Share

2. Kemarahan Bapak

"Dek, tiap orang akan bawa rejeki masing-masing, ketika menikah lagi tentunya Abang akan ada rejeki buat mereka," bela Bang Akram masih kekeuh dengan ucapannya.

"Bang, maaf kalau saat ini Abang mau menikah lagi jelas ekonomi kita morat marit, berantakan," aku mengingatnya.

"Doa itu yang baik-baik, Rasulullah saja istrinya banyak," ucap Bang Akram.

"Tujuan Rasulullah bukan sekedar syahwat, tapi menolong terutama janda tua, jika Abang sudah mampu menolong bukan harus menikahi tapi bisa saja kita bersedekah kepada mereka," ucapku lagi dengan lembut.

"Bang, aku jadi meragukan cinta Abang," suamiku mendekat memeluk erat.

"Jangan ragukan cintaku, Dek. Abang cinta dan sayang sama kamu. Sosok wanita cantik, anggun, Solehah. Kamu tetap ada diposisi utama dihati Abang, kamu yang menemani disaat aku terpuruk, kamu yang begitu sabar dengan kondisi Abang, kamu tak akan tergantikan dihati Abang," ucap Bang Akram meyakinkan aku, siapa sih yang nggak meleleh mendapat pujian seperti itu.

Tapi apa kenyataannya sekarang? Aku mengantar kedua anakku dengan memakai motor, dengan posisi Hilda didepan dengan kursi khusus balita. Syifa dan Daffa di belakang, ya itulah keseharian kami tiap hari Sabtu selama tiga bulan ini. Senin - Jum'at ada Ayahnya yang mengantar sekalian berangkat ke kantor.

"Kasihan Hilda, Bu. Masih kecil dibawa naik motor terus, takut masuk angin. Suami kemana Bu? Biasanya anak-anak yang mengantar suami," ucap tetanggaku iba.

"Lembur, Bu. Ke luar kota," jawabku.

"Permisi, kami pamit dulu, Bu," ucapku lagi dengan lembut.

Siangnya Hilda aku titipkan dirumah mertua kasihan kepanasan jika ikut menjemput kakak-kakaknya.

"Fitri, apa Akram selalu lembur? Ibu tidak pernah melihat dia setiap akhir pekan seperti ini. Padahal dari dulu dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan liburan, akhir pekan selalu buat anak-anak dan main kesini sekedar memuji makanan Ibu," Ibu menanyakan Bang Akram.

"Kata Bang Akram ada pekerjaan, Bu," jawabku.

"Kamu hati-hati ya jemput Syifa dan Daffa, jangan ngebut. Hilda akan baik-baik saja disini," Bu aku yang nggak baik-baik saja saat ini, batinku. Siapakah maduku, tega Bang Akram membohongiku. Lekas aku bergegas keluar, takut Hilda terbangun mumpung dia lagi tidur. Tidak sampai satu jam aku sudah kembali kerumah Ibu Mertuaku.

"Fit, kamu nginap saja disini ya?" tanya Ibu mertuaku.

Aku belum menjawab, mempertimbangkan bagaimana jika Hilda rewel seperti biasanya. Belum pernah menginap disini tanpa suami.

"Fit, Ibu mohon ya, ... kamu nginap disini biar rame. Bapak juga pasti akan senang jika tau cucu-cucunya menginap, sudah berbulan-bulan kalian tidak pernah menginap dirumah Ibu," ucap Ibu memohon.

"Baiklah, nanti Fitri pulang dulu ambil baju ganti anak-anak, Bu."

"Syifa, Daffa nenek meminta kita nginap disini, bagaimana?" tanyaku ke mereka.

"Asyik Bun, sudah lama kita nggak tidur disini," ucap Daffa gembira.

"Fit, baju ganti anak-anak sama kamu bukannya masih ada ya, dikamar. Kemarin Ibu lihat pas membersihkan kamar kalian," ucap Ibu.

"Beneran kita nginap, Bun? Alhamdulillah, aku mau tidur sama Nenek," rengek Syifa.

"Siap cucu Nenek, sekarang kalian ganti baju dulu gih, bau pasti habis lari-lari ya," ucap Ibu sambil seolah-olah memencet hidung kemudian tertawa.

