Kirana baru saja menarik sabuk pengaman dan menyentuh tombol starter ketika suara klik kasar di sebelahnya membuat jantungnya melompat.
Pintu penumpang terbuka mendadak, dan seorang pria menyusup masuk begitu saja, membawa serta udara dingin yang seperti mencengkeram tulang.
Kirana tersentak. Matanya terbelalak saat mengenali wajah yang kini duduk di sebelahnya. “Apa-apaan ini, Pak Pradana?”
Tanpa menjawab, pria itu, Raka, menutup pintu pelan namun mantap. Gerakannya tak tergesa, tapi menyiratkan kehadiran yang tak bisa ditolak.
“Nggak apa-apa. Mobilku mogok,” ujarnya datar, menoleh ke arah Kirana sejenak, “Kebetulan lihat kamu lewat. Antar aku pulang, ya, Bu Alesha.”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi hawa yang menguar dari tubuhnya membawa kecanggungan yang pekat.
Aroma jaket kulitnya masih menyimpan sisa gerimis sore, dan udara dalam mobil kini terasa sesak, seperti terperangkap dalam ruangan tanpa ventilasi.
Kirana semp
Gosip berhembus kencang, seperti asap pekat yang menjalar di antara kerumunan yang tadi malam memenuhi aula pesta.Begitu Raka meninggalkan acara itu dengan Kirana di sisinya, bisik-bisik liar menyebar ke segala penjuru.Sekalipun ia sudah terbiasa jadi sorotan, kali ini rasanya berbeda. Lebih tajam. Lebih pribadi.Ia memang tak pernah benar-benar menyukai Zelina, tapi rasa hormatnya pada sang kakek membuatnya tak bisa begitu saja berbalik badan dan pergi.Ada utang budi yang menggantung di hati, menggumpal bersama perasaan tak nyaman yang sulit ia uraikan.Sayangnya, sebelum ia bisa mengambil langkah apa pun, situasinya justru berubah seperti benang kusut yang ditarik dari segala arah.Dan sekarang, ia terseret lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan."Itu nggak penting. Satu-satunya cara buat hentikan omongan itu ya ini!" suara Sekar terdengar dari ujung sambungan telepon, keras, datar, dan tak memberi ruang untuk bantahan.
“Ada apa?” tanya Raka, dahinya mengerut, mata elangnya mengarah tajam pada Zayyan yang berdiri kaku di ambang pintu.Zayyan tampak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tetapi mulutnya seolah terkunci. Ia menatap karpet dengan gelisah, sebelum akhirnya bersuara pelan, “Pak Pradana, soal Anda dan Mbak Zelina…”Raka langsung menajamkan pandangan. “Apa tentang kami?” Suaranya meninggi, penuh nada peringatan.Zayyan menunduk, meremas kedua tangan yang saling menggenggam di depan tubuhnya. “Apa benar Bapak akan bertunangan dengan beliau?”Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dasar danau. Hening. Dingin. Bergaung.Raka memicingkan mata, napasnya tertahan sesaat. Tatapan yang semula tenang mulai meretih. “Kamu dengar dari mana?”Suaranya lebih datar, tapi tensinya naik, seperti kabel listrik yang siap meletik kapan saja.Zayyan, yang biasanya tenang saat memberi laporan keuangan
Ruang privat di restoran itu remang, pencahayaannya temaram dari lampu gantung berdesain vintage, menyebar hangat ke seluruh penjuru ruangan.Dindingnya dilapisi panel kayu gelap dan lukisan abstrak bergaya kontemporer menggantung angkuh di tengah.Meja bundar dari marmer putih telah tertata rapi, dengan piring porselen dan peralatan makan berkilau.Zelina duduk membisu di salah satu kursi beludru hijau zamrud. Wajahnya pucat, lehernya kaku. Ia menunduk dalam diam, matanya hanya menatap ujung jemarinya yang saling menggenggam erat di pangkuan.Di sisi kanan dan kirinya, Gina dan suaminya duduk dengan ekspresi yang tak kalah murung. Tak ada senyum basa-basi, hanya atmosfer yang menggantung penuh ketegangan.Pintu terbuka. Suara langkah tumit Sekar terdengar mantap, diiringi jejak sepatu kulit milik Ilham. Aroma parfum floral dari Sekar langsung mengisi ruangan, mendahului kehadirannya.“Selamat malam, Bu Sekar, Pak Ilham.” Suara Z
Aroma tumisan bawang putih dan rempah-rempah yang menguar dari dapur langsung memanggil langkah kecil dan riang anak-anak itu.Lantai kayu yang berderit pelan seolah ikut menyambut tawa mereka yang membuncah. Kirana menoleh, tersenyum begitu mendapati Bayu dan teman-temannya berlarian masuk dengan wajah berseri-seri.Bayu, seperti biasa, langsung menjadi pusat perhatian. Dengan napas terengah-engah tapi penuh semangat, ia mulai bercerita tentang kegiatannya di taman kanak-kanak.Suaranya naik-turun, tangannya melambai-lambai seolah sedang menghidupkan kembali setiap adegan yang ia ceritakan.Kirana mendengarkan sambil terus mengaduk wajan, matanya hangat menatap satu per satu wajah kecil yang bersemangat itu.Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah suara kecil memecah suasana."Bu!"Satu kata, pelan namun menggema, seperti gaung yang merambat hingga ke dasar hati Kirana.Ia terdiam, tubuhnya membeku sesaat. Pandangannya turun
Tangan Elina bergetar saat ia buru-buru meraih selembar kertas dari meja kecil milik Bayu, diikuti oleh pensil yang hampir terjatuh ke lantai.Tapi sebelum sempat menulis, Aidan sudah lebih dulu menyambar pensil itu dan menyelipkannya ke saku celana pendeknya yang berdebu.“Nggak usah nulis,” kata Aidan, nada suaranya terdengar tegas namun tak sepenuhnya dingin. “Ngomong aja. Kalau kamu nggak ngomong, kita nggak bakal ngerti.”Elina hanya berdiri terpaku. Jemarinya mencengkeram sudut meja seperti mencari pegangan, matanya menatap ke lantai.Ada perasaan asing yang berat di dadanya, sesuatu antara takut dan kecewa.Bayu yang sedari tadi memperhatikan, ikut menimpali, suaranya lebih lembut dari Aidan. “Pagi tadi kamu udah janji sama Ibu, kan? Mau nyoba ngomong pelan-pelan.”Ia mencondongkan tubuh, berharap bisa melihat wajah Elina lebih jelas. “Kalau belum bisa ngomong banyak, panggil aja nama kita. Ki
Ruangan itu masih dipenuhi cahaya sore yang lembut, memantul di lantai kayu dan mainan plastik yang berserakan.Di sudut ruangan, Elina duduk bersila di atas karpet berwarna pastel, matanya mulai gelisah memindai sekitar.Bibirnya mengerucut, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang ia inginkan, atau butuhkan.Kirana, yang sejak tadi duduk bersandar di sofa sambil melipat cucian, menoleh dengan mata lembut. Ia memperhatikan gerak-gerik Elina, lalu meraih anak kecil itu ke pangkuannya dan mengusap pelan rambut halusnya yang terikat rapi.Tangannya bergerak dengan ritme yang menenangkan, seperti melodi diam yang hanya bisa dirasakan.“Kalau kamu mau minta tolong, coba bilang, ya. Kasih tahu Ibu dengan kata-kata,” ucapnya lembut, penuh harap.Elina menatapnya. Matanya, bening dan besar, berkedip cepat, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang tertahan di kerongkongan.Mulutnya terbuka sedikit, lalu tert