Share

2. Kemarahan Bapak

Author: Pujiati
last update Last Updated: 2022-05-27 12:23:12

"Dek, tiap orang akan bawa rejeki masing-masing, ketika menikah lagi tentunya Abang akan ada rejeki buat mereka," bela Bang Akram masih kekeuh dengan ucapannya.

"Bang, maaf kalau saat ini Abang mau menikah lagi jelas ekonomi kita morat marit, berantakan," aku mengingatnya.

"Doa itu yang baik-baik, Rasulullah saja istrinya banyak," ucap Bang Akram.

"Tujuan Rasulullah bukan sekedar syahwat, tapi menolong terutama janda tua, jika Abang sudah mampu menolong bukan harus menikahi tapi bisa saja kita bersedekah kepada mereka," ucapku lagi dengan lembut.

"Bang, aku jadi meragukan cinta Abang," suamiku mendekat memeluk erat.

"Jangan ragukan cintaku, Dek. Abang cinta dan sayang sama kamu. Sosok wanita cantik, anggun, Solehah. Kamu tetap ada diposisi utama dihati Abang, kamu yang menemani disaat aku terpuruk, kamu yang begitu sabar dengan kondisi Abang, kamu tak akan tergantikan dihati Abang," ucap Bang Akram meyakinkan aku, siapa sih yang nggak meleleh mendapat pujian seperti itu.

Tapi apa kenyataannya sekarang? Aku mengantar kedua anakku dengan memakai motor, dengan posisi Hilda didepan dengan kursi khusus balita. Syifa dan Daffa di belakang, ya itulah keseharian kami tiap hari Sabtu selama tiga bulan ini. Senin - Jum'at ada Ayahnya yang mengantar sekalian berangkat ke kantor.

"Kasihan Hilda, Bu. Masih kecil dibawa naik motor terus, takut masuk angin. Suami kemana Bu? Biasanya anak-anak yang mengantar suami," ucap tetanggaku iba.

"Lembur, Bu. Ke luar kota," jawabku.

"Permisi, kami pamit dulu, Bu," ucapku lagi dengan lembut.

Siangnya Hilda aku titipkan dirumah mertua kasihan kepanasan jika ikut menjemput kakak-kakaknya.

"Fitri, apa Akram selalu lembur? Ibu tidak pernah melihat dia setiap akhir pekan seperti ini. Padahal dari dulu dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan liburan, akhir pekan selalu buat anak-anak dan main kesini sekedar memuji makanan Ibu," Ibu menanyakan Bang Akram.

"Kata Bang Akram ada pekerjaan, Bu," jawabku.

"Kamu hati-hati ya jemput Syifa dan Daffa, jangan ngebut. Hilda akan baik-baik saja disini," Bu aku yang nggak baik-baik saja saat ini, batinku. Siapakah maduku, tega Bang Akram membohongiku. Lekas aku bergegas keluar, takut Hilda terbangun mumpung dia lagi tidur. Tidak sampai satu jam aku sudah kembali kerumah Ibu Mertuaku.

"Fit, kamu nginap saja disini ya?" tanya Ibu mertuaku.

Aku belum menjawab, mempertimbangkan bagaimana jika Hilda rewel seperti biasanya. Belum pernah menginap disini tanpa suami.

"Fit, Ibu mohon ya, ... kamu nginap disini biar rame. Bapak juga pasti akan senang jika tau cucu-cucunya menginap, sudah berbulan-bulan kalian tidak pernah menginap dirumah Ibu," ucap Ibu memohon.

"Baiklah, nanti Fitri pulang dulu ambil baju ganti anak-anak, Bu."

"Syifa, Daffa nenek meminta kita nginap disini, bagaimana?" tanyaku ke mereka.

"Asyik Bun, sudah lama kita nggak tidur disini," ucap Daffa gembira.

"Fit, baju ganti anak-anak sama kamu bukannya masih ada ya, dikamar. Kemarin Ibu lihat pas membersihkan kamar kalian," ucap Ibu.

"Beneran kita nginap, Bun? Alhamdulillah, aku mau tidur sama Nenek," rengek Syifa.

"Siap cucu Nenek, sekarang kalian ganti baju dulu gih, bau pasti habis lari-lari ya," ucap Ibu sambil seolah-olah memencet hidung kemudian tertawa.

Begitulah hubungan kami, sangat hangat. Bang Akram sosok anak yang berbakti, hangat kepada keluarga tak heran sifatnya menurun kepada anak-anaknya.

"MasyaAllah ternyata cucu Kakek lagi ngumpul ini, kalau suasana seperti ini capek kakek jadi hilang,"sapa Bapak dengan semangat.

"Masa sih, Kek? Sekarang Ayah kalau pulang malah kami nggak boleh dekat-dekat katanya lagi capek," ucap Daffa membuat Kakek terbengong dengan pernyataan cucunya.

"Kakek punya apa ini? Lihat Kakek habis dari kebun," Kakek menunjukan buah jambu merah yang sudah masak.

"Bun, Kakek punya jambu baru petik. Buat jus jambu yuk, Bun," ajak Syifa.

Bapak melirik kearah ku, beliau menyelidik melihat hal yang tidak beres dalam diriku. Bukannya aku berusaha biasa saja, kenapa Bapak melihatku seperti itu?.

"Syifa, bikin jusnya sama Nenek ya, ini buah jambu dibawa ke dapur. Nenek di dapur kan? Daffa, Syifa bantulah Nenek!" perintah kakek dengan lembut.

"Siap Kek," jawab Syifa.

Bapak terus memandangiku lalu menghela nafas panjang.

"Fit, kamu nggak mau cerita sama Bapak?" tanya Bapak.

"Cerita apa, Pak? Semua baik-baik saja,"

"Fitri, kamu jadi menantu Bapak bukan kemarin sore tapi sudah lebih dari 10 tahun, bahkan Bapak tidak lagi menganggap kamu jadi menantu tapi kalau adalah putriku," ucap Bapak.

Aku mencoba menahan emosi yang bergejolak, ingin kuceritakan kepada Bapak, tapi takut Bapak akan membela Bang Akram, dan tidak percaya padaku.

"Fitri, tadi Daffa ngomong kalau ayahnya tidak sehangat dulu. Dia bilang kalau mendekati ayahnya, Akram bilang nggak boleh mendekat karena capek, Bapak yakin ada yang kamu sembunyikan," ucap Bapak tegas.

"Pak, kalau Fitri tidak tau persis kenapa Bang Akram berubah. Tapi yang jelas sudah tiga bulan ini Bang Akram selalu mengatakan pamit lembur, kemarin sore sewaktu Bang Akram mengatakan mau lembur, aku ke kantor. Ternyata ... " aku jeda kalimatnya, terasa berat mengatakan ke Bapak.

"Ternyata bagaimana, Fit? Aku yang akan menghajarnya jika dia macam-macam!" ucap Bapak.

"Bang Akram tidak dikantor, dan kata scurity selama ini tidak ada yang pernah lembur di akhir pekan," aku menjelaskan seperti halnya kepada orang tuaku sendiri. Justru sama orang tua aku nggak berani menceritakan hal ini, mereka akan kecewa dengan menantu yang selalu di banggakan karena keimanannya, taat beribadah.

Malam hari Hilda terus menangis, aku sudah terbiasa dengan kondisi Hilda, namun tidak biasa bagi mertuaku.

"Fitri, mana Hpmu?" tanya Bapak.

"Di meja depan, Pak. Aku letakan sembarang tadi," jawabku sambil mencoba mendiamkan Hilda.

Bapak terus berusaha menghubungi nomor Bang Akram, Tampak Bapak mendengus kesal karena tidak diangkat. Dengan posisi Aku masih menimang Hilda terus membuntuti Bapak.

"Pulang Akram, anakmu mencari!" Bapak setengah berteriak.

"Bapak nggak mau tau, ini baru pukul 20.00 masih bisa pulang, kalau masih dengan alasan lembur maka Bapak akan datang ke kantormu saat ini juga, untuk menyeret kamu!" ucap Bapak sangat tegas. Mana tega melihat cucunya seperti itu dengan selalu memanggil Ayah tanpa henti.

"Sejak kapan Hilda seperti ini Fit?" tanya Bapak dengar tatapan mengintimidasi menutut jawabanku secepatnya. Pilih bohong apa jujur?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Manis
Membaca saja aku sudah sesak nafasnya. Apalgi yang mengalami
goodnovel comment avatar
Tika lia
Halah ngeles kamu, bang.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena kesibukannya menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya. "Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Video Call. "Hem ...," sahut istrinya sambil manyun. "Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian. "Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri. "Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram tersenyum tipis. "Masa, ... sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal. "Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal. "Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya. "He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram. "Gombal,

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status