Beberapa helaan napas panjang terdengar dari Kirana sebelum akhirnya ia mendongakkan wajah. Ada tarikan dalam di dadanya, seolah sedang menahan sesuatu yang bergolak, berusaha agar tidak pecah begitu saja di depan orang lain.
Senyum tipis ia paksa hadir di bibir, namun matanya—ah, mata itu tak bisa berbohong. Ada keraguan yang menari di balik tatapan, samar tapi jelas bagi siapa pun yang cukup jeli.
“Mungkin salah kirim. Nanti aku hubungi tokonya, ya.”
Suaranya ringan, nyaris seperti bisikan yang dipoles agar terdengar wajar.
Namun Lisa, yang berdiri hanya beberapa langkah darinya, tak mudah terbuai. Tatapannya menajam, menusuk dengan selidik yang tidak ramah. Alisnya terangkat tipis, tubuhnya sedikit condong ke depan, seakan ingin membaca lebih dalam bahasa tubuh Kirana.
Di balik wajah kalem Lisa, ada keyakinan yang tak tergoyahkan: Raka Pradana bukan pria sembarangan. Dan tentu bukan lelaki yang asal meletakkan namanya pada sebu
Tatapan Raka tajam, dingin, seolah bilah es baru saja menembus dada seseorang tanpa suara. Sorot matanya pekat, menahan letupan emosi yang tak menemukan jalan keluar.Zayyan, yang barusan masuk sambil menenteng vas berisi mawar merah segar, langsung merasakan hawa berbahaya itu. Gerakannya cepat berubah kikuk. Ia menunduk, meletakkan vas di pojok ruangan dengan hati-hati, lalu melangkah pergi pelan, seperti pencuri yang takut membangunkan rumah.Kesunyian kembali menguasai ruang kerja. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berpadu dengan aroma bunga yang menebar, memenuhi ruangan yang kini mirip rumah kaca mungil—dinding-dindingnya seakan sesak oleh kelopak merah.Seminggu penuh, Raka menuruti saran Bara tanpa absen. Kirim bunga setiap hari, katanya. Tak peduli ditolak, teruskan saja. Hati perempuan itu pasti luluh.Namun hati Kirana masih keras, sama seperti di awal. Raka menatap rangkaian bunga yang memenuhi sudut-sudut ruangan
Memberi bunga bukanlah kebiasaan Raka. Bahkan, kata “bunga” nyaris tidak pernah menyinggung kehidupannya—tidak dalam percakapan, tidak pula dalam tindakannya.Namun pagi itu, dunia seolah menolak aturan lamanya. Raka justru mengirimkan buket mawar segar, dan Kirana menjadi satu-satunya penerima.Sekilas, seharusnya tak ada yang istimewa dari setangkai bunga. Tapi ketika tangannya menyentuh gulungan kertas pembungkus yang masih dingin oleh embun pagi, waktu di sekitar Kirana serasa berhenti.Bukan kali pertama. Kemarin ia sudah menolak satu buket serupa, dengan ukuran lebih sederhana. Tapi hari ini, bunga yang mampir jauh lebih besar, warnanya lebih mencolok, aromanya menusuk dada, menusir sisa kantuk yang sempat ia simpan setelah malam panjang.Yang membuatnya sesak bukan sekadar mawar yang merekah. Melainkan tubuhnya sendiri—jantung yang mendadak berdebar, jemari yang kaku, dan tarikan napas yang tak sempat teratur.Tak ada
