Nama Elina bukanlah alasan utama, namun Raka sengaja menggunakannya sebagai pintu. Ia tahu betul, Kirana bukan tipe yang mudah dibuka paksa.
Tapi jika menyebut nama Elina—anak kecil yang dulu pernah menempati ruang hangat di rumah Kirana—mungkin, hanya mungkin, hati perempuan itu akan melembut, dan bibirnya tergerak untuk menjawab.
Dan benar saja. Saat nama itu meluncur dari mulut Raka, mata Kirana berubah sedikit. Tidak selembut senja, tapi tak setajam pisau juga.
Ada keraguan, ada tanya yang mengambang dalam benaknya.
Raka bisa melihatnya. Bisa merasakan sesuatu dalam benak Kirana mulai tergoyah, walau perasaan itu tak sepenuhnya menguntungkan.
Sebab jika Elina dirawat sudah beberapa hari, berarti Raka cukup sering berada di sisinya. Lalu sejak kapan kedekatan itu terjadi?
Bagaimana bisa pria itu begitu memahami kondisi Elina, kalau bukan karena telah meluangkan waktu bersamanya?
Namun Kirana tetap menjaga jarak. Suarany
Rini sempat menyesal atas kalimatnya yang terburu-buru. Kalau terjadi sesuatu di jalan, siapa yang bertanggung jawab kalau bukan dia?Tapi tatapan mata Elina, bulat, basah, dan penuh harap itu, membuat hatinya luluh. Ia menyerah. “Baiklah, Ibu antar kamu,” ujarnya, meski ada rasa berat.Mereka berangkat. Udara siang makin gerah, sinar matahari menimpa trotoar yang berdebu. Alamat Kirana tertera jelas di formulir pendaftaran TK, namun ini pertama kalinya Rini menginjakkan kaki ke sana.Jalanan terasa asing, dan beberapa kali ia hampir salah belok. “Lewat sini, Bu,” kata Elina pelan, menunjuk tikungan sempit di antara rumah-rumah tua. Rini tertegun.Rupanya, gadis kecil ini sudah sering ke sana, seolah hafal setiap sudut jalan.Saat mereka tiba, matahari sudah hampir tepat di atas kepala. Rumah Kirana berdiri anggun dengan pagar besi berwarna hitam, diapit pot-pot tanaman yang mulai merunduk kehausan.Rini menuntun Elin
Begitu pintu kelas terbuka, Rini disambut oleh aroma kapur tulis yang samar bercampur bau kertas dan cat kayu yang menua.Ruangan itu penuh warna, dengan gambar-gambar kupu-kupu dan bintang kertas yang menggantung di dinding.Namun suasana riang yang biasanya mengisi kelas TK di Bandung itu mendadak terasa suram ketika suara isak tangis Elina menyusup ke telinganya, tipis tapi menusuk.Langkah Rini terhenti, matanya langsung menemukan sosok kecil di sudut ruangan. Elina duduk dengan bahu berguncang, wajahnya terbenam di kedua telapak tangan, pipinya basah dan memerah oleh jejak air mata.“Ada apa, Ellie?” suara Rini lembut, penuh kehangatan. Ia berjongkok hingga sejajar dengan mata Elina, mencoba menangkap pandangan gadis kecil itu.Namun Elina hanya menangis lebih keras, suaranya terputus-putus.Di sisi lain, seorang anak laki-laki berkulit cerah berdiri dengan wajah penuh rasa bersalah. Yoel menggigiti bibirnya sebelum akhirnya
Sejak matahari belum tinggi, Zayyan sudah menunggu di kantor, menempati kursi di lobi dengan gelisah.Ketika pintu lift terbuka dan Raka melangkah keluar, langkahnya seolah membawa hawa dingin. Zayyan segera berdiri dan menyapanya, “Saya ada kabar, Pak Pradana.”Tatapan Raka menajam, sorot matanya berubah kelam. “Kamu sudah temukan sopirnya?”“Belum, tapi kami menemukan mobilnya,” jawab Zayyan, suaranya rendah namun tergesa. “Kami cek rekaman CCTV di beberapa persimpangan. Dari sana, kami berhasil melacak rute mobil itu setelah keluar dari parkiran. Mobilnya dibawa ke pinggiran kota, dan tim saya menemukannya di sebuah tempat rongsokan.”Udara di ruang kerja Raka terasa berat ketika pintu ditutup rapat. Zayyan berdiri di depan meja kerja yang dipenuhi tumpukan berkas, melanjutkan laporannya, “Plat nomor mobil hitam itu palsu. Tidak ada catatan kepemilikan. Mobil itu seharusnya sudah dibuang, tapi pelak
Hati Sekar tercekat, seperti ada batu besar menekan dadanya, saat melihat ketegasan di wajah putranya.Raka duduk dengan punggung tegak, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tak bergeming. Sekar terlalu mengenalnya.Justru ketika wajah Raka tampak tenang seperti ini, itulah tanda bahwa tekadnya sudah sekuat baja, tak bisa digoyahkan.Ia menelan ludah, berusaha meredam gejolak di dada. Bukankah ini bukan pertama kalinya Raka memperingatkannya agar tidak ikut campur urusan Kirana?Tapi kenapa, kenapa Kirana begitu istimewa di mata anaknya? Apa hebatnya perempuan itu sampai Raka berani menentang aku demi dia?!Sekar menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya agar tidak pecah.Dengan gigi terkatup, ia berkata tajam, “Kalau begitu, kamu anggap Zelina itu apa? Zelina sudah menunggumu bertahun-tahun, Raka. Sekarang kamu mau buang dia begitu saja? Apa kurangnya dia? Kamu pikir Kirana lebih baik dari Zelina? Sudah lupa bagai
Namun, ia sama sekali tak menduga kalimat menusuk itu akan terlontar dari bibir Kirana.“Tidak semua orang tertarik pada putra Anda. Aku jelas tidak.”Ucapan itu seolah menampar wajah Raka, bergaung di kepalanya seperti gema yang terus menolak padam.Satu kalimat yang mampu meruntuhkan segala kenangan. Enam tahun lalu, ia pernah menjadi segala sesuatu bagi Kirana.Kini, perempuan itu melontarkan kata-kata sedingin itu, tanpa ragu, seakan tak ada lagi kisah yang pernah mereka bagi.Raka menelan ludah, rahangnya mengeras. “Apa maksud ucapanmu barusan?”Kirana menoleh sedikit, pandangannya sekilas ke arah Sekar yang duduk dengan anggun di kursi seberang.Sebuah senyum hambar muncul di wajahnya, lebih seperti guratan lelah daripada kelembutan. “Aku tidak tahu apa yang kamu dengar, tapi aku jujur. Kamu pasti paham maksudku. Jadi, mari jangan saling mengganggu hidup masing-masing.”Ia mengangguk so
Bayu menyantap sarapan dengan nafsu yang baru saja kembali. Roti cokelat hangat di piringnya habis dalam sekejap, meninggalkan remah di ujung bibir yang ia hapus dengan punggung tangan.Kirana, yang memperhatikannya dari seberang meja, merasa dadanya melonggar, seolah ada beban yang perlahan terangkat.Senyum tipis terlukis di wajahnya, meski matanya tetap menyimpan bayangan lelah.Di ruang makan kecil itu, aroma roti panggang bercampur dengan wangi susu hangat. Lisa sedang sibuk membantu adik bungsu Bayu, menyeka tumpahan selai di ujung meja.Hiruk pikuk kecil itu memberi Kirana sedikit rasa damai, sampai suara bel rumah mendadak memecah suasana.Bel itu terdengar tajam, seperti ketukan pintu tak sabar yang menyimpan pesan tak menyenangkan.Kirana menoleh sekilas pada anak-anak yang masih asyik, lalu berdiri. Langkahnya cepat tapi ragu. Ketika pintu dibuka, wajahnya langsung mengeras.Jantungnya terasa jatuh ke perut, seakan sesuatu