Begitulah hubungan kami, sangat hangat. Bang Akram sosok anak yang berbakti, hangat kepada keluarga tak heran sifatnya menurun kepada anak-anaknya.

"MasyaAllah ternyata cucu Kakek lagi ngumpul ini, kalau suasana seperti ini capek kakek jadi hilang,"sapa Bapak dengan semangat.

"Masa sih, Kek? Sekarang Ayah kalau pulang malah kami nggak boleh dekat-dekat katanya lagi capek," ucap Daffa membuat Kakek terbengong dengan pernyataan cucunya.

"Kakek punya apa ini? Lihat Kakek habis dari kebun," Kakek menunjukan buah jambu merah yang sudah masak.

"Bun, Kakek punya jambu baru petik. Buat jus jambu yuk, Bun," ajak Syifa.

Bapak melirik kearah ku, beliau menyelidik melihat hal yang tidak beres dalam diriku. Bukannya aku berusaha biasa saja, kenapa Bapak melihatku seperti itu?.

"Syifa, bikin jusnya sama Nenek ya, ini buah jambu dibawa ke dapur. Nenek di dapur kan? Daffa, Syifa bantulah Nenek!" perintah kakek dengan lembut.

"Siap Kek," jawab Syifa.

Bapak terus memandangiku lalu menghela nafas panjang.

"Fit, kamu nggak mau cerita sama Bapak?" tanya Bapak.

"Cerita apa, Pak? Semua baik-baik saja,"

"Fitri, kamu jadi menantu Bapak bukan kemarin sore tapi sudah lebih dari 10 tahun, bahkan Bapak tidak lagi menganggap kamu jadi menantu tapi kalau adalah putriku," ucap Bapak.

Aku mencoba menahan emosi yang bergejolak, ingin kuceritakan kepada Bapak, tapi takut Bapak akan membela Bang Akram, dan tidak percaya padaku.

"Fitri, tadi Daffa ngomong kalau ayahnya tidak sehangat dulu. Dia bilang kalau mendekati ayahnya, Akram bilang nggak boleh mendekat karena capek, Bapak yakin ada yang kamu sembunyikan," ucap Bapak tegas.

"Pak, kalau Fitri tidak tau persis kenapa Bang Akram berubah. Tapi yang jelas sudah tiga bulan ini Bang Akram selalu mengatakan pamit lembur, kemarin sore sewaktu Bang Akram mengatakan mau lembur, aku ke kantor. Ternyata ... " aku jeda kalimatnya, terasa berat mengatakan ke Bapak.

"Ternyata bagaimana, Fit? Aku yang akan menghajarnya jika dia macam-macam!" ucap Bapak.

"Bang Akram tidak dikantor, dan kata scurity selama ini tidak ada yang pernah lembur di akhir pekan," aku menjelaskan seperti halnya kepada orang tuaku sendiri. Justru sama orang tua aku nggak berani menceritakan hal ini, mereka akan kecewa dengan menantu yang selalu di banggakan karena keimanannya, taat beribadah.

Malam hari Hilda terus menangis, aku sudah terbiasa dengan kondisi Hilda, namun tidak biasa bagi mertuaku.

"Fitri, mana Hpmu?" tanya Bapak.

"Di meja depan, Pak. Aku letakan sembarang tadi," jawabku sambil mencoba mendiamkan Hilda.

Bapak terus berusaha menghubungi nomor Bang Akram, Tampak Bapak mendengus kesal karena tidak diangkat. Dengan posisi Aku masih menimang Hilda terus membuntuti Bapak.

"Pulang Akram, anakmu mencari!" Bapak setengah berteriak.

"Bapak nggak mau tau, ini baru pukul 20.00 masih bisa pulang, kalau masih dengan alasan lembur maka Bapak akan datang ke kantormu saat ini juga, untuk menyeret kamu!" ucap Bapak sangat tegas. Mana tega melihat cucunya seperti itu dengan selalu memanggil Ayah tanpa henti.

"Sejak kapan Hilda seperti ini Fit?" tanya Bapak dengar tatapan mengintimidasi menutut jawabanku secepatnya. Pilih bohong apa jujur?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Manis
Membaca saja aku sudah sesak nafasnya. Apalgi yang mengalami
goodnovel comment avatar
Tika lia
Halah ngeles kamu, bang.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status