Langit Bandung pagi itu tampak berat, seperti menahan sesuatu yang enggan ia lepaskan. Awan kelabu menggantung rendah, menutup jalan bagi cahaya matahari yang masih berusaha menembusnya. Udara menyisakan aroma tanah basah, lembap, bercampur wangi samar dedaunan yang terguyur hujan subuh.Jalanan kecil di depan taman kanak-kanak masih licin, memantulkan cahaya lampu kendaraan yang sesekali melintas.Lisa berdiri di depan gerbang, jaketnya tertutup rapat, kedua tangannya merapat ke tubuh untuk menahan dingin yang merambat. Tatapannya mengikuti anak-anak berseragam warna-warni yang berlari masuk, langkah-langkah kecil mereka berpadu dengan tawa riang, riuh seperti kicau burung pagi.Di sisinya, Raka berdiri tegap, wajahnya serius, mata terfokus hanya pada satu sosok mungil yang baru saja menghilang di balik pintu kelas. Lisa sempat melirik, mencoba membaca ekspresi pria itu. Namun wajah Raka tetap dingin, sulit diterka.Ada sesuatu yang bergerak di balik tat
Angin malam merayap masuk dari celah jendela mobil yang terbuka sedikit. Dingin yang dibawanya menempel di kulit, menambah ketegangan yang sejak tadi tak kunjung pecah di dalam kabin. Lampu jalan berkelebat, berganti dengan bayangan pepohonan, seolah ikut menyaksikan percakapan yang tertahan.Bara bersandar santai, namun matanya tak pernah benar-benar rileks. Dari sudut bibirnya meluncur kalimat yang terdengar biasa, tapi nadanya menyimpan beban.“...mendekati perempuan itu sama saja kayak menutup proyek bisnis,” ujarnya datar, tapi menohok. “Jangan berputar-putar. Langsung tunjukkan niatmu. Biar dia tahu ke mana arahmu. Kalau setengah hati, kamu bakal kehilangan segalanya.”Raka hanya diam, pandangannya lurus ke depan. Bara menepuk bahunya ringan, tapi ketukan kecil itu bagai palu yang menghantam batin. Sentuhan itu menyalakan bara yang disembunyikan dalam dada sahabatnya.“Kalau kamu suka, akui. Jangan jadikan Elina tameng.
"Taruh saja dulu bunganya, nanti saya yang bawa ke atas untuk Pak Pradana," ucap Zayyan, suaranya tenang tapi membawa ketegasan yang tak bisa ditolak.Ucapan itu membuat ruang resepsionis seketika senyap. Hanya terdengar dengung pendingin ruangan yang bekerja terlalu rajin, bercampur bau tajam pembersih lantai yang menusuk hidung.Resepsionis mengangguk patuh, sementara si kurir masih ragu. Pemuda itu menggenggam erat buket di tangannya, jemarinya sedikit gemetar. Jaket lusuhnya berbau lembap, dan sepatunya—yang warnanya tak lagi jelas antara cokelat dan hitam—seperti sudah lama menunggu giliran diganti.“Tapi pelanggan kami bersikeras bunga ini harus saya serahkan langsung,” suaranya meluncur, terdengar lebih gugup ketimbang meyakinkan.Zayyan menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis, sopan, tapi jelas menutup ruang tawar-menawar. “Tenang saja. Saya asistennya langsung. Bunganya pasti sampai ke tangan beliau.”
Beberapa helaan napas panjang terdengar dari Kirana sebelum akhirnya ia mendongakkan wajah. Ada tarikan dalam di dadanya, seolah sedang menahan sesuatu yang bergolak, berusaha agar tidak pecah begitu saja di depan orang lain.Senyum tipis ia paksa hadir di bibir, namun matanya—ah, mata itu tak bisa berbohong. Ada keraguan yang menari di balik tatapan, samar tapi jelas bagi siapa pun yang cukup jeli.“Mungkin salah kirim. Nanti aku hubungi tokonya, ya.”Suaranya ringan, nyaris seperti bisikan yang dipoles agar terdengar wajar.Namun Lisa, yang berdiri hanya beberapa langkah darinya, tak mudah terbuai. Tatapannya menajam, menusuk dengan selidik yang tidak ramah. Alisnya terangkat tipis, tubuhnya sedikit condong ke depan, seakan ingin membaca lebih dalam bahasa tubuh Kirana.Di balik wajah kalem Lisa, ada keyakinan yang tak tergoyahkan: Raka Pradana bukan pria sembarangan. Dan tentu bukan lelaki yang asal meletakkan namanya pada sebu