil sialan itu! Gadis kecil menyebalkan itu—Elina.Seharusnya dia sudah bereskan pagi tadi. Tapi sekarang semuanya terlanjur.Sementara itu, Kirana menyingkirkan pikiran-pikiran mengganggu yang berkeliaran di benaknya. Ia berjalan ke dapur dengan langkah yang tak tergesa, namun penuh tujuan.Dapur itu hangat, lampunya temaram kekuningan, memantulkan cahaya lembut di atas permukaan meja kayu yang sudah ia ber
“Ada apa, Raka?” tanya Zelina, duduk berhadapan dengannya dengan gelagat gugup yang nyaris tak bisa disembunyikan.Nada suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, seolah berharap kelembutan kata bisa meredam ketegangan yang menggantung di antara mereka.Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar dengungan halus dari pendingin udara dan detik jarum jam di dinding.Tapi diam Raka justru lebih bising dari segala suara—tatapannya tajam, menusuk seperti ujung jarum yang menguji keberanian.Zelina meremas telapak tangannya di pangkuan, menyembunyikan kegelisahan yang berdenyut di balik senyum paksa yang ia pakai seperti topeng retak.“Kau yang antar Ellie pagi tadi?” suara Raka tiba-tiba terdengar, dingin dan tanpa pemanis, seperti batu yang jatuh ke dasar sumur.Zelina mengangguk cepat. “Iya... Bu Pradana minta tolong, jadi aku bantu.”Raka menghela napas pelan, tapi ujung bibirnya terangkat sinis. “Ibuku juga yang menyuruhmu menemui kepala TK dan me
Sore itu, Bandung mulai bertransformasi menjadi kanvas cahaya—lampu-lampu jalan menyala satu per satu seperti bintang yang turun ke bumi.Kabut tipis bergelayut di udara, menciptakan kesan melankolis yang tak bisa dihindari.Di dalam mobil yang melaju tenang, Elina menyandarkan tubuh kecilnya ke dada Kirana. Bocah itu diam, nyaris tanpa suara, seperti daun kering yang takut retak bila disentuh angin.Tangannya mencengkeram rok Kirana erat-erat, seolah kain itu satu-satunya tali yang masih menahannya dari jatuh ke jurang ketidakpastian.Kirana mengusap pelan punggung Elina, mencoba menyalurkan kehangatan lewat sentuhan—hangat yang tak sekadar berasal dari tubuh, melainkan dari niat untuk menjaga.Di kursi depan, Aidan duduk diam. Pandangannya kadang-kadang berbalik ke belakang, menelusuri wajah adiknya yang pucat dalam remang cahaya jalan.Ada kekhawatiran yang tidak diucapkan, tapi begitu nyata terpancar dari cara ia menggigit bibir bawahnya
Ia semakin yakin—Kirana sungguh tak tahu bahwa Elina adalah anak kandungnya.Kalau Kirana tahu... akankah sentuhan hangatnya tetap sama? Ataukah, begitu bayang-bayang masa lalu itu muncul, kehangatan itu justru akan menjelma jarak?Sepanjang hari itu, Kirana duduk di sisi ranjang, menemani Elina dalam kesunyian kamar rawat beraroma antiseptik yang terletak di sebuah rumah sakit kecil di kawasan Dago Atas.Jendela kaca besar di sisi timur ruangan terbuka sedikit, membiarkan udara sejuk dari pepohonan pinus yang mengelilingi rumah sakit itu masuk perlahan.Sinar matahari sore menyelinap malu-malu melalui celah gorden, menari-nari di dinding putih pucat.Namun, di dalam ruangan itu, waktu seolah berhenti.Elina tetap diam. Matanya kosong, menatap langit-langit, seakan jiwanya tersesat jauh, menapaki jalan asing yang hanya bisa dilalui sendirian.Hanya suara detak jarum jam dan gelegar samar angin luar yang menemani mereka. Kirana berusah
Kirana menarik napas panjang, dalam dan berat, seakan mengumpulkan kembali serpihan kekuatan yang berserakan dalam dirinya.Matanya sejenak menatap langit-langit ruangan yang putih dan kosong, lalu ia menoleh kembali ke arah tempat tidur, ke tubuh mungil yang terbaring diam di sana.“Ellie, lihat... Aidan dan Bayu juga di sini, lho,” ujarnya lembut, berusaha menyuntikkan sedikit semangat ke dalam suaranya yang nyaris rapuh.“Mereka datang buat nemuin kamu.”Langkah kaki kecil terdengar tergesa, lalu dua anak laki-laki itu muncul di sisi tempat tidur. Bayu, dengan mata bulatnya yang selalu penuh ide iseng, langsung mulai menarik wajah-wajah lucu, mencibirkan bibir, menyipitkan satu mata, dan menjulurkan lidahnya—gerakan yang biasanya membuat Elina terbahak tanpa bisa berhenti.“Aku datang khusus buat kamu, lho!” katanya riang, meski getaran cemas masih terjebak di ujung suaranya.“Jangan sedih terus, ya.” Dahinya berkerut kecil, seperti menah
Keluar dari taman, langkah Kirana dan anak-anak terayun cepat menuju mobil hitam yang telah menunggu di tepi jalan berkerikil.Sinar mentari sore menyusup di sela-sela daun trembesi yang melambai lembut, menciptakan bayangan acak di atas kap mobil.Aroma rerumputan basah masih menempel di udara, mengantar keheningan yang belum sempat pecah.Zayyan, sopir pribadi Raka, sudah duduk tegap di kursi depan, tangannya terlatih menyentuh tombol starter begitu semua penumpang masuk.Mesin menderu halus. Mobil meluncur meninggalkan taman, menjauh dari tawa anak-anak yang masih berserakan di udara.Mahira memilih tinggal, entah karena alasan praktis atau emosi yang tak terucap.Di dalam kabin yang sejuk oleh embusan AC, Raka mulai berbicara. Suaranya rendah, seakan tak ingin mengusik suasana yang sudah berat.Ia menjelaskan kondisi Elina—singkat, tapi cukup untuk menusuk."Sejak kejadian itu," katanya, tanpa menjelaskan kejadian mana, "re