Genggaman tangan Elina masih bertaut pada jari Raka, hangat dan ringan seperti bulu angsa, sampai suara Rini menyelinap masuk dan membuyarkan segalanya.
Tatapannya langsung mengarah ke Kirana, seolah cahaya dalam matanya menemukan magnetnya sendiri.
“Aku mau tidur sama Bu Alesha yang cantik,” bisiknya dalam hati, nyaris seperti doa yang terucap diam-diam ke langit malam.
Raka, dengan wajah bersih dan senyum tenangnya, seperti selalu, langsung jadi pusat perhatian. Tidak butuh waktu lama hingga beberapa orang tua mulai berdatangan, menawarkan kamar mereka seakan-akan tengah berebut menjamu tamu agung.
Bahkan beberapa ibu terlihat tergesa-gesa, menarik lengan anak mereka yang belum mengerti mengapa harus ikut serta dalam kegaduhan kecil itu.
Namun dalam hiruk-pikuk yang tak bersahabat itu, Elina berubah. Cahaya di wajahnya memudar.
Pandangannya bergetar, nafasnya memburu halus. Tubuh mungil itu mundur perlahan, lalu melepaskan geng
Jantung Raka seperti dicekik dari dalam. Dentuman detaknya berdengung di telinga saat ia berjalan cepat kembali ke hotel, langkahnya diseret oleh doa yang tak putus-putus.Setiap sudut jalan yang ia lewati terasa seperti labirin yang menelan waktu. Ketika pintu kamar hotel terbuka dan ia melihat Bayu serta Aidan duduk menanti di atas ranjang, tubuhnya akhirnya mengendur.Napasnya, yang sejak tadi pendek-pendek dan berat, mendesah lega, seolah paru-parunya baru saja kembali menerima udara.“Pak Pradana, Ellie sudah ketemu?” tanya Bayu dengan suara setipis helaian tisu basah, matanya memantulkan harapan yang sudah setengah redup.Raka menggeleng. “Belum,” jawabnya perlahan, pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan yang terasa terlalu sunyi untuk ukuran tempat dua anak kecil sedang menunggu.“Ibu kalian yang antar kalian ke sini?”Bayu mengangguk, namun raut cemas semakin mengunci wajahnya. “Ibu langs
Zelina hanya mengangguk singkat, tapi sorot matanya tajam, tegas, seolah mengerti bahwa pada saat genting seperti ini, satu pasang mata tambahan bisa menentukan segalanya.Tanpa menunggu lebih lama, ia segera melangkah cepat menuju lokasi pencarian Elina, langkah-langkahnya mantap menapak jalan berkerikil yang berkelok menuruni lereng.Di tempat lain, Sekar berdiri di balkon kamar hotel, matanya memandang ke arah hutan yang mulai diselimuti kabut senja.Angin dingin Lembang menerpa rambutnya yang disanggul longgar, tapi yang membuat tubuhnya menggigil bukan hanya hawa gunung, melainkan rasa cemas yang terus mencengkeram dadanya.Dengan jari-jari sedikit gemetar, ia menekan nama Raka di layar ponsel.Suara dering menyusup ke udara lembab pegunungan. Raka, yang sedang menyusuri jalur sempit di tepi perbukitan, menghentikan langkahnya.Daun-daun kering berderak di bawah sepatu botnya saat ia mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Nama ibunya meny
Bu Rini mengambil alih dengan sigap. “Baik, Ibu mengerti. Kalian tunggu di sini, ya,” katanya lembut namun tegas.“Ibu akan panggil yang lain untuk bantu cari.”Senyum menenangkan disunggingkan sebentar, lalu ia berjalan cepat menjauh, sambil menunduk menulis pesan di ponsel.Jemarinya mengetik kilat di grup WhatsApp orang tua murid, disusul panggilan-panggilan singkat ke staf TK.Suaranya tetap rendah, tapi matanya menyapu sekitar, penuh kewaspadaan. Satu nama: Elina. Hampir semua orang tahu siapa dia, gadis kecil bermata bulat yang selalu menyapa siapa pun dengan senyum selebar mentari.Di tempat lain, aroma hotel yang dingin dan mewah menyergap begitu Kirana mendorong pintu lobi. Bau karpet bersih bercampur aroma bunga segar dari vas besar di sudut ruangan menyentuh inderanya, tapi pikirannya terlalu kacau untuk meresapi itu semua.Lalu ia melihatnya.Zelina duduk di sofa panjang berlapis beludru bi
Langkah Kirana makin cepat saat mendekati gerbang kebun raya, sepatu kanvasnya menimbulkan suara berdebum halus di atas jalan setapak berbatu.Udara sore yang lembap menusuk hidungnya, menyatu dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai menguning.Hatinya berdegup tidak karuan, seolah mengikuti irama langkahnya yang terburu-buru.Di bawah lengkungan besi gerbang tua yang dibalut sulur-sulur tanaman rambat, berdirilah Raka. Ia tampak mematung, pandangannya terpaku ke arah jalan setapak yang melingkar ke arah danau.Bahunya sedikit membungkuk, dan dari jarak segitu pun Kirana bisa melihat ketegangan yang merambat di garis rahangnya.“Gimana? Ketemu?” tanyanya begitu tiba di sisi pria itu, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya, nyaris patah.Raka mengerjap, baru menyadari kehadirannya. Ia menoleh perlahan. Tatapannya bertemu mata Kirana, lalu meluruh pelan menjadi ekspresi muram.Ia menggeleng sekali, gerakannya
Lift menderu pelan menuruni lantai, menyisakan keheningan yang janggal di dalam kabin kecil itu. Lampu kuning temaram menyorot wajah Zelina yang berubah kaku seperti topeng porselen.Di sebelahnya, Elina berdiri mematung, kedua tangannya mengepal erat di sisi rok, kepala tertunduk seperti sedang menahan sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan."Ellie? Ngapain kamu ikut? Di kamar aja sama Ayah, ya?" tanya Zelina, nadanya mengandung teguran yang dibalut senyum tipis.Tapi senyum itu tak sampai ke matanya.Elina hanya diam. Tidak menjawab, tidak menatap. Hanya helai rambut halusnya yang sedikit bergetar karena hembusan AC lift.Zelina mencibir pelan, lalu berpaling, seolah anak itu hanya dinding tambahan yang tak perlu dipedulikan.Suasana di dalam lift menegang, seperti tali yang direntangkan terlalu kencang. Tak ada kata-kata. Hanya bunyi mekanis dari sistem lift dan detak jam tangan di pergelangan Zelina.Ketika pintu terbuka perla
Cahaya yang semula mengisi mata Zelina, seperti kilau hangat dari sore yang indah, meredup seketika saat sosok itu muncul di ambang pintu.Bibirnya bergerak membentuk senyum, tetapi hanya sekilas, lebih mirip bayangan senyum yang dipaksakan."Ellie," gumamnya dengan nada yang nyaris tak terdengar.Langkah-langkah kecil Elina terdengar lembut di karpet kamar hotel, memeluk boneka kelinci lusuh di pelukannya.Sementara itu, Zelina berdiri terpaku di ambang pintu, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah mencoba menyatu kembali dalam dunia yang terasa asing baginya.Rambutnya yang sempat tertata rapi kini berantakan, sedikit kusut oleh angin taman bunga yang tadi membelainya selama ia berjalan sendiri, menyusuri jalan setapak menuju hotel.Udara kamar beraroma pendingin ruangan dan parfum anak-anak, tapi ada ketegangan yang menggantung di antara ketiga orang di sana, seperti benang halus yang siap putus kapan saja.Raka duduk di tepi